KABARBURSA.COM - Saham-saham bank tampaknya akan kembali semringah setelah sempat turun selama dua pekan terakhir. Soalnya, Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengusulkan agar program penundaan pembayaran kredit yang terdampak Covid-19 (resktrukturisasi kredit) diperpanjang sampai tahun 2025. Kebijakan ini sebelumnya dijadwalkan berakhir pada Maret 2024 setelah dimulai pada Maret 2020 sebagai respons terhadap pandemi.
Menteri koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kalau presiden telah meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) untuk memperpanjang kebijakan ini agar meringankan beban perbankan.
Restrukturisasi kredit memungkinkan orang yang pinjam uang di bank (debitur) dan merasakan dampak Covid-19 untuk tetap dianggap baik oleh bank, serta menghindari status kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL). Ini penting karena tanpa keringanan ini, perbankan bisa mengalami kerugian karena akan banyak kredit yang tidak bisa dibayar, terutama segmen Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kalau tidak banyak kredit yang tidak bisa dibayar, bank tentu tidak bisa untung dari selisih bunga pinjaman yang dibayarkan debitur.
Data dari OJK menunjukkan bahwa, total nilai restrukturisasi kredit yang masih aktif mencapai Rp228,2 triliun atau sekitar 3,14 persen dari total kredit pada Maret 2024, turun dari Rp830 triliun pada Oktober 2020. Sementara itu, risiko kredit bank (LaR) pada Maret 2024 mencapai 11,10 persen, meskipun telah mengalami penurunan dari masa masa puncak saat pandemi sekitar 9-10 persen.
Bank telah mengantisipasi peningkatan risiko kredit ini dengan membentuk cadangan penurunan nilai agar tidak terlalu mempengaruhi modal bank.
Diharapkan perpanjangan kebijakan restrukturisasi ini dapat membantu UMKM dan sektor lainnya untuk pulih lebih baik dari dampak pandemi, sambil menjaga stabilitas perbankan secara keseluruhan.
Menurut Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, pihaknya akan mengevaluasi menyeluruh terkait usulan Presiden Joko Widodo untuk memperpanjang kebijakan stimulus restrukturisasi kredit Covid-19 sampai tahun 2025.
Karena OJK harus punya strategi untuk mempertimbangkan beberapa hal penting seperti dampak kebijakan ini, kecukupan modal, cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN), likuiditas, dan kemampuan untuk mendukung pertumbuhan kredit. Dia juga menyoroti perbaikan kinerja pertumbuhan kredit tahun ini dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Jika usulan presiden diterapkan, ini dapat memberikan dampak positif dalam jangka pendek terhadap keuntungan bersih bank. Karena beban provisi akibat perbaikan klasifikasi kredit bermasalah akan turun. Tapi, kalau kredit yang direstrukturisasi tidak bisa membaik, kebijakan perpanjangan ini hanya menjadi alasan untuk menunda status kredit bermasalah yang ada di bank.
Sebenarnya, NPL sedang naik-naiknya. Di Desember 2023, rasio NPL bruto mencapai 2,19 persen dan NPL bersih 0,71 persen. Di April 2024, rasio NPL bruto naik jadi 2,33 persen dan NPL bersih 0,81 persen.
Meskipun naik, Gubernur BI Perry Warjiyo menilai bahwa rasio rasio kredit bermasalah ini masih relatif rendah dibanding maksimum rasio NPL sebesar 5 persen, yang sudah ditetapkan Bank Indonesia.
Kondisi Kredit Trio Bank BUMN
Menurut data, Trio Bank BUMN yakni BRI, BNI dan Bank Mandiri memiliki peran dalam penyaluran kredit, terutama BBRI.
Bank BRI merupakan bank dengan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) terbesar di antara bank lainnya, yakni berkisar 60 persen sampai 80 persen. Anggaran KUR yang awalnya Rp190 triliun selama periode Covid-119 meningkat menjadi Rp325 triliun pada tahun 2024. Karenanya, tidak heran kalau Bank BRI merasakan dampak positif jika kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit Covid-19 untuk UMKM diterapkan.
Soalnya di kuartal I tahun 2024, NPL Bank BRI dari naik 3,27 persen dari sebelumnya 3,02 persen, sementara NPL Net Bank BRI naik menjadi 1 persen dari sebelumnya 0,82 persen. Pencadangan Bank BRI juga naik Rp12 triliun atau naik 69 persen. Dengan tingkat NPL Net yang masih tinggi, tanpa insentif relaksasi restrukturisasi kredit Covid-19, diperkirakan Bank BRI perlu meningkatkan lagi pencadangan.
Kalau Bank Mandiri dan Bank BNI agak berbeda. Dua bank ini mencatatkan tren penurunan NPL gross. Bank Mandiri mencatatkan NPL gross sebesar 1,02 persen dari 1,7 persen pada periode yang sama tahun 2023. Sedangkan Bank BNI mencatatkan penurunan NPL gross menjadi 2,04 persen dari sebelumnya 2,77 persen.
