KABARBUSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini sedang merancang ulang peraturan terkait konglomerasi keuangan, yang merupakan tanggapan terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Dalam perubahan tersebut, kriteria untuk menjadi konglomerasi keuangan tidak hanya didasarkan pada total aset lembaga jasa keuangan (LJK) di atas Rp 100 triliun, tetapi juga mempertimbangkan total aset LJK antara Rp 20 triliun hingga Rp 100 triliun dengan setidaknya tiga LJK di tiga sektor yang berbeda.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae mengatakan perubahan tersebut akan meningkatkan jumlah konglomerasi keuangan yang diawasi oleh OJK.
“Dengan pengaturan baru tersebut, jumlah KK yang diawasi OJK akan bertambah banyak,” ujar Dian, Senin (13/5).
Selain itu, cakupan anggota konglomerasi keuangan juga diperluas untuk mencakup berbagai jenis lembaga keuangan dan entitas non-keuangan yang ditetapkan oleh OJK dari ketentuan sebelumnya yaitu perbankan, perusahaan efek, perusahaan pembiayaan dan asuransi.
Dalam bunyi peraturan yang baru nanti, cakupan Konglomerasi Keuangan akan menjadi Bank, perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, perusahaan efek, perusahaan pembiayaan, perusahaan penjaminan, dana pensiun, perusahaan modal ventura, pergadaian, layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi, layanan urun dana, inovasi keuangan digital dan LJK lainnya serta entitas non-LJK yang ditetapkan oleh OJK.
PIKK atau Financial Holding Company ini merupakan badan hukum yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali untuk mengendalikan, mengonsolidasikan, dan bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas Konglomerasi Keuangan tersebut.
Dian berharap perubahan-perubahan ini akan memungkinkan pengawasan yang lebih efektif dan menyeluruh terhadap konglomerasi keuangan, serta mengurangi risiko transaksi antar-grup dan risiko konsentrasi.
“Sehingga dapat memperkuat stabilitas sistem keuangan dan melindungi kepentingan masyarakat,” ujarnya
Namun, Dian juga menegaskan bahwa OJK tidak akan mengumumkan publikasi mengenai konglomerasi keuangan untuk menghindari pengaruh terhadap persepsi masyarakat terhadap bank-bank yang terlibat. Hal ini dilakukan agar tidak mengganggu persaingan yang adil di pasar keuangan.
“Konglomerasi itu bisa berubah-ubah sehingga bisa mengganggu bank yang dikeluarkan juga dan untuk yang masuk bisa diuntungkan secara persepsi, jadi bisa mengganggu fair competition,” ujarnya.
Pengawasan OJK Mengetat
Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital di Center of Economic and Law Studies (Celios), setuju bahwa revisi terhadap batasan konglomerasi akan menghasilkan peningkatan jumlah konglomerasi keuangan di Indonesia.
“Semakin banyak entitas yang termasuk dalam konglomerasi keuangan akan membuat pengawasan dari OJK menjadi lebih ketat,” ujarnya, seperti yang dilaporkan. Beberapa waktu lalu.
Huda meyakini bahwa perubahan ini akan membawa dampak positif dalam mitigasi risiko yang terkait dengan potensi dampak sistemik. Dalam kriteria sebelumnya, banyak entitas bisnis keuangan yang tidak termasuk dalam satu konglomerasi, yang dapat menghadirkan risiko sistemik jika mengalami goncangan.
Selain itu, menurut Huda, persaingan usaha juga akan menjadi lebih efisien dengan adanya regulasi baru ini. Ini karena konsolidasi entitas akan menjadi lebih sulit jika semakin banyak konglomerasi keuangan yang ada di Indonesia.
Budi Frensidy, seorang pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, setuju bahwa proposal aturan baru yang diajukan oleh OJK menunjukkan keinginan untuk meningkatkan fungsi pengawasannya. Dia menyatakan ini karena ada kemungkinan bahwa banyak perusahaan dengan nilai kapitalisasi di bawah Rp100 triliun dapat memiliki dampak besar terhadap pasar dan masyarakat.
Frensidy berharap bahwa penerapan kebijakan baru ini akan mengurangi risiko yang muncul akibat tindakan, kebijakan, atau kesalahan manajemen dari suatu perusahaan terhadap pasar. Menurutnya, ini karena upaya pencegahan dan mitigasi telah dilakukan sebelumnya.
“Diperkirakan bahwa perusahaan dengan aset antara Rp20 triliun hingga Rp100 triliun akan lebih banyak daripada yang memiliki aset di atas Rp100 triliun, seperti Saratoga, Manulife, Schroders, BNP Paribas, yang mungkin akan memenuhi kriteria baru ini,” katanya.
Selain itu, Amin Nurdin, Senior Faculty dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), mengusulkan penambahan poin-poin dalam aturan yang juga mengatur konglomerasi keuangan di mana mayoritas saham perusahaan induknya dimiliki oleh investor asing.
Contohnya adalah PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN), di mana mayoritas sahamnya dimiliki oleh MUFG Bank sebanyak 92,47 persen dari total saham. Menurut Amin, perlu ada aturan tambahan yang lebih ketat bagi konglomerasi semacam itu.
“Ia menyarankan adanya aturan tambahan, seperti peraturan tentang kepemilikan saham, pengurus, tata kelola, dan aspek lainnya,” kata Ami