Logo
>

Rencana Obligasi Besar-Besaran China, Akankah Selamatkan Perekonomian?

Ditulis oleh Yunila Wati
Rencana Obligasi Besar-Besaran China, Akankah Selamatkan Perekonomian?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Rencana China untuk mengeluarkan obligasi besar-besaran demi menyelamatkan perekonomiannya, mendapat perhatian besar dunia. Sebabnya, hingga saat ini tidak disebut secara pasti, berapa nesaram stimulus kedua yang akan diputuskan.

    China menjadi salah satu patokan perekonomian dunia. Tiongkok memiliki ekonomi terbesar kedua di dunia jika diukur dengan PDB nominal, dan yang terbesar di dunia sejak 2014 jika diukur dengan Keseimbangan Kemampuan Berbelanja (KKB).

    Namun, beberapa waktu ini perekonomian China menunjukkan suatu yang berbeda. Apalagi semenjak Uni Eropa membatasi pasar impor ke negara-negara anggotanya, pasar China terlihat kehilangan arah. Hal ini terkait keinginan Eropa untuk lepas dari ketergantungan produk-produk China.

    Walau begitu, pada Kamis, 10 Oktober 2024, pasar saham China tampak menguat, melanjutkan reli pada hari sebelumnya. CSI 300 memutuskan streak kemenangan selama 10 hari dengan penurunan 7 persen. Reli tersebut dipicu oleh serangkaian langkah stimulus pemerintah pada akhir September.

    Bank sentral China mengatakan telah mulai menerima aplikasi dari lembaga keuangan untuk bergabung dengan alat likuiditas yang baru dibuat — yang awalnya bernilai 500 miliar yuan (sekitar 70,7 miliar USD) — yang akan memberikan akses yang lebih mudah ke modal bagi pasar saham.

    Reli tersebut kemudian memacu China untuk mengeluarkan stimulus baru, obligasi besar-besaran yang diyakini mampu memulihkan perekonomiannya secara cepat.

    "Investor berharap akan adanya stimulus baru, disertai dengan angka-angka tertentu. Ada langkah-langkah penting yang diumumkan. Namun, dengan pasar yang berfokus pada berapa banyak daripada apa, mereka pasti kecewa dengan pengarahan ini," jelas manajer portofolio Eastpring Investments di Singapura Rong Ren Goh.

    Pernyataan Goh disampaikan usai pemerintah China pada Sabtu, 12 Oktober 2024, mengumumkan bahwa pihaknya akan menambah penerbitan utang secara signifikan di tengah upaya menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi yang tersendat.

    Adapun dana yang didapatkan akan digunakan untuk menawarkan subsidi kepada orang-orang dengan pendapatan rendah, mendukung pasar properti, dan mengisi kembali modal bank-bank negara.

    Sayangnya, pemerintah China tidak memberikan angka pasti besaran stimulus fiskal yang sedang dipersiapkan. Menteri Keuangan China Lan Foan, hanya mengatakan akan ada lebih banyak tindakan kontra siklus.

    Pernyataan 'setengah hati' inilah yang kemudian membuat investor global menunggu-nunggu detail utama untuk mengukur keberlanjutan lonjakan saham China baru-baru ini.

    "Masih ada ruang yang relatif besar bagi China untuk menerbitkan utang dan meningkatkan defisit fiskal, kata Lan, kemarin.

    Rencana Utang untuk Mendorong Stimulus Fiskal

    Tanpa memberikan detail pasti mengenai besaran stimulus fiskal, Lan Foan menyatakan bahwa "masih ada ruang yang cukup besar bagi China untuk meningkatkan defisit fiskal dan menerbitkan lebih banyak utang."

    Sinyal kuat mengenai langkah ini sudah muncul sejak pertemuan Politbiro Partai Komunis China pada September 2024. Pertemuan tersebut menunjukkan urgensi untuk segera mengambil tindakan guna menghadapi tantangan ekonomi, termasuk tekanan deflasi dan lemahnya kepercayaan konsumen, yang sangat dirasakan di sektor properti.

    Pemerintah China dilaporkan berencana menerbitkan obligasi khusus senilai sekitar 2 triliun yuan (setara dengan USD284,43 miliar atau Rp4.428,3 triliun) pada akhir tahun ini. Setengah dari dana tersebut akan digunakan untuk membantu pemerintah daerah yang mengalami masalah utang, sementara sisanya akan dialokasikan untuk subsidi pembelian peralatan rumah tangga dan pemberian tunjangan kepada keluarga dengan dua anak atau lebih.

    Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan konsumsi domestik, yang selama ini menjadi titik lemah dalam struktur perekonomian China.

    Mengatasi Tekanan di Sektor Properti dan Konsumen

    China tengah menghadapi berbagai tantangan struktural, terutama di sektor properti yang mengalami penurunan tajam. Kelemahan sektor ini telah memicu kekhawatiran akan potensi tekanan deflasi yang lebih besar, di mana harga-harga properti menurun dan konsumsi domestik melemah.

    Bank sentral China (PBoC) pada September 2024 telah mengambil langkah-langkah moneter agresif, termasuk pemotongan suku bunga dan injeksi likuiditas sebesar 1 triliun yuan. Namun, meskipun langkah ini telah memberikan dukungan jangka pendek pada pasar saham dan properti, tantangan struktural seperti ketergantungan pada ekspor dan investasi infrastruktur yang didorong utang tetap ada.

    Untuk itu, pemerintah China menargetkan sektor properti sebagai salah satu prioritas dalam stimulus fiskal. Salah satu langkah yang diambil adalah memberi wewenang kepada pemerintah daerah untuk membeli kembali tanah yang belum dikembangkan dari pengembang properti. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi tekanan pada pengembang dan menstabilkan pasar properti yang terguncang.

    Tantangan Struktural Jangka Panjang

    Meskipun ada optimisme terhadap stimulus ini, sejumlah ekonom memperingatkan bahwa tantangan struktural yang lebih besar masih mengintai. Tingkat upah rendah, angka pengangguran yang tinggi di kalangan pemuda, serta kurangnya jaring pengaman sosial telah menyebabkan pengeluaran rumah tangga di China berada jauh di bawah rata-rata global. Menurut data, pengeluaran rumah tangga hanya mencapai 40 persen dari produk domestik bruto (PDB) tahunan, jauh di bawah rata-rata global yang mencapai 60 persen.

    Sementara itu, investasi di sektor infrastruktur terus meningkat, tetapi sering kali tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini memicu kekhawatiran akan meningkatnya utang pemerintah pusat dan daerah. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), utang publik China mencapai 116 persen dari PDB pada 2024, dengan sebagian besar utang berasal dari pemerintah daerah yang menghadapi tantangan keuangan yang besar.

    Prospek dan Risiko Ekonomi di Tahun Mendatang

    Para analis memperkirakan bahwa langkah-langkah stimulus ini mungkin dapat membantu China mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen pada 2024, tetapi tantangan jangka panjang akan terus muncul. Bruce Pang, Kepala Ekonom China di Jones Lang Lasalle, menyatakan bahwa meskipun langkah-langkah fiskal ini dapat membantu mendorong pertumbuhan, tantangan yang lebih besar diperkirakan akan datang pada 2025. Ia memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi China pada 2025 akan berada di sekitar 4,5 persen, di bawah target 2024.

    Secara keseluruhan, meskipun langkah-langkah stimulus ini memberikan secercah harapan bagi ekonomi China, keberlanjutan dari langkah-langkah ini tetap menjadi pertanyaan utama bagi para investor global. Mereka masih menunggu detail lebih lanjut mengenai ukuran dan skala dari rencana utang pemerintah China untuk mengukur seberapa efektifnya dalam memulihkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang negara tersebut.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79