Kedua bank ini juga menurunkan pencadangannya pada kuartal I tahun 2024. Bank Mandiri turun 1,81 persen menjadi Rp3,59 triliun, dan Bank BNI turun 20,35 persen menjadi Rp1,72 triliun.
Meski kedua bank ini memiliki kinerja kredit yang lebih baik, tanpa insentif relaksasi restrukturisasi kredit kedua bank besar ini berpotensi meningkatkan pencadangan di kuartal II tahun 2024. Pasalnya, tingkat NPL net keduanya naik. Bank Mandiri mencatatkan kenaikan NPL Net sebesar 0,33 persen dari 0,26 persen, sementara Bank BNI mencatatkan kenaikan NPL Net menjadi 0,66 persen dari sebelumnya 0,53 persen.
NPL gross adalah rasio kredit yang bermasalah setelah dikurangi dengan cadangan untuk menutupi potensi kerugian, sedangkan NPL net adalah rasio kredit bermasalah yang sudah mempertimbangkan pencadangan untuk mengantisipasi risiko kerugian. Ini berarti, tingkat kredit bermasalah yang belum tertutupi oleh pencadangan.
Semenjak pengumuman ekspose Bank Indonesia tanggal 20 Juni 2024, disusul usulan restrukturisasi kredit terdampak Covid-19, harga saham big bank mengalami kenaikan selama 5 hari terakhir.
Saham BBRI naik +280.00 (6.83 persen) ke level 4.380/lembar saham
Saham BMRI naik +150.00 (2.60 persen) ke level 5.925/lembar saham
Saham BBNI naik +170.00 (3.94 persen) ke level 4.480/lembar saham
Bisa jadi karena dua pengumuman penting ini, para investor menilai bahwa ada angin segar pada upaya menjaga kinerja sektor perbankan.
Sebenarnya Apa Sih Dana Pencadangan itu?
Dana pencadangan bank atau yang sering disebut sebagai Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) adalah dana yang disisihkan oleh bank sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu terjadi kredit macet.
Kenapa dana ini harus ada? Karena bank itu seperti pedagang yang memberikan pinjaman kepada banyak orang. Tidak semua orang bisa dipercaya untuk mengembalikan pinjaman tepat waktu. Ada kemungkinan beberapa orang mengalami kesulitan dan kreditnya menjadi macet.
Kalau terjadi kredit macet, bank tidak bisa serta merta menganggap uang tersebut hilang begitu saja. Bank harus tetap mencatatnya sebagai aset, meskipun kemungkinan besar tidak akan kembali.
Di sinilah peran dana pencadangan bank untuk menjaga kondisi bank tetap sehat. Dengan kata lain, dana pencadangan ini berguna sekali untuk menutupi kerugian yang dialami bank akibat kredit macet. Jadi, meskipun ada kredit macet, bank tetap bisa beroperasi dengan normal. Kemudian untuk menunjukkan bahwa bank telah mengantisipasi risiko kredit macet.
Jika satu bank mengalami kredit macet dalam jumlah besar dan tidak memiliki dana pencadangan yang cukup, hal ini bisa berdampak domino ke bank lain dan mengancam stabilitas sistem keuangan.
Jadi, dana pencadangan bank sangat penting untuk menjaga kesehatan dan stabilitas bank itu sendiri, serta sistem keuangan secara keseluruhan.
Kalau NPL itu Apa?
NPL (Non-Performing Loan) adalah istilah yang digunakan dalam perbankan untuk menggambarkan kredit atau pinjaman yang tidak bisa dibayar kembali oleh peminjam atau yang sudah lewat jatuh tempo. Ada dua jenis NPL, yaitu NPL net dan NPL gross.
NPL Gross adalah Ini adalah total pinjaman yang diberikan oleh bank yang tidak bisa dibayar kembali oleh peminjam. Ini termasuk semua pinjaman yang sudah jatuh tempo dan tidak dibayar, serta pinjaman yang masih dalam proses penagihan.
NPL Net adalah jumlah NPL gross dikurangi dengan cadangan yang telah disisihkan oleh bank untuk menutupi potensi kerugian dari NPL tersebut. Cadangan ini biasanya disisihkan sebagai bagian dari kebijakan manajemen risiko bank.
Jadi, perbedaan utama antara NPL net dan NPL gross adalah bahwa NPL net sudah mempertimbangkan cadangan yang telah disisihkan oleh bank, sementara NPL gross belum mempertimbangkan cadangan tersebut.
Bayangkan begini, anggap saja NPL gross itu seperti jumlah total utang yang tidak bisa dibayar oleh peminjam. Sedangkan NPL net adalah jumlah utang yang tidak bisa dibayar setelah bank menyisihkan uang untuk menutupi sebagian dari kerugian tersebut. Jadi, NPL net memberikan gambaran yang lebih akurat tentang seberapa besar kerugian yang benar-benar harus ditanggung oleh bank. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.