KABARBURSA.COM - Produksi padi dikhawatirkan menurun seiring masuknya musim kemarau di Indonesia. Pemerintah pun diminta memberi perhatian terkait kondisi ini.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa menyebut datangnya musim kemarau berpotensi mengurangi luas tanam. Hal ini lah dikatakan Dwi penyebab produksi pada menurun
"Sehingga kemungkinan besar akan mengurangi luas tanam, dampaknya apa nanti? Dampaknya menurut saya akan terjadi penurunan produksi tahun 2024 ini," kata Dwi Andreas kepada Kabar Bursa, Rabu, 29 Mei 2024.
Menurut laporan di lapangan, kata Dwi, wilayah Jawa Timur mulai dilanda kekeringan. Dia ungkapkan, kondisi ini sudah terjadi sejak satu bulan terakhir.
Sedangkan di wilayah Jawa Barat, lanjut Dwi, hujan masih turun beberapa kali. "Teman-teman di Jawa Timur melaporkan mereka mulai dilanda kekeringan, paling tidak sudah sebulan terakhir. Sedangkan di Jawa Barat, masih sedikit ada hujan," ujarnya.
Dwi pun meminta pemerintah menyimpan atau menyediakan beras yang sudah diimpor untuk berjaga-jaga. Hal ini, lanjutnya, sebagai bentuk intervensi terhadap pasar.
"Sebaiknya beras impor itu disimpan untuk bisa intervensi pasar. Jangan ketika nanti harga naik, enggak punya beras, enggak punya stok," tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa sejumlah wilayah di Indonesia terancam mengalami kekeringan.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengungkapkan potensi terjadinya kekeringan akan mendominasi dari Juni hingga September 2024.
“Kondisi kekeringan selama musim kemarau akan mendominasi hingga September,” ujar Dwikorita dalam acara konferensi pers virtual, Selasa, 28 Mei 2024.
Dwikorita menjelaskan bahwa daerah dengan potensi curah hujan bulanan sangat rendah, kurang dari 50 mm (milimeter) , perlu mendapatkan perhatian khusus untuk mitigasi dampak kekeringan.
Curah hujan diprediksi mulai rendah pada Juni hingga Juli 2024, dengan beberapa wilayah terdampak meliputi sebagian Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan sebagian Sulawesi Selatan.
Pada bulan September mendatang, curah hujan di bawah 50 mm juga masih berpotensi terjadi di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT.
Kondisi serupa diprediksi terjadi pada Oktober, dengan curah hujan di bawah 50 mm per bulan di sebagian Jawa Timur, NTB, dan NTT.
“Jadi tampaknya Jawa Timur, NTB, dan NTT akan mengalami kondisi curah hujan sangat rendah atau kurang dari 50 mm per bulan mulai Juni hingga Oktober,” jelas Dwikorita.
Saat ini, 19 persen wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau berdasarkan jumlah zona musim, meskipun belum semua wilayah Indonesia memasuki musim kemarau.
Dwikorita menjelaskan bahwa kondisi ini menyebabkan beberapa wilayah mengalami bencana banjir sementara wilayah lainnya mengalami kekeringan, yang sebagian besar dipisahkan oleh garis khatulistiwa.
Wilayah yang sudah memasuki musim kemarau meliputi sebagian Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jawa Barat, Jogjakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, dan Sulawesi Tengah.
“Dalam kondisi ini, kita mengalami bencana baik basah maupun kering dalam waktu bersamaan, hanya areanya yang berbeda, kurang lebih dipisahkan oleh khatulistiwa,” kata Dwikorita.
Penilaian normal atau tidaknya musim kemarau ini terkait dengan sifat hujan, yang merupakan perbandingan antara jumlah curah hujan selama rentang waktu tertentu (satu periode Musim Kemarau) dengan jumlah curah hujan normalnya (rata-rata selama 30 tahun periode 1991-2020). Berdasarkan sifat hujannya, musim dibedakan menjadi tiga kategori:
- Atas Normal (AN): jika nilai curah hujan lebih dari 115 persen terhadap rata-ratanya
- Normal (N): jika nilai curah hujan antara 85 persen-115 persen terhadap rata-rata
- Bawah Normal (BN): jika nilai curah hujan kurang dari 85 persen terhadap rata-rata
Lanjut Dwikorita memaparkan, bahwa sifat musim kemarau 2024 diprediksi secara umum bersifat normal di sekitar 359 ZOM atau 51,36 persen dan di atas normal di 279 ZOM atau 39,91 persen.
Di sisi lain, Dwikorita juga mengungkapkan bahwa musim kemarau kali ini berpotensi basah jika anomali iklim La Nina resmi terjadi.
“Kita belum menyimpulkan seperti itu (akan terjadi La Nina). Ada kecenderungan La Nina meskipun lemah akan terjadi. Tapi itu bisa meleset karena datanya masih kurang, tapi ada tren ke sana,” ujarnya.
Jika La Nina benar terjadi, maka musim kemarau akan menjadi basah. Anomali iklim pemicu kekeringan, El Nino, kini berstatus netral alias berakhir usai terdeteksi setidaknya sejak Juli 2023. Lawannya, La Nina, pun bersiap muncul.
Menurut Dwikorita, wilayah yang diprediksi akan mengalami musim kemarau lebih basah dari normalnya mencakup sekitar 40 persen dari ZOM.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.