KABARBURSA.COM - Indonesia tengah berupaya memanfaatkan mata uang lokal dalam perdagangan dengan negara mitra atau dikenal dengan skema Local Currency Settlement (LCS). Hal ini dilakukan sebagai upaya menjaga stabilitas ekonomi nasional dalam menghadapi dampak ekonomi global yang ditimbulkan oleh konflik di Timur Tengah (Timteng).
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Ferry Irawan, mengungkapkan bahwa pendekatan LCS merupakan bagian dari upaya mitigasi dampak konflik Timteng terhadap perekonomian dunia, khususnya Indonesia.
"Timur Tengah adalah salah satu sumber energi utama dunia sehingga setiap peningkatan harga minyak yang disebabkan oleh konflik ini berpotensi meningkatkan harga energi secara global," ujarnya dalam acara Dialog Forum Merdeka Barat 9 pada Senin, 3 Juni 2024.
Menurutnya, peningkatan harga energi ini dapat memicu inflasi, yang pada gilirannya berdampak pada kebijakan moneter yang diterapkan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia. Untuk mengatasi hal ini, kebijakan moneter, seperti penyesuaian suku bunga dan LCS dapat digunakan sebagai instrumen untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Karenanya, strategi melalui kerja sama dengan negara-negara mitra dagang untuk memanfaatkan mata uang lokal dalam transaksi memainkan peran penting dalam mitigasi terhadap dampak buruk akibat dinamika geopolitik di Timteng. Skema LCS ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada mata uang asing dan meningkatkan efisiensi ekonomi.
"Kami telah bekerja sama dengan negara-negara mitra dagang untuk memanfaatkan uang lokal untuk transaksi bilateral, seperti Thailand, Malaysia, Jepang, China, hingga Korea Selatan," jelas Ferry.
Ferry menambahkan, koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal juga diperkuat. Bank Indonesia (BI), sebagai bank sentral, bekerja sama dengan pemerintah dalam menggunakan berbagai instrumen untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Selain langkah-langkah mitigasi jangka pendek, Indonesia juga mengimplementasikan kebijakan jangka menengah dan panjang untuk memperkuat daya saing ekonomi domestik.
Reformasi struktural, peningkatan investasi, kemudahan perizinan, dan insentif bagi investor adalah beberapa langkah yang diambil untuk memastikan ekonomi domestik memiliki ketahanan yang cukup kuat terhadap guncangan eksternal. "Kami terus mendorong daya saing ekonomi agar saat terjadi guncangan global, ekonomi domestik tetap stabil," tambah Ferry.
Di sisi lain, Indonesia terus menggaungkan aksi damai dalam konflik Timteng. Hal ini dilakukan agar perekonomian dalam negeri stabil, usai kondisi kembali menegang setelah Israel melakukan serangan ke Rafah, Palestina, pada 26 Mei 2024 lalu.
Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, Abdul Kadir Jailani, mengatakan konflik di Timteng saat ini memiliki potensi cukup besar mempengaruhi perekonomian nasional.
"Kita tahu apabila konflik ini berlanjut dan dampaknya terhadap dinamika pasar minyak, dapat menghalangi supply chains di Laut Merah, tentunya juga mempengaruhi nilai tukar," katanya dalam kesempatan yang sama.
Abdul menuturkan apabila konflik di Timteng berkembang menjadi konflik tingkat regional ataupun tingkat kawasan, kemungkinan besar dampaknya akan sangat besar. "Tidak hanya mengenai supply saja, dampaknya juga akan mempengaruhi sektor moneter dan sebagainya," tuturnya.
Abdul menegaskan Indonesia memiliki kepentingan untuk mengelola krisis di Timteng. Dia bilang, hal ini bukan hanya persoalan solidaritas, tapi juga untuk melindungi kepentingan nasional.
Menurut dia, Indonesia telah melakukan diplomasi untuk mengelola krisis tersebut. Salah satunya adalah mendorong berhentinya kekerasan di Timteng, khususnya di Gaza. "Karena bagi kita berhentinya kekerasan itu akan menimbulkan deklarasi keadaan yang akan berdampak positif," jelasnya.
Lalu kemudian, lanjut Abdul, Indonesia akan terus memberi bantuan kemanusiaan untuk warga di Gaza. Dan yang terakhir dikatakan dia, Indonesia bakal memulai kembali pembicaraan damai antara Israel dan Palestina.
Ferry Irawan menyatakan perekonomian Indonesia masih stabil meski ada konflik di Timteng. "Sampai saat ini kinerja ekonomi atau mata uang kita itu masih cukup bagus,” ungkap dia.
Dari berbagai indikator nilai tukar misalnya, kata Ferry, Indonesia masih lebih baik dengan depresiasi yang terjadi di sejumlah negara di dunia.
"Kalau kita lihat sampai saat ini, misalnya yang paling tinggi depresiasinya itu Jepang minus 10,13 persen, kemudian ada Turki yang 8,65 persen dengan 10 persen," pungkasnya.
Eskalasi Konflik Timteng
Konflik di Timteng memang sangat berpengaruh terhadap ekonomi, terutama dari harga minyak. Seperti misalnya eskalasi ketegangan di Timteng beberapa waktu lalu sempat mengerek harga minyak naik pada hari kedua berturut-turut. Pasalnya, Israel menolak usulan gencatan senjata untuk Jalur Gaza.
Kabinet perang Israel menolak proposal gencatan senjata yang disetujui oleh Hamas. Negara Yahudi ini bersumpah untuk melanjutkan operasi militer di Rafah, sebuah kota besar di Gaza.
Harga patokan global Brent mendekati angka USD84 per barel setelah mengalami kenaikan sebesar 0,5 persen pada hari Senin, 6 Mei 2024, sedangkan harga West Texas Intermediate (WTI) juga mendekati angka USD79.
Kemudian selang beberapan waktu tepatnya pada Senin, 13 Mei 2024 pukul 11.30 WIB, harga minyak jenis WTI turun sebesar 0,17 persen menjadi USD78,069. Sementara harga minyak Brent juga mengalami penurunan sebesar 0,29 persen menjadi USD82,55 per barel.
Analis dari Deu Calion Futures (DCFX) Andrew Fischer menyatakan bahwa sentimen utama yang menyebabkan penurunan harga minyak adalah meredanya konflik di Timteng dan fundamental pasar yang semakin menurun.
“Penurunan harga minyak yang cukup signifikan dapat diantisipasi karena konflik-konflik yang sebelumnya mempengaruhi pasokan minyak kini mereda. Hal ini diharapkan akan berdampak positif pada daya beli di masa mendatang, karena investor dapat memanfaatkan penurunan harga minyak ini untuk investasi,” jelas dia.
“Meskipun begitu, kita perlu ingat bahwa tren harga saat ini masih menunjukkan kecenderungan penurunan, dipengaruhi oleh penurunan daya beli dan penguatan nilai tukar dolar AS,” ujar Fischer dalam risetnya pada Senin, 13 Mei 2024. (yog/*)