KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan bahwa arus keluar modal asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp9,3 triliun hingga 24 Juni 2024.
"Untuk SBN kita masih terjadi capital outflow, saham capital outflow, sehingga total outflow sampai dengan Juni Rp9,3 triliun,” ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita pada Kamis, 27 Juni 2024.
Secara rinci, pasar SBN mencatatkan outflow sebesar Rp7,29 triliun, sementara pasar saham mencatatkan outflow senilai Rp2,01 triliun. Dalam skala year-to-date (ytd), pasar SBN mencatatkan outflow Rp42,37 triliun, sementara saham sebesar Rp6,14 triliun, menjadikan total outflow mencapai Rp48,51 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa kondisi ini disebabkan oleh dinamika pasar keuangan global. Salah satu faktor utama adalah suku bunga The Federal Reserve (The Fed) yang tidak turun sebanyak yang diharapkan pasar. Fed Fund Rate (FFR) tetap stabil di 5,5 persen dan diperkirakan hanya akan turun satu kali tahun ini, jauh dari ekspektasi pasar yang mengharapkan penurunan empat hingga lima kali.
"Kondisi ini membuat ekspektasi pasar kecewa, yang terlihat dari reaksi pasar pada April hingga Mei, ditambah dengan faktor domestik kita,” jelas Sri Mulyani.
Situasi ini menyebabkan penguatan indeks dolar AS dan depresiasi mata uang, termasuk rupiah. Secara year-to-date, rupiah telah melemah sebesar 6,58 persen, mencapai angka Rp16.431 per dolar AS. Meskipun demikian, negara-negara berkembang lain, seperti Brasil, mengalami depresiasi yang lebih dalam, sementara Jepang mengalami depresiasi yang paling signifikan sejak 1986.
Dalam APBN 2024, Kementerian Keuangan merencanakan penerbitan utang dari SBN senilai Rp666,4 triliun, meningkat 115 persen dibandingkan realisasi tahun 2023 yang sebesar Rp308 triliun. Penerbitan SBN 2024 juga naik 83,6 persen dibandingkan dengan outlook APBN 2023 sebesar Rp362,93 triliun.
Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah akan terus mewaspadai kondisi pasar keuangan global karena dampaknya terhadap kinerja APBN, terutama dalam hal nilai tukar dan pembiayaan melalui penerbitan SBN.
"Ini kita waspadai dalam arti respons dari APBN adalah nanti kepada berbagai pos yang terpengaruh terhadap nilai tukar dan pembiayaan terutama issuance [penerbitan SBN]," lanjutnya.
Tren Pelemahan
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, mengungkapkan bahwa tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan berlanjut hingga akhir tahun atau kuartal IV-2024.
Menurut Eko, penguatan rupiah hingga akhir 2024 hanya akan terjadi pada momen-momen tertentu seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) dan masa libur akhir tahun.
“Sampai akhir tahun dugaan saya akan ada booster di kuartal IV-2024 karena ada pilkada dan libur akhir tahun, tapi memang secara umum rupiah ini akan cenderung tidak stabil,” ungkap Eko dalam agenda Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun INDEF 2024: Presiden Baru, Persoalan Lama, Selasa 25 Juni 2024.
Eko menambahkan bahwa tidak stabilnya rupiah disebabkan karena banyak pengusaha yang masih bergantung pada bahan baku impor. Mereka perlu membeli dolar AS untuk memenuhi kebutuhan impor mereka. “Otomatis mereka memburu dolar AS untuk bisa mencukupi kebutuhan itu,” tambah Eko.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti menyatakan bahwa fluktuasi nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh kebijakan fiskal dan moneter yang masih ketat.
“Saat ini, kondisi ekonomi baik dari segi fiskal maupun moneter masih relatif ketat dengan terus meningkatnya suku bunga dan fluktuasi nilai tukar,” kata dia.
Dengan kondisi tersebut industri manufaktur bakal menjadi salah satu sektor yang paling terdampak karena mayoritas bahan baku yang berasal dari luar negeri.
“Karena nilai tukar Rupiah terhadap dolar terdepresiasi, sehingga industri manufaktur yang menggantungkan diri pada bahan baku impor akan sangat terdampak,” kata Esther.
Esther menegaskan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah pasti berdampak pada industri manufaktur, karena masih bergantung pada impor bahan baku.
“Ini menunjukkan bahwa produksi industri dalam negeri masih sangat bergantung pada bahan baku impor, sehingga pelemahan mata uang pasti berdampak pada industri manufaktur,” ungkap
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta W Kamdani membenarkan,industri manufaktur seperti industri tekstil dan elektronik adalah industri yang paling terdampak, karena sebagian besar bahan bakunya masih diimpor dari luar negeri. “Saat ini, sekitar 70 hingga 80 persen bahan baku industri tekstil dan elektronik masih diimpor,” imbuh dia. (yub/prm)