KABARBURSA.COM - Perlambatan produksi di Indonesia dan kekhawatiran terhadap dampak tertunda dari fenomena El Niño 2023—2024 diperkirakan akan menjadi katalisator dalam mengendalikan harga minyak kelapa sawit (CPO), yang saat ini mengalami tekanan bearish.
Menurut laporan BMI, cabang riset Fitch Solutions, meskipun produksi sawit Malaysia, sebagai pesaing Indonesia, menunjukkan tren penguatan tahun ini, stok CPO di negara tersebut justru mengalami penurunan.
Data dari Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB) menunjukkan bahwa total stok minyak sawit domestik menurun dari 1,83 juta ton pada Juni menjadi 1,73 juta ton pada Juli, membalikkan tren kenaikan stok yang telah terjadi selama tiga bulan berturut-turut.
Produksi minyak sawit mentah di Malaysia dari Januari hingga Juli 2024 melampaui 10,7 juta ton, angka tertinggi dalam tujuh bulan pertama tahun ini sejak 2020. Meskipun kinerja ekspor meningkat, stok tetap terakumulasi. Ekspor CPO Malaysia pada periode yang sama mencapai 9,2 juta ton, lebih tinggi dibandingkan 8,4 juta ton pada tahun lalu.
Di Indonesia, produksi minyak sawit dari Januari hingga Mei 2024 hanya mencapai 22,1 juta ton, menurun dari 22,9 juta ton pada periode yang sama tahun lalu, menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). BMI mencatat bahwa dampak El Niño, yang mempengaruhi curah hujan dan kelembapan di sebagian besar Asia Tenggara, diperkirakan akan mempengaruhi hasil panen secara lambat.
Data terbaru menunjukkan bahwa volume ekspor CPO mengalami penurunan tajam dibandingkan dengan tahun sebelumnya, menandai kemerosotan yang mengkhawatirkan dalam pasar global.
Penurunan ini disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk penurunan permintaan internasional, ketegangan perdagangan global, dan penyesuaian kebijakan dari negara-negara pengimpor utama. Selain itu, fluktuasi harga komoditas global dan kebijakan lingkungan yang semakin ketat juga berkontribusi terhadap penurunan ekspor.
Kondisi ini berdampak langsung pada industri kelapa sawit Indonesia, yang merupakan salah satu sektor utama dalam perekonomian negara. Para pelaku industri dan pemerintah kini menghadapi tantangan besar untuk menavigasi pasar global yang berubah dan mencari solusi untuk mendorong kembali pertumbuhan ekspor CPO di masa depan.
Produksi Wilmar Menurun
Laporan semester I-2024 dari Wilmar International, perusahaan pengolahan makanan yang berpusat di Singapura, menunjukkan penurunan rata-rata hasil panen tandan buah segar (TBS) kelapa sawit sebesar 7,07 persen dibandingkan semester I-2023. Meskipun data Gapki untuk Juni dan Juli 2024 belum tersedia hingga 14 Agustus, stok minyak sawit domestik Indonesia meningkat dari 3,7 juta ton pada April menjadi 4,1 juta ton pada Mei.
BMI memperkirakan rata-rata harga CPO di Bursa Malaysia pada 2024 mencapai MYR3.850/ton, naik sedikit 2,67 persen dari proyeksi sebelumnya sebesar MYR3.750/ton. Namun, harga rata-rata CPO telah sedikit menurun sejak proyeksi terakhir pada Mei 2024, dari MYR3.973/ton pada 14 Mei menjadi MYR3.952/ton pada 9 Agustus, meskipun tidak sampai pada tingkat yang diperkirakan. Akibatnya, perkiraan harga untuk 2025 dinaikkan dari MYR3.500/ton menjadi MYR3.650/ton.
Harga CPO telah turun selama empat pekan berturut-turut, dengan penurunan sebesar 1,79 persen secara point-to-point minggu lalu, menjadikannya sebagai koreksi mingguan keempat secara berurutan. Ekspektasi penurunan permintaan memberi tekanan pada harga CPO.
AmSpec Agri Malaysia memperkirakan ekspor sawit pada 1-15 Agustus anjlok 22,3 persen dibandingkan periode yang sama bulan sebelumnya, sementara Intertek Testing Services memperkirakan penurunan 20,2 persen.
Selain itu, penurunan harga minyak nabati pesaing juga menyulitkan kenaikan harga CPO. Pada akhir pekan lalu, harga minyak kedelai di bursa Dalian (China) dan Chicago Board of Trade (AS) turun masing-masing 1,27 persen dan 0,22 persen.
Wilmar International, yang terdaftar di bursa Singapura, mencatat penurunan laba bersih sebesar 14 persen pada kuartal pertama 2024. Penurunan ini didorong oleh kinerja lemah dari segmen pakan dan produk industri, yang mencerminkan tantangan operasional yang dihadapi perusahaan sepanjang sisa tahun ini.
“Prospek ekonomi global diperkirakan akan tetap tidak menentu selama tahun 2024. Kami memperkirakan bahwa tantangan operasional akan berlanjut hingga akhir tahun,” ungkap perusahaan dalam pernyataan resminya pada Senin (29/4).
Sebagai salah satu produsen makanan terbesar di dunia, Wilmar optimis bahwa hasil untuk sisa tahun ini akan memadai. Perusahaan melaporkan laba bersih inti sebesar USD328,4 juta untuk periode yang berakhir 31 Maret, turun dari USD381,9 juta pada tahun lalu.
Volume penjualan segmen pakan dan produk industri, yang merupakan kontributor utama laba perusahaan, mencapai 14,6 juta ton pada kuartal ini, mengalami kenaikan sebesar 7 persen. Meskipun demikian, performa divisi perdagangan gula yang menurun berdampak pada penurunan laba dari segmen pakan dan produk industri.
“Kondisi perdagangan minyak nabati dan bisnis penghancurannya juga tetap penuh tantangan,” tambah pernyataan tersebut.
Selain itu, kontribusi keuntungan dari usaha patungan dan perusahaan asosiasi juga menurun akibat investasi yang dilakukan di China. (*)