KABARBURSA.COM-Tantangan melonjaknya pertumbuhan kredit di tengah laju suku bunga acuan yang tinggi telah membawa industri perbankan dalam situasi dilematis. Kewajiban penyetoran Giro Wajib Minimum (GWM) diharapkan turun sebesar 9 persen.
Pengamat perbankan, Senior Faculty LPPI Amin Nurdin, menekankan bahwa persaingan sengit di industri jasa keuangan, termasuk dengan bank digital dan fintech, menyebabkan pengetatan likuiditas. "Penurunan GWM dapat memberikan ruang untuk kredit berkualitas, tetapi juga menjadi dilema bagi bank-bank," jelasnya dikutip Kamis 11 April 2024.
Kewajiban penyetoran Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 9 persen kepada Bank Indonesia (BI), kata Amin dianggap memberatkan, terutama dalam kondisi likuiditas yang terbatas. "Bank harus mengalokasikan dana yang besar ke BI, mengurangi porsi alokasi DPK untuk ekspansi kredit atau investasi yang lebih menguntungkan," jelasnya.
Amin juga menegaskan, meskipun BI telah memberikan insentif dengan menurunkan kewajiban GWM menjadi 4 persen dengan syarat penyaluran kredit ke sektor-sektor prioritas, seperti UMKM, namun bank-bank masih merasa terbebani.
"Permintaan penurunan rasio GWM menjadi 9 persen menjadi harapan bagi bank-bank yang sedang mengalami pengetatan likuiditas. Bank-bank, seperti Bank Tabungan Negara (BTN) dan Bank CIMB Niaga, berharap kebijakan ini akan membuka ruang likuiditas yang lebih longgar," kata Amin.
Diketahui, beberapa bank telah menaikkan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) untuk menjaga profitabilitasnya. Bank-bank seperti Bank Tabungan Negara (BTN), Bank OCBC NISP, Bank CIMB Niaga, dan Bank BTPN telah melakukan kenaikan ini sejak akhir Maret.
Meskipun likuiditas Bank Tabungan Negara (BTN) cukup ketat, terutama dengan pertumbuhan kredit yang lebih tinggi, bank ini menginginkan penurunan GWM untuk mengatasi tantangan ini.
Sementara itu, Bank CIMB Niaga menyatakan bahwa meskipun likuiditasnya masih cukup, penurunan GWM akan membantu dalam mempertahankan margin dan bunga kredit.
Dalam hal ini, pemerintah mendorong bank untuk meningkatkan penyaluran kredit, namun biaya dana yang tinggi menjadi hambatan utama. Upaya mempertahankan dana pihak ketiga (DPK) melalui dana murah (CASA) semakin mendesak guna menyeimbangkan pertumbuhan kredit.
Data BI menunjukkan bahwa penempatan dana perbankan pada instrumen BI cukup besar, namun kewajiban kepada BI juga meningkat. Penurunan GWM menjadi pertimbangan penting bagi stabilitas likuiditas perbankan.