KABARBURSA.COM - Peluang penurunan suku bunga Federal Reserve (The Fed) semakin besar seiring dengan laju inflasi Amerika Serikat (AS) yang moderat pada Juli 2024 dan penurunan inflasi tahunan. Kondisi ini mendorong ekspektasi bahwa Bank Indonesia (BI) juga akan menurunkan suku bunga acuan (BI Rate), sejalan dengan perbaikan kondisi pasar keuangan global.
Namun, apa dampaknya bagi saham perbankan di tengah kemungkinan penurunan suku bunga ini? Tim analis JP Morgan Sekuritas dalam riset terbaru mereka mencatat beberapa saham bank sebagai pilihan utama, terutama dengan semakin terbukanya ruang untuk penurunan suku bunga.
JP Morgan berpendapat bahwa Indonesia akan menjadi salah satu negara emerging market yang paling diuntungkan oleh pemangkasan suku bunga The Fed. "JP Morgan memperkirakan The Fed akan menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin (bps) pada bulan September dan tambahan 50 bps lagi pada bulan November," demikian dinyatakan dalam riset yang dipublikasikan pada Rabu, 21 Agustus 2024.
Selanjutnya, BI diprediksi akan mengikuti langkah ini dengan memangkas suku bunga acuan sebesar 50 bps antara September hingga Desember tahun ini, dan kemungkinan tambahan 50 bps lagi pada semester pertama tahun 2025.
Menanggapi situasi ini, JP Morgan lebih memilih sektor perbankan dan properti sebagai sektor unggulan di tengah prospek penurunan suku bunga acuan. Hal ini mengingat bahwa sektor otomotif dihadapkan pada kompetisi yang semakin ketat di pasar kendaraan roda empat.
Beberapa saham perbankan yang menjadi pilihan utama JP Morgan mencakup PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dan PT Bank Jago Tbk (ARTO).
Walaupun diperkirakan bahwa net interest margin (NIM) dari sebagian besar bank di Indonesia tidak akan meningkat secara signifikan saat terjadi pemangkasan suku bunga, perbaikan kondisi likuiditas dan peningkatan arus modal diharapkan tetap memberikan keuntungan bagi sektor perbankan.
JP Morgan juga menilai bahwa BBRI memiliki potensi untuk mengalami peningkatan margin, terutama karena tingginya porsi komposisi fixed loan yield yang berasal dari segmen mikro, yang akan diuntungkan oleh penurunan biaya dana (cost of fund).
BBCA
BBCA berhasil mencatatkan penyaluran kredit sebesar Rp850 triliun pada semester I 2024, mengalami peningkatan sebesar 15,5 persen secara year-on-year (yoy) dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Pertumbuhan kredit ini diklaim melampaui rata-rata industri.
Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, mengungkapkan bahwa segmen kredit korporasi menunjukkan pertumbuhan paling signifikan per Juni 2024, dengan peningkatan 19,9 persen yoy menjadi Rp388,6 triliun. Kredit komersial mengalami pertumbuhan sebesar 7,9 persen yoy menjadi Rp127,8 triliun, sementara kredit usaha kecil dan menengah (UKM) naik 12,7 persen yoy mencapai Rp114,4 triliun.
“Pertumbuhan kredit di segmen bisnis, baik korporasi maupun UKM, berjalan dengan baik. Selain itu, peningkatan juga terjadi di segmen kredit konsumer, didorong oleh keberhasilan acara BCA Expoversary 2024. Acara tersebut menghasilkan total aplikasi kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) sekitar Rp50 triliun,” ujar Jahja dalam Konferensi Pers Kinerja Keuangan BCA Semester I 2024, Rabu, 24 Juli 2024.
Menurut data BCA, portofolio kredit konsumer naik 13,6 persen yoy menjadi Rp210,2 triliun, yang sebagian besar didorong oleh penyaluran KPR yang tumbuh 10,8 persen yoy mencapai Rp126,9 triliun serta peningkatan KKB sebesar 18,4 persen yoy menjadi Rp62,1 triliun. Selain itu, outstanding pinjaman konsumer lainnya, yang sebagian besar berasal dari kartu kredit, tercatat meningkat 20,2 persen yoy mencapai Rp17,8 triliun.
Penyaluran kredit ke sektor-sektor berkelanjutan juga menunjukkan pertumbuhan, dengan peningkatan sebesar 9,3 persen yoy mencapai Rp198 triliun per Juni 2024, yang setara dengan 23,2 persen dari total portofolio pembiayaan. Termasuk di dalamnya adalah investasi pada obligasi hijau serta kredit dengan skema sustainability linked loans.
BCA juga menunjukkan komitmen dalam pembiayaan kendaraan bermotor listrik, dengan total pembiayaan mencapai sekitar Rp1,5 triliun per Juni 2024, meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Peningkatan kualitas pinjaman BCA seiring dengan pertumbuhan kredit yang solid. Rasio loan at risk (LAR) tercatat sebesar 6,4 persen pada semester I 2024, turun dibandingkan dengan 9 persen pada periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (NPL) tercatat berada di angka 2,2 persen, dengan rasio pencadangan NPL dan LAR yang masing-masing berada pada level 190,2 persen dan 71,2 persen, dianggap memadai.
BBCA mencatatkan laba bersih sebesar Rp26,9 triliun sepanjang semester pertama 2024, meningkat sebesar 11,1 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya (yoy). Peningkatan laba ini didorong oleh ekspansi pembiayaan serta peningkatan volume transaksi dan pendanaan. “Hingga semester I 2024, BCA mencatat pertumbuhan kredit korporasi sebesar 19,9 persen yoy menjadi Rp388,6 triliun, menjadikan segmen kredit ini sebagai yang tumbuh paling tinggi,” ungkap Jahja dalam konferensi pers virtual pada Rabu, 24 Juli 2024.
Kredit komersial juga mengalami pertumbuhan sebesar 7,9 persen yoy menjadi Rp127,8 triliun, sedangkan kredit UKM naik 12,7 persen yoy menjadi Rp114,4 triliun.
Portofolio kredit konsumer turut meningkat 13,6 persen yoy menjadi Rp210,2 triliun, yang terutama didorong oleh penyaluran KPR yang tumbuh 10,8 persen yoy mencapai Rp126,9 triliun, serta pertumbuhan KKB sebesar 18,4 persen yoy menjadi Rp62,1 triliun. Outstanding pinjaman konsumer lainnya, yang sebagian besar terdiri dari kartu kredit, tercatat naik 20,2 persen yoy mencapai Rp17,8 triliun.
“Kredit bisnis menunjukkan pertumbuhan yang solid, baik di segmen korporasi maupun UKM. Peningkatan juga terjadi di segmen kredit konsumer, terutama berkat keberhasilan pelaksanaan BCA Expoversary 2024. Event yang berlangsung sekitar dua bulan ini berhasil mengumpulkan total aplikasi KPR dan kredit kendaraan bermotor (KKB) sekitar Rp50 triliun,” jelas Jahja.
Selain itu, BCA mencatatkan rasio loan at risk (LAR) sebesar 6,4 persen pada semester I 2024, turun dari 9 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Rasio non-performing loan (NPL) tercatat sebesar 2,2 persen. Rasio pencadangan NPL dan LAR berada pada tingkat yang memadai, masing-masing sebesar 190,2 persen dan 71,2 persen.
Di sisi pendanaan, total dana pihak ketiga (DPK) meningkat sebesar 5 persen, mencapai Rp1.125 triliun. Dana giro dan tabungan (CASA) menyumbang lebih dari 82 persen dari total DPK, tumbuh sebesar 5,8 persen mencapai Rp915 triliun.
BMRI
BMRI mencatatkan penyaluran kredit sebesar Rp1.532 triliun pada kuartal II 2024, mengalami peningkatan 20,5 persen secara tahunan (yoy), jauh melampaui rata-rata industri perbankan yang tumbuh sebesar 12,36 persen.
Menurut laporan keuangan, kinerja positif ini didorong oleh konsistensi Bank Mandiri dalam mengelola dua segmen kredit utamanya, yaitu wholesale dan retail. Di segmen retail, strategi pertumbuhan dijalankan melalui pendekatan ecosystem approach dan memanfaatkan sektor-sektor unggulan di setiap wilayah.
Pada segmen korporasi, Bank Mandiri mencatatkan peningkatan penyaluran kredit sebesar 29,7 persen yoy, mencapai Rp561 triliun pada kuartal II 2024. Pertumbuhan serupa juga tercatat di segmen komersial, yang meningkat 21,7 persen menjadi Rp262 triliun, dan di segmen konsumer yang naik 9,02 persen menjadi Rp116 triliun. Kredit untuk UMKM juga mengalami peningkatan 6,3 persen, mencapai Rp127 triliun.
Direktur Utama Bank Mandiri, Darmawan Junaidi, menegaskan bahwa segmen korporasi adalah kontributor utama bagi kinerja perusahaan sepanjang paruh pertama 2024. “Fokus kami adalah memperluas ekosistem dan mengoptimalkan potensi di setiap wilayah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan nasabah,” jelas Darmawan.
Penyaluran kredit investasi juga menunjukkan tren positif, didorong oleh pemulihan ekonomi yang meningkatkan permintaan kredit. Hingga akhir Juni 2024, total kredit investasi Bank Mandiri mencapai Rp528,69 triliun, tumbuh 24,32 persen yoy. Sektor manufaktur, perdagangan, dan jasa menjadi pendorong utama pertumbuhan ini.
BBRI
BBRI melaporkan penurunan laba bersih pada kuartal II 2024 menjadi Rp13,8 triliun, turun 13 persen secara kuartalan (quarter on quarter/qoq) dan 1 persen secara tahunan (yoy).
Akibatnya, laba bersih BBRI selama semester I 2024 hanya mengalami peningkatan tipis sebesar 0,9 persen yoy, mencapai Rp29,7 triliun. Namun, hasil ini berada di bawah ekspektasi karena hanya mencapai 48 persen dari estimasi laba untuk tahun fiskal 2024.
Secara keseluruhan, kinerja ini dipengaruhi oleh penurunan margin bunga bersih (net interest margin/NIM) yang terjadi akibat meningkatnya biaya dana (cost of fund). Selain itu, penurunan laba juga disebabkan oleh biaya kredit (credit cost) dan kualitas aset yang mulai menunjukkan perbaikan, serta pergeseran pertumbuhan kredit ke segmen korporasi.
Pada kuartal II 2024, NIM melemah, menyebabkan margin sepanjang semester pertama tahun ini turun menjadi 7,64 persen, yang berada di batas bawah panduan untuk tahun fiskal 2024. Penurunan NIM terjadi meskipun terjadi penurunan pada dana mahal (time deposit) secara qoq, yang terutama disebabkan oleh peningkatan biaya dana.
Selain itu, biaya kredit pada kuartal kedua tahun ini membaik ke level 3,13 persen, sehingga selama semester I 2024 meningkat menjadi 3,48 persen. Perbaikan ini didukung oleh peningkatan kualitas aset. Namun, biaya kredit selama semester I 2024 masih lebih tinggi dibandingkan dengan panduan tahun fiskal 2024, di mana manajemen menargetkan level maksimum sebesar 3 persen.
Secara kuartalan, rasio pinjaman bermasalah (non-performing loan/NPL) gross dan pinjaman berisiko (loan at risk/LAR) BBRI sedikit membaik, meskipun masih lebih buruk dari panduan manajemen untuk tahun fiskal 2024. Segmen mikro, konsumer, dan UMKM mengalami penurunan kualitas yang lebih cepat ke dalam kategori NPL, sementara segmen komersial dan korporasi menunjukkan perbaikan.
Pertumbuhan kredit BBRI mencapai 11,2 persen yoy sepanjang semester I 2024, dengan peningkatan 10,9 persen yoy dibandingkan kuartal pertama tahun ini, yang sesuai dengan panduan manajemen untuk tahun fiskal 2024.
Kredit tumbuh di semua segmen, tetapi terutama didorong oleh segmen korporasi yang meningkat 29,2 persen yoy. Di sisi lain, strategi manajemen untuk lebih berhati-hati dalam penyaluran kredit ke segmen mikro dengan pertumbuhan 7,8 persen yoy, dan UMKM sebesar 2 persen yoy, tercermin dalam pertumbuhan kredit di kedua segmen tersebut yang hanya mencapai angka satu digit.
ARTO
ARTO terus menunjukkan kinerja positif hingga lima bulan pertama tahun 2024, dengan laba bersih berjalan tumbuh sekitar 30,41 persen secara yoy.
Mengacu pada laporan keuangan bulanan per Mei 2024, bank yang berada dalam ekosistem Goto ini membukukan laba sebesar Rp39,41 miliar. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun lalu, laba Bank Jago hanya mencapai Rp30,22 miliar.
Kenaikan laba ARTO sebagian besar didorong oleh efisiensi dalam beban operasional. Beban operasional yang dicatat Bank Jago turun sekitar 19,76 persen yoy menjadi Rp536,32 miliar.
Penurunan beban operasional ini terutama disebabkan oleh penyusutan beban kerugian penurunan nilai aset keuangan atau impairment secara tahunan. Pada Mei 2024, beban ini tercatat sebesar Rp96,5 miliar, turun dari Rp228,56 miliar pada tahun sebelumnya.
Namun, pendapatan bunga bersih ARTO justru mengalami penurunan, sejalan dengan tingginya suku bunga. Penurunan tersebut mencapai sekitar 16,14 persen dari periode yang sama tahun lalu, menjadi Rp587,8 miliar.
Di sisi lain, penyaluran kredit oleh Bank Jago pada lima bulan pertama tahun 2024 telah mencapai Rp15,2 triliun, meningkat dibandingkan posisi Mei 2023 yang sebesar Rp11,1 triliun.
Namun, yang menarik adalah pembiayaan syariah yang disalurkan oleh Unit Usaha Syariah (UUS) Bank Jago mengalami penurunan drastis, mencapai sekitar 95,32 persen yoy, dengan nilai per Mei 2024 tercatat sebesar Rp80,37 miliar.
Selain itu, JP Morgan percaya bahwa aset dengan jangka waktu panjang, seperti perusahaan berbasis internet dan bank digital, akan mendapatkan manfaat dari tren suku bunga yang lebih rendah. GOTO dan ARTO menjadi pilihan mereka dalam kategori ini.
Selain sektor perbankan dan perusahaan berbasis digital, JP Morgan juga yakin bahwa sektor-sektor yang sensitif terhadap perubahan suku bunga, seperti properti dan otomotif, akan memperoleh manfaat dari kebijakan pelonggaran moneter ini. Dalam konteks properti, penurunan suku bunga diperkirakan akan mendorong permintaan kredit pemilikan rumah (KPR) dan meningkatkan daya beli konsumen, sementara sektor otomotif mungkin akan menghadapi tantangan yang lebih besar akibat persaingan yang ketat, namun masih memiliki peluang untuk bertumbuh seiring dengan penurunan biaya pembiayaan. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.