KABARBURSA.COM - Kurs rupiah depresi, melemah moderat terhadap dolar AS pada awal pekan, ditutup pada level Rp15.866 per dolar AS, turun 21 poin dari posisi sebelumnya di Rp15.845.
Pelemahan rupiah kali ini dipengaruhi oleh kombinasi ketegangan geopolitik global dan spekulasi atas kebijakan suku bunga Federal Reserve (The Fed). Penguatan indeks dolar AS mencerminkan kekhawatiran pasar atas perkembangan di Suriah dan Korea Selatan.
Krisis di Suriah semakin mendalam setelah pemberontak mengambil alih ibu kota Damaskus dan menggulingkan Presiden Bashar al-Assad, yang dilaporkan melarikan diri ke Rusia. Ketegangan ini diperburuk oleh keterlibatan Israel di wilayah tersebut.
Sementara, pasukan pemberontak mendapatkan dukungan dari Turki dan memiliki hubungan dengan sekte Sunni, sehingga menimbulkan konflik dengan Iran. Perubahan rezim ini menambah ketidakpastian di kawasan dan mendorong investor untuk beralih ke aset yang lebih aman seperti dolar AS dan obligasi pemerintah.
Di Korea Selatan, situasi politik juga tidak stabil. Presiden Yoon Suk Yeol menghadapi tekanan besar setelah terkait dalam penyelidikan kriminal dan selamat dari upaya pemakzulan.
Meski demikian, tekanan dari partai politiknya sendiri mengindikasikan kemungkinan pengunduran diri Yoon dalam waktu dekat. Gejolak ini semakin menguatkan posisi dolar sebagai mata uang pilihan investor.
Meski ada tekanan eksternal, kondisi domestik Indonesia menunjukkan perbaikan dalam kepercayaan konsumen. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada November 2024 naik ke 125,9 dari 121,1 pada bulan sebelumnya, didukung oleh peningkatan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK). IKE mencapai 113,5, sementara IEK naik menjadi 138,3, menunjukkan optimisme terhadap perekonomian.
Di tengah sentimen global yang tidak menentu, pasar masih mempertahankan ekspektasi bahwa The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin dalam pertemuan berikutnya. Hal ini membantu membatasi pelemahan rupiah, meskipun ketegangan geopolitik dan spekulasi kebijakan moneter tetap menjadi tantangan utama.
EM Asia dan Eropa
Sementara itu, di Asia, penurunan nilai tukar yuan China dan euro terhadap dolar AS yang semakin tajam dalam beberapa bulan terakhir memberikan dampak signifikan terhadap mata uang negara-negara emerging market (EM) di Asia dan Eropa.
Sebagai jangkar mata uang, yuan dan euro memiliki peran penting dalam mengarahkan nilai tukar mata uang negara-negara yang bergantung pada keduanya. Tren ini mencerminkan korelasi ekonomi global yang semakin kompleks di tengah ketegangan perdagangan dan kebijakan proteksionis yang meningkat.
Penguatan dolar AS sejak akhir September semakin menekan yuan dan euro. Sentimen negatif terhadap yuan dipicu oleh ketidakpuasan pasar terhadap langkah-langkah stimulus ekonomi yang diambil Beijing, sementara euro berada di bawah tekanan akibat spekulasi pemangkasan suku bunga oleh Bank Sentral Eropa. Tekanan ini mengakibatkan efek domino pada mata uang negara-negara tetangga yang memiliki hubungan perdagangan erat dengan China dan zona euro.
Dalam konteks Asia, korelasi antara yuan dan Bloomberg Asia Dollar Index mencapai level tertinggi dalam lima tahun terakhir, yaitu 0,95. Di Eropa, korelasi antara euro dan indeks mata uang Eropa Tengah dan Timur meningkat tajam dari 0,2 menjadi 0,6.
Ketergantungan pada ekspor menjadi alasan utama di balik hubungan ini. Negara-negara seperti Hungaria, Polandia, dan Republik Ceko mengirimkan lebih dari 50 persen ekspor mereka ke zona euro, sementara Korea Selatan, Indonesia, dan Malaysia mengekspor setidaknya 20 persen produk mereka ke China.
Depresiasi yuan dan euro, meskipun memberikan tekanan pada mata uang negara-negara ini, sering kali dipandang sebagai peluang untuk mempertahankan daya saing ekspor mereka di pasar global.
Namun, tekanan eksternal semakin diperburuk oleh kebijakan tarif proteksionis Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden terpilih Donald Trump. Ancaman pengenaan tarif tambahan sebesar 25 persen untuk impor dari Meksiko dan Kanada, serta tarif 10 persen untuk China, menambah ketidakpastian bagi pasar.
Mata uang-mata uang di Eropa Tengah dan Timur, seperti forint Hungaria dan koruna Ceko, menghadapi pelemahan lebih lanjut sebagai respons terhadap penurunan nilai euro. Demikian pula, mata uang di Asia dengan imbal hasil rendah, seperti rupee India, kemungkinan akan melemah jika yuan terus terdepresiasi.
Goldman Sachs memperkirakan dolar AS akan tetap kuat dalam jangka panjang, memberikan tekanan lebih besar pada euro, yuan, dan mata uang negara-negara emerging market.
Ketidakpastian perdagangan global menciptakan lingkungan yang menantang bagi ekonomi di kawasan ini, terutama yang bergantung pada ekspor. Sebagai hasilnya, negara-negara dengan mata uang yang terhubung erat dengan yuan atau euro dihadapkan pada dilema untuk menjaga stabilitas nilai tukar sekaligus mempertahankan daya saing ekonomi mereka.(*)