KABARBURSA.COM - Presiden Prabowo Subianto mengundang pengusaha asing untuk berinvestasi di Indonesia.
Awalnya, Prabowo mengatakan bahwa Indonesia sedang membutuhkan dana sebesar USD600 miliar atau setara Rp9,5 triliun (kurs Rp15.687) untuk mendorong hilirisasi sumber daya alam dan pengembangan industri nasional.
Prabowo menekankan pentingnya investasi demi mencapai target industrialisasi berbasis sumber daya alam.
“Kami berkomitmen untuk melakukan industrialisasi melalui hilirisasi sumber daya. Saat ini, ada 26 komoditas yang menjadi fokus kami untuk dikembangkan dalam sektor pengolahannya. Berdasarkan perhitungan, kami memerlukan investasi sebesar 600 miliar dolar AS,” ujar Prabowo dalam pidatonya pada APEC CEO Summit di Peru, seperti dikutip dari siaran YouTube Sekretariat Presiden, Jumat, 15 November 2024.
Lalu, dia mengundang para investor internasional untuk berpartisipasi dalam agenda hilirisasi ini. Prabowo menyebut bahwa banyak perusahaan global telah berkontribusi dalam perekonomian Indonesia, tetapi masih diperlukan investasi yang lebih besar untuk menjangkau potensi sektor-sektor strategis lain.
“Indonesia terbuka untuk bisnis yang lebih besar,” ucapnya.
Selain sektor hilirisasi, Prabowo juga mendorong eksplorasi minyak dan gas bumi serta pengembangan industri maritim dan perikanan. Menurutnya, dengan luas wilayah laut yang mendominasi, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama dalam industri perikanan global.
“Kami sedang mendorong pengolahan hasil perikanan yang lebih baik, karena sebagian besar wilayah kami adalah laut. Potensi ini perlu dimaksimalkan,” jelas Prabowo.
Dalam rangka menarik lebih banyak investor, Presiden Prabowo berkomitmen untuk melindungi setiap investasi yang masuk ke Indonesia. Ia juga menekankan pentingnya menciptakan iklim ekonomi yang stabil dan mendukung, dengan memberikan kepastian hukum dan insentif yang menarik bagi para pelaku usaha.
“Saya memahami bahwa dunia usaha membutuhkan stabilitas politik, keamanan, dan sistem hukum yang jelas. Oleh karena itu, kami telah meliberalisasi beberapa regulasi untuk mendukung iklim bisnis yang kondusif,” jelasnya.
Sebagai mantan pengusaha, Prabowo mengaku memahami tantangan yang dihadapi oleh sektor swasta. Hal ini menjadi salah satu alasan pemerintahannya berupaya keras menciptakan ekosistem bisnis yang sehat.
Agenda Diplomasi Ekonomi di APEC dan G20
Kehadiran Presiden Prabowo Subianto di Peru merupakan bagian dari rangkaian agenda internasional dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) 2024.
Setelah menghadiri KTT APEC, Prabowo dijadwalkan melanjutkan kunjungan kerja ke Brasil untuk menghadiri KTT G20.
Sebelum ke Peru, Presiden Prabowo juga melakukan kunjungan resmi ke China dan Amerika Serikat (AS).
Di China, Prabowo menyaksikan penandatanganan komitmen investasi senilai USD10,07 miliar atau Rp157,64 triliun. Investasi tersebut mencakup sektor energi, infrastruktur, dan teknologi. Sementara itu, di Amerika Serikat, sejumlah perusahaan besar menunjukkan minat untuk menanamkan modal di sektor energi.
Langkah Presiden Prabowo menggaet investasi asing dinilai strategis dalam memanfaatkan momentum pertumbuhan global. Dengan potensi besar di sektor sumber daya alam, maritim, dan energi, Indonesia memiliki daya tarik kuat bagi investor global.
Namun, tantangan utama tetap ada pada implementasi kebijakan yang mampu menjamin kepastian hukum serta transparansi dalam pelaksanaan proyek investasi. Prabowo memastikan pemerintahannya akan terus bekerja untuk meningkatkan kepercayaan investor melalui reformasi kebijakan yang progresif.
“Kami percaya pada peran penting sektor swasta dalam pembangunan. Sebagai pemimpin, saya memahami pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan dunia usaha untuk menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan,” ujar Prabowo menutup pidatonya.
Dengan langkah ini, Indonesia diharapkan mampu meningkatkan daya saingnya di pasar global sekaligus memanfaatkan kekayaan alamnya secara maksimal melalui hilirisasi dan industrialisasi.
AS-China Perang Dagang, RI Netral
Center of Economic and Law Studies (Celios) merilis hasil surveinya terkait pertemuan antara Presiden RI Prabowo Subianto dengan Presiden China Xi Jinping beberapa waktu lalu.
Adapun survei itu melibatkan 1.414 responden secara acak untuk sampel representatif nasional, yang mencakup beragam demografi di seluruh Indonesia.
Pengumpulan data survei juga dilakukan secara online yang disebarkan melalui media sosial Facebook dan Instagram untuk menjangkau khalayak luas di wilayah perkotaan dan pedesaan.
Adapun kuesioner yang dibuat terstruktur tentang hubungan Indonesia-China, dengan fokus pada pengaruh ekonomi, politik, ikatan budaya, dan isu-isu terkait.
Director of China-Indonesia Desk at Celios Zulfikar Rakhmat mengatakan 49 persen respondennya percaya bahwa pemerintah Indonesia memiliki hubungan dekat dengan China.
Akan tetapi, ia juga mengungkap respondennya juga meyakini Indonesia memiliki hubungan yang juga dekat dengan Amerika Serikat (AS). Responden itu meyakini, hubungan dengan AS juga dapat menjadi penyeimbang hubungan Indonesia dengan China.
“Ketika kami bertanya pertanyaan apakah hubungannya antara Indonesia dan AS? Tentu saja pertanyaan ini berkaitan dengan hubungan Indonesia-China, 50 persen percaya bahwa hubungan kita dengan AS dapat menyeimbangkan hubungan Indonesia-China. 60 persen percaya bahwa hubungan kita dengan AS dapat menyeimbangkan hubungan kita dengan China,” kata Zulfikar dalam paparannya di Jakarta, Kamis, 14 November 2024.
Akan tetapi, 70 persen responden Celios mempercayai China dapat mempengaruhi politik luar negeri Indonesia.
Secara rinci, Zulfikar menyebut pengaruh politik China bersifat positif dengan persentase sebesar 66 persen dan 34 persen lainnya bernuansa negatif.
Ketika responden Celios ditanya ihwal posisi Indonesia di tengah rivalitas China dan AS, Zulfikar menyebutkan, bahwa mayoritas respondennya memilih Indonesia mesti berada pada posisi netral dengan persentase sebesar 78 persen.
Ia menuturkan, hanya 4 persen responden yang beranggapan Indonesia harus mendukung China. Sementara untuk mendukung AS, hanya 1 persen responden yang beranggapan demikian.
“Penjawab (responden) hanya mendukung Indonesia menetapkan posisi yang netral di antara kompetisi antara China dan AS,” ungkapnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Zulfikar juga memberi pertanyaan ihwal kapabilitas China dalam memimpin dunia yang mendapat respons positif dengan 51 persen respondennya menilai mampu.
Di sisi lain, ia juga menyebut 84 persen respondennya mempercayai China merupakan negara yang paling mempengaruhi ekonomi Indonesia.
“Tentu saja, 84 persen berkata, ya. ‘Apakah Anda berpikir mengenai pengaruh ekonomi China?’ 51 persen berpikir mengenai pengaruh ekonomi China,” ungkapnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Zulfikar menyebut 44 persen respondennya menilai ada dampak terhadap infrastruktur. Di samping itu, ada juga yang mempercayai hubungan China-Indonesia dapat berdampak pada sektor investasi sebesar 31 persen, 20 persen perdagangan, 3 persen terhadap pariwisata, dan 2 persen lainnya terhadap akademis.
Zulfikar juga sempat menanyakan peran China dalam membantu transisi energi Indonesia. Berdasarkan hasil surveinya, 47 persen responden meyakini hal tersebut, sementara yang berpikir sebaliknya tercatat sebanyak 26 persen responden. Sejalan dengan hal tersebut, ia juga menanyakan respondennya ihwal langkah China dalam mendorong transisi energi di Indonesia. Sebagian besar respondennya menilai, ihwal pendanaan.
“46 persen berpikir mengenai pendanaan. 26 persen memperbaiki pemerintah dalam proses mineral. 19 persen tidak tahu. 9 persen memanfaatkan pendanaan di sektor energi penuh,” ungkapnya.
Berdasarkan hasil survei tersebut, Zulfikar menyebut, persepsi masyarakat ihwal hubungan Indonesia dengan China telah berkembang di luar hal-hal ekonomi. Di sisi lain, hubungan kedua negara tersebut lebih dari ketergantungan ekonomi, sosial, dan isu-isu humanitas.
“Kompleks, sangat kompleks, percaya bahwa China sekarang lebih daripada ketergantungan ekonomi, perkembangan sosial, humanitaris, dan hal-hal ekonomi, karena kesadaran di sini masih terbatas. Terakhir, masyarakat sangat mendukung prinsip bebas dan aktif Indonesia, memilih posisi independen yang tidak berhubungan dengan AS atau China,” tutupnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.