Logo
>

Prospek Emiten Farmasi, ini Rekomendasi Saham buat Investor

Ditulis oleh KabarBursa.com
Prospek Emiten Farmasi, ini Rekomendasi Saham buat Investor

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Industri farmasi, dinilai akan merasakan dampak negatif dari lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Hal ini terjadi mengingat sebagian besar bahan baku produksi obat yang digunakan industri farmasi dalam negeri masih mengandalkan produk impor.

    Adapun nilai tukar rupiah sempat berada di angka terendah sejak 2020, yakni di level Rp16.400 per dolar Amerika Serikat (AS). Meski begitu, lemahnya nilai tukar rupiah tak berlangsung lama. Mengacu data Google Finance, rupiah kembali menguat di level Rp16.363 per dolar AS pada, Senin, 1 Juli 2024.

    Meski begitu, prospek saham emiten farmasi diprediksi akan tetap berdaya di tengah dinamika nilai tukar rupiah. Senior Investment Information Mirae Asset, Nafan Aji Gusta merekomendasikan saham PT Kimia Farma Tbk (KLBF) kepada para investor di sektor farmasi.

    Sebagaimana diketahui, Pada kuartal I tahun 2024, KLBF mencatat kinerja baiknya dengan membukukan penjualan neto Rp8,36 triliun atau tumbuh 6,23 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp7,87 triliun.

    Nafan menilai, KLBF memiliki market yang besar dengan kinerja yang solid. Menurutnya, KLBF tengah menunjukkan prerfoma yang solid secara fundamental di samping memiliki mitigasi risiko yang baik.

    “KLBF sedang marketnya besar, kinerja juga solid, kinerja fundamentalnya, berarti perusahaan ini menunjukan performa yang solid secara fundamental,” kata Nafan kepada Kabar Bursa, Senin, 1 Juli 2024.

    Jika dibandingkan dengan emiten farmasi lainnya, Nafan menilai KLBF memiliki tingkat likuid yang lebih baik. Menurutnya, hal itu terjadi karena faktor lemahnya nilai tukar rupiah yang mempengaruhi biaya produksi emiten farmasi.

    “Memang sangat berpengaruh terhadap peningkatan cost produksi, apalagi hal ini berhubungan dengan adanya bahan baku obat yang memang sebagian besar merupakan impor,” jelasnya.

    Karenanya, Nafan menilai wajar jika terdapat beberapa emiten farmasi yang mengalami fase penurunan harga lantaran terpengaruh oleh depresiasi nilai tukar rupiah. Untuk itu, dia mengimbau para investor untuk memilih emiten farmasi yang memiliki performa solid.

    “Jadi rekomendasi untuk investor diimbau pilih saham di mana emitennya memiliki performa yang solid, apalagi ketika terjadi pelemahan nilai tukar rupiah,” tutupnya.

    Sementara itu, Analis Binaartha Sekuritas, Ivan Rosanova menuturkan, saham KLBF ditutup melemah di level 1525 pada Jumat, 28 Juni 2024 lalu. Dia menilai, KLBF masih dalam pembentukan wave [b] dan diperkirakan dapat melemah menuju area support 1470 – 1500 sebelum memulai wave [c] sebagai struktur uptrend berikutnya.

    “Berdasarkan indikator MACD menandakan momentum bearish. HOLD atau BUY ON WEAKNESS pada rentang harga 1470 – 1510 dengan target harga terdekat di 1670,” kata Ivan dalam keterangannya, Senin, 1 Juli 2024.

    Tantangan Industri Farmasi

    Diketahui, bahan baku produksi obat dalam negeri sendiri masih mengandalkan produk impor. Pemerintah sendiri telah menargetkan penurunan impor bahan baku obat sebesar 20 persen dari change source 10 bahan baku obat yang paling banyak digunakan di Indonesia.

    Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti, menilai lemahnya nilai tukar Rupiah dapat berimbas pada berbagai sektor usaha, tak terkecuali industri farmasi.

    Esther menilai, lemahnya Rupiah berimbas pada industri yang mengandalkan bahan baku impor, sebagaimana industri farmasi. Meningkatnya kebutuhan impor, kata dia, berdampak pada membengkaknya biaya produksi.

    “Nilai tukar ini dapat berimbas ke industri yang melambat jika bahan baku industri berasal dari luar negeri, sehingga kebutuhan nilai  impor meningkat dan mempengaruhi biaya produksi industri tersebut,” kata Esther kepada KabarBursa, Sabtu, 29 Juni 2024.

    Tingginya biaya produksi, kata Esther, turut mempengaruhi harga produk final. Hal itu berdampak pada turunnya daya saing produk Indonesia lantaran harga yang terlampau lebih mahal.

    Pada titik tertentu, kata Esther, hal ini akan menggerus omset industri dan berpotensi melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan efisiensi. Di sisi lain, hal ini juga akan mempersempit ruang fiskal.

    “Ini berdampak pada nilai impor naik, karena impor dibayar dengan USD,” tegasnya.

    Sementara menurut hasil Survey Global Medical Trends 2024 yang dirilis Willis Tower Waston, biaya medis secara global terus mengalami kenaikan, di tahun lalu sebesar 10,7 persen. Jauh meningkat jika dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 7,4 persen.

    Sedangkan di tahun ini, biaya medis global diprediksi ada diangka 9,9 persen. Adapun penyebab melambungnya biaya medis terjadi akibat penggunaan artifisial buatan, persoalan overtreatment di fasilitas Kesehatan, penggunaan layanan telemedis, hingga buruknya layanan Kesehatan. (and/prm)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi