Logo
>

RI Jadi Negara ke-15 Penyumbang Defisit Dagang AS

Eskalasi konflik dagang antara Amerika Serikat dengan China terjadi dengan saling balas tarif impor.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
RI Jadi Negara ke-15 Penyumbang Defisit Dagang AS
Tarif timbal balik (reciprocal tariff) yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) tidak hanya berdampak pada ekspor nasional.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ketegangan dalam perdagangan global tengah memanas. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada 2 April 2025 mengumumkan kebijakan tarif resiprokal terhadap 185 negara sebagai bagian dari langkah untuk menekan ketimpangan neraca perdagangan AS dengan mitra-mitra dagangnya. Dalam konteks ini, Indonesia turut masuk dalam radar Negeri Paman Sam sebagai negara penyumbang defisit perdagangan terbesar ke-15.

    Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, mengungkapkan bahwa kontribusi Indonesia terhadap defisit neraca perdagangan Amerika Serikat pada 2024 tercatat sebesar 1,40 persen. Angka ini menempatkan Indonesia di posisi ke-15 dari 20 negara penyumbang defisit terbesar.

    “Indonesia menjadi negara ke-15 terbesar penyumbang defisit perdagangan dengan Amerika Serikat,” kata Amalia dalam konferensi pers di kantornya, Senin 21 April 2025.

    Untuk diketahui, berdasarkan grafik Share 20 Negara Penyumbang Terbesar Defisit Perdagangan Amerika Serikat Tahun 2024, China menjadi negara dengan kontribusi tertinggi terhadap defisit perdagangan AS, yakni sebesar 23,07 persen. Disusul oleh Meksiko (12,72 persen), Vietnam (9,35 persen), Jerman (6,36 persen), dan Irlandia (6,30 persen).

    Sementara itu, negara-negara Asia lainnya seperti Taiwan, Jepang, Korea Selatan, India, Thailand, dan Malaysia juga tercatat sebagai kontributor signifikan. Di tengah tekanan global tersebut, posisi Indonesia menunjukkan bahwa nilai ekspor ke AS masih tinggi dibandingkan dengan nilai impornya dari negara tersebut.

    Ketidakseimbangan ini makin diperuncing oleh meningkatnya ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China. Amalia menjelaskan bahwa pada 12 April 2025, China kembali menaikkan tarif retaliasi menjadi 145 persen untuk sejumlah produk impor dari Amerika. Tak lama berselang, pada 15 April 2025, AS membalas dengan menaikkan tarif menjadi 245 persen terhadap barang-barang dari China.

    “Dan eskalasi konflik dagang antara Amerika Serikat dengan China terjadi dengan saling balas tarif impor yang diberlakukan untuk produk impor dari masing-masing negara,” ungkap Amalia.

    Strategi Dagang Agresif

    Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kembali meluncurkan strategi dagang yang agresif terhadap sejumlah mitra dagang utama AS, termasuk Indonesia. Pada 2 April 2025, Trump mengumumkan kebijakan tarif ganda yang mengejutkan, dengan tarif dasar sebesar 10 persen diberlakukan untuk seluruh barang impor dari negara-negara mitra dagang AS, ditambah tarif tambahan sebesar 32 persen bagi Indonesia, yang tercatat sebagai negara dengan surplus perdagangan sebesar USD14,2 miliar terhadap AS pada 2024.

    Kebijakan ini menandai dimulainya babak baru dalam perang dagang global yang berdampak pada ekonomi Indonesia. Dalam rangka menanggapi kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan AS, Indonesia kini menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan daya saing produk ekspor dan stabilitas ekonomi makro.

    Peneliti dari CORE Indonesia mengingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi mengguncang perekonomian Indonesia, dengan dampak yang luas terhadap sektor ekspor, produk domestik bruto (PDB), kebijakan fiskal, moneter, serta kinerja perdagangan jasa. Meskipun tarif tambahan ini sempat ditunda oleh Trump pada 10 April 2025, ketidakpastian dalam sistem perdagangan global semakin memuncak.

    Pemberlakuan tarif resiprokal ini, yang mencakup 57 negara, termasuk Indonesia, dapat memicu ketegangan bilateral lebih lanjut. Kebijakan ini berpotensi mengancam sektor manufaktur Indonesia, yang sangat bergantung pada ekspor, serta memperburuk kesejahteraan petani mengingat sebagian besar impor dari AS adalah produk pertanian yang vital bagi pendapatan mereka.

    CORE Indonesia menekankan pentingnya Indonesia untuk merespons kebijakan ini dengan cermat dan penuh pertimbangan. Pemerintah Indonesia harus memperhatikan bahwa perang tarif ini bukan hanya soal negosiasi perdagangan, melainkan juga soal mempertahankan stabilitas makroekonomi dan memastikan ketahanan sektor-sektor strategis seperti manufaktur dan pertanian.

    "Langkah reaktif dapat memperburuk keadaan, seperti yang dialami oleh China. Indonesia perlu mempersiapkan strategi negosiasi yang berbasis data komprehensif untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional," ujar para peneliti CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, Azhar Syahida, dan Lailatun Nikmah, dalam riset Rabu, 16 April 2025.

    Pemerintah Indonesia juga harus mengantisipasi tantangan lebih lanjut berupa potensi serbuan produk manufaktur murah (dumped imports) ke pasar domestik dan lonjakan impor produk pertanian dari AS serta negara lain.

    Lebih lanjut, penelitian ini mendorong Indonesia untuk menjadikan dinamika perang dagang ini sebagai momentum untuk memperkuat struktur ekonomi domestik. Indonesia perlu meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor manufaktur agar dapat bersaing di pasar global, serta memperkuat sektor pertanian domestik untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor.

    "Sejarah swasembada kedelai yang pernah tercapai Indonesia menunjukkan bahwa kemandirian ekonomi bukanlah impian yang mustahil," tambah mereka.

    Dalam menghadapi kebijakan AS yang mengkritik kebijakan perdagangan Indonesia, terutama terkait tarif, pajak, dan hambatan non-tarif, pemerintah Indonesia harus tetap menjaga diplomasi ekonomi yang fokus pada kepentingan nasional. Indonesia perlu memastikan bahwa kebijakan domestiknya tidak memperburuk hubungan perdagangan dengan AS dan negara mitra lainnya, sambil tetap mempertahankan kestabilan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.