KABARBURSA.COM – Analis pasar uang yang juga Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, memperkirakan rupiah masih akan bergerak fluktuatif dan ditutup melemah pada perdagangan Rabu, 18 Desember 2024.
“Rupiