KABARBURSA.COM - Utang pemerintah diyakini menjadi perhatian besar dari pemerintahan baru presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Pasalnya, utang dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih menjadi perbincangan.
Saat Indonesia mengalami perubahan kepemimpinan, penanganan utang menjadi salah satu prioritas yang harus diperhatikan. Menurut data APBN Kita, jumlah utang pemerintah pada akhir April 2024 mencapai Rp8.338,43 triliun, mengalami peningkatan dari bulan sebelumnya yang mencapai Rp8.262,1 triliun.
Dilihat dari rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), posisi utang pada akhir April adalah sebesar 38,64 persen, mengalami penurunan dari bulan sebelumnya yang mencapai 38,79 persen. Perlu dicermati bahwa utang jatuh tempo bergerak naik.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, utang jatuh tempo pada 2025 mencapai Rp788,64 triliun. Melonjak 32,5 persen dibandingkan tahun ini yang sebesar Rp595,25 triliun.
Soal utang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah memberi wanti-wanti. Kepala Negara menegaskan suku bunga tinggi akan membuat beban utang makin melambung.
"Semua takut masalah itu, karena ketika bunga pinjaman naik sedikit saja, beban terhadap fiskal akan sangat besar," katanya dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan 2024, bulan lalu.
Kenaikan nilai utang pemerintah disebabkan oleh meningkatnya posisi pembiayaan yang berasal dari surat berharga negara (SBN) dan pinjaman. Tercatat utang yang berasal dari SBN mencapai Rp7.333,11 triliun, lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang mencapai Rp7.274,95 triliun.
Di sisi lain, nilai utang yang berasal dari pinjaman mencapai Rp1.005,32 triliun, juga meningkat dari bulan sebelumnya sebesar Rp987,15 triliun. Dalam upaya pembiayaan, pemerintah berfokus pada pengadaan utang dari dalam negeri. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir volatilitas pasar keuangan global.
“Selaras dengan kebijakan umum pembiayaan utang untuk mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dan memanfaatkan utang luar negeri sebagai pelengkap, mayoritas utang pemerintah berasal dari dalam negeri dengan proporsi 71,18 persen,” tulis Kemenkeu.
Obligasi Pemerintah RI
Hari ini, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia seri acuan tenor 10 tahun berada di kisaran 6,9 persen. Setahun yang lalu, angkanya masih di sekitar 6,4 persen. Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, menilai risiko utang mungkin sudah terlihat tahun ini. Hingga akhir April, pemerintah baru merealisasikan 13,6 persen dari pembiayaan utang di APBN.
“Pembiayaan yang menumpuk di akhir (backloading), terutama melalui penerbitan obligasi, bisa menyebabkan tekanan terhadap fiskal pada semester II, jika suku bunga naik lagi,” tegas Satria dalam risetnya.
Pasalnya, suku bunga sepertinya masih akan berada dalam tren tinggi. Di Amerika Serikat, yang merupakan pusat perekonomian dunia, pasar masih samar-samar soal arah suku bunga acuan.
Mengutip CME FedWatch, peluang Federal Funds Rate untuk bertahan di 5,25-5,5 persen dalam rapat September mencapai 47,9 persen. Lebih tinggi dibandingkan probabilitas turun 25 basis (poin) ke 5-5,25 persen yakni 45,7 persen.
Para pejabat teras Federal Reserve pun ramai-ramai menyatakan bahwa belum saatnya bicara soal penurunan suku bunga acuan. Federal Funds Rate tetap akan bertahan tinggi untuk waktu lama (higher for longer).
Gubernur The Fed Dallas Lorie Logan, misalnya, menegaskan bahwa pengetatan moneter belum sepenuhnya berhasil dalam mengerem laju ekspansi ekonomi, yang berujung pada inflasi yang masih ‘bandel’. “Terlalu dini untuk berpikir soal penurunan suku bunga. Saya butuh solusi atas semua ketidakpastian ini. Kami harus tetap fleksibel dan melihat perkembangan data,” katanya bulan lalu, seperti diwartakan Bloomberg News.
Oleh karena itu, risiko pembengkakan utang sepertinya masih akan menjadi momok bagi perekonomian. Termasuk di Indonesia, bahkan saat Prabowo-Gibran baru duduk di Istana Negara.
Ditambah lagi risiko utang datang di tengah perlambatan penerimaan negara. Pada Januari-April 2024, penerimaan negara turun 7,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Menjadi pemimpin Indonesia bukanlah tugas yang ringan. Salah satu pekerjaan rumah pertama yang harus dihadapi Prabowo-Gibran adalah membayar utang jatuh tempo yang pada 2025 hampir mencapai Rp800 triliun.
Faktor Pembengkakan Utang
Risiko pembengkakan utang Indonesia bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti berikut ini. Jika pertumbuhan ekonomi tidak sesuai dengan harapan atau terjadi perlambatan yang signifikan, hal ini dapat mengakibatkan tekanan pada pendapatan negara dan kemampuan untuk membayar utang.
Apabila nilai tukar rupiah terus melemah terhadap mata uang asing, maka utang yang berdenominasi dalam mata uang asing akan meningkat dalam rupiah, meningkatkan beban pembayaran utang. Kenaikan suku bunga dapat membuat biaya pinjaman negara meningkat, sehingga memperbesar pembayaran bunga dan mengurangi ruang fiskal untuk program-program lainnya.
Peristiwa global seperti krisis keuangan atau ketidakstabilan ekonomi di negara-negara lain dapat mempengaruhi kondisi keuangan Indonesia, termasuk peningkatan risiko pembengkakan utang. Defisit anggaran yang besar dapat mengakibatkan peningkatan pembiayaan melalui utang, terutama jika penerimaan negara tidak mencukupi untuk menutup defisit tersebut.
Jika utang yang diambil tidak digunakan secara efektif untuk pembangunan atau investasi produktif, tetapi justru untuk keperluan konsumtif atau spekulatif, risiko pembengkakan utang akan semakin tinggi. Pemerintah Indonesia perlu mengelola risiko ini dengan hati-hati melalui kebijakan fiskal yang bijaksana, meningkatkan penerimaan negara, memperkuat nilai tukar rupiah, dan mengelola utang dengan baik agar tidak terlalu membebani anggaran negara di masa depan.