KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) dibuka melemah pada perdagangan pagi ini, Rabu, 23 Oktober 2024, di level Rp15.532,4 per USD. Berdasarkan data dari Investing, kurs rupiah terpantau mengalami penurunan dibandingkan dengan penutupan sebelumnya di level Rp15.562 per USD. Hingga pukul 10.39 WIB, nilai tukar rupiah bergerak di angka Rp15.612,9, menguat sebesar 50,9 poin atau 0,33 persen dari pembukaan.
Selama sesi perdagangan awal, rentang harian nilai tukar rupiah tercatat berada di antara Rp15.562,0 hingga Rp15.626,4 per USD. Adapun untuk rentang 52 minggu terakhir, rupiah bergerak di kisaran Rp15.065 hingga Rp16.489,7 per USD. Tren ini menunjukkan volatilitas yang cukup tinggi sepanjang tahun.
Harga penawaran beli (bid) berada di level Rp15.609,8 per USD sementara harga penawaran jual (ask) tercatat di Rp15.616,0 per USD. Data ini mengindikasikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah masih cukup kuat meskipun sempat menunjukkan perbaikan di sesi awal perdagangan hari ini.
Sentimen negatif terhadap rupiah masih cukup dominan di pasar valuta asing, sejalan dengan ketidakpastian global yang mempengaruhi pergerakan mata uang utama lainnya.
Berpotensi Menguat
Nilai tukar rupiah diperkirakan bergerak fluktuatif namun berpotensi menguat pada hari ini, Rabu, 23 Oktober 2024. Analis yang juga Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, sebelumnya mengatakan perdagangan rupiah kemarin memang sempat melemah 63,5 poin, ditutup di level Rp15.567 per USD. Namun, tren itu diprediksi berubah hingga rupiah menguat ke level Rp15.580.
“Untuk perdagangan besok (hari ini), mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup menguat direntang Rp15.500 – Rp15.580,” kata Ibrahim dalam analisa harian yang diterima KabarBursa.com, Selasa, 23 Oktober 2024.
Ibrahim menjelaskan pergerakan rupiah saat ini masih sangat dipengaruhi oleh ketidakpastian di pasar global, terutama menjelang pemilu Presiden AS pada 5 November mendatang. Ketegangan geopolitik yang meningkat di Timur Tengah juga menjadi faktor yang memengaruhi dinamika pasar keuangan, yang pada akhirnya berdampak pada mata uang regional termasuk rupiah.
“Ketegangan geopolitik antara Israel, Hamas, dan Hizbullah, serta potensi konfrontasi antara Israel dan Iran, memberikan tekanan tambahan pada pasar keuangan global. Kondisi ini harus diwaspadai karena bisa memengaruhi stabilitas ekonomi kita,” ungkap Ibrahim.
Dari sisi internal, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto diharapkan segera menuntaskan berbagai tantangan ekonomi, termasuk memperkuat daya beli masyarakat dan penciptaan lapangan kerja. Ibrahim mencatat, jika isu-isu ini tidak ditangani dengan baik, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa stagnan, yang tentunya akan berpengaruh pada kekuatan rupiah di pasar.
Ditutup Melemah
Pada penutupan perdagangan Selasa sore, 22 Oktober 2024, rupiah melemah signifikan sebesar 0,41 persen atau 63 poin dan bertengger di level Rp15.567. Sementara pada penutupan perdagangan Senin sore, 21 Oktober 2024, posisi rupiah berada di level Rp15.503.
Melemahnya kurs rupiah ini didorong oleh beberapa faktor yang berpengaruh di pasar global dan domestik. Pertama perihal keyakinan pelaku pasar bahwa Federal Reserve (Fed) akan memangkas Fed Fund Rates (FFR) sebesar 25 basis poin pada pertemuan di bulan November besok.
Ibrahim mengungkapkan penguatan indeks dolar AS disebabkan oleh serangkaian data ekonomi yang positif, yang membuat investor mengurangi ekspektasi terkait ukuran dan kecepatan pemangkasan suku bunga oleh Fed.
Saat ini, peluang pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan Fed mendatang diperkirakan mencapai 87 persen, sementara peluang untuk mempertahankan suku bunga tetap stabil hanya 13 persen.
Di samping itu, pernyataan dari beberapa pejabat Fed, seperti Presiden Federal Reserve Bank of Dallas Lorie Logan dan Presiden Federal Reserve Bank Minneapolis Neel Kashkari, yang menyatakan harapan untuk penurunan suku bunga yang lebih bertahap, semakin memperkuat ekspektasi pasar akan kebijakan moneter yang lebih konservatif. Hal ini memberikan tekanan lebih lanjut pada mata uang negara berkembang seperti rupiah.
Faktor domestik juga berperan dalam melemahnya rupiah. Pelaku pasar menunjukkan kekhawatiran mengenai kinerja pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dan Kabinet Merah Putih. Dengan banyaknya menteri yang berasal dari partai politik dan bukan profesional, membuat investor ragu terhadap kemampuan kabinet untuk memenuhi janji kampanye, terutama dalam mengejar pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.
Investor menilai target ini sangat ambisius dan sulit dicapai, terutama di tengah tantangan penanganan daya beli masyarakat, penciptaan lapangan kerja, dan perbaikan kualitas institusi.
Kekhawatiran akan stagnasi pertumbuhan ekonomi, deindustrialisasi, dan rendahnya daya beli masyarakat menjadi sentimen negatif yang turut menekan nilai tukar rupiah. Ibrahim menekankan bahwa jika masalah-masalah ini tidak segera ditangani, dampaknya bisa lebih jauh merugikan perekonomian nasional.(*)