KABARBURSA.COM - Bursa Efek Indonesia (BEI) berharap transaksi di pasar modal tanah air tidak terdampak signifikan setelah pemerintah menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada tahun 2025.
Kepala Divisi Riset BEI, Verdi Ikhwan mengakui jika pihaknya masih akan melakukan penghitungan terkait dampak dari kenaikan PPN 12 persen terhadap aktivitas transaksi di bursa.
"Untuk tahun ini ya harus kita lihat dulu. Tapi kalau kita berkaca dari yang pernah ada, so far sih oke aja investor," ujarnya dalam agenda Edukasi ‘Wartawan terkait Market Outlook’, di Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024.
Verdi kemudian memaparkan terkait dampak kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 2022 lalu. Saat itu, dia menyatakan transaksi di pasar saham tidak menunjukkan penurunan.
Berkaca dari kondisi tersebut, dirinya pun optimistis jika transaksi di pasar modal Indonesia akan tetap baik di tahun depan. Ia berharap kenaikan PPN menjadi 12 persen tidak terlalu berdampak signifikan terhadap transaksi di bursa.
"Tentu kita berharap ini tidak akan berdampak signifikan sehingga menurunkan aktivitas transaksi dan minat investor," jelas dia.
Di sisi lain, Verdi menegaskan BEI akan terus melakukan kegiatan sosialisasi dan edukasi kepada investor di seluruh Indonesia. Langkah ini juga sebagai bentuk usaha BEI dalam menjaga aktivitas transaksi di tahun depan.
"Dengan begitu kita berharap transaksi pemahaman investor terutama retail itu meningkat dan ujung-ujungnya juga meningkatkan transaksi," pungkasnya.
PPN 12 Persen Resmi Berlaku 1 Januari 2025
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan diterapkan sesuai jadwal yang diatur dalam UU HPP, mulai 1 Januari 2025,” kata Airlangga dalam konferensi pers bertema ‘Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan’ di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin, 16 Desember 2024.
Namun, pemerintah telah menetapkan sejumlah kebijakan untuk melindungi masyarakat berpendapatan rendah. Airlangga menegaskan, barang kebutuhan pokok tetap dibebaskan dari PPN dengan fasilitas PPN 0 persen.
“Barang-barang seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, dan gula konsumsi diberikan fasilitas PPN 0 persen. Demikian juga jasa pendidikan, kesehatan, angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, asuransi, vaksin polio, dan air bersih,” jelasnya.
Selain itu, pemerintah juga menyiapkan stimulus ekonomi khusus untuk barang tertentu seperti minyak goreng, tepung terigu, dan gula industri. Airlangga menyebut, pemerintah akan menanggung 1 persen dari kenaikan tarif PPN untuk barang-barang tersebut, sehingga masyarakat hanya dikenakan tarif 11 persen.
“Pemerintah memberikan dukungan berupa stimulus untuk bahan pokok seperti minyak, tepung terigu, dan gula industri, dengan menanggung sebagian kenaikan PPN. Tarif efektifnya tetap 11 persen bagi kebutuhan tersebut,” ujar Airlangga.
Berpotensi Pengaruhi Daya Beli Masyarakat
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui bahwa rencana kenaikan Pajak Pertumbuhan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada Januari 2025 diperkirakan akan memengaruhi daya beli masyarakat dan biaya produksi dari sisi penawaran.
Kenaikan PPN tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Sebagai langkah bertahap, PPN sebelumnya telah dinaikkan dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022, dan pada Januari 2025, PPN kembali dinaikkan menjadi 12 persen. Presiden Prabowo menambahkan bahwa kebijakan PPN 12 persen ini hanya akan berlaku pada barang-barang mewah pada tahun depan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menegaskan bahwa dampak langsung dari kebijakan ini adalah terhadap daya beli masyarakat.
“Rencana peningkatan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen pada Januari 2025 ya, memang tidak dapat dimungkiri akan berpotensi mempengaruhi daya beli masyarakat,” kata Dian dalam Konferensi Pers RDKB OJK November 2024 di Jakarta, Jumat 13 Desember 2024.
Dian juga menyebutkan bahwa kenaikan PPN ini berpotensi memengaruhi komponen biaya produksi secara bertahap. “Kondisi penyesuaian tersebut akan berpotensi menciptakan kontraksi pada aktivitas ekonomi secara temporal, sehingga kondisi dimaksud dinilai belum serta-merta dapat berimplikasi langsung terhadap kemampuan bayar debitur,” tambah dia.
Namun, menurut Dian, dampak kenaikan PPN terhadap kinerja sektor perbankan diperkirakan tidak akan terlalu besar. Ia menunjukkan bahwa meskipun PPN telah dinaikkan menjadi 11 persen, kualitas kredit perbankan tetap terjaga.
“Kredit perbankan pada posisi Desember 2023 itu masih dapat tumbuh secara year-on-year sebesar 10,38 persen, dengan kualitas kredit yang terjaga yang tercermin dari tingkat NPL yang berada pada level 2,19 persen,” jelas Dian.
Pada Oktober 2024, pertumbuhan kredit tercatat meningkat menjadi 10,92 persen, dengan NPL sedikit naik menjadi 2,20 persen.
Dian mengungkapkan bahwa pemerintah, bersama OJK dan regulator lainnya, akan terus memantau indikator-indikator ekonomi untuk mendukung pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.
“Selanjutnya dalam perkembangan ke depan, pemerintah bersama OJK dan regulator lain tentu akan senantiasa memonitor indikator perekonomian agar dapat mendorong pertumbuhan dan stabilitas perekonomian secara berkelanjutan,” pungkasnya. (*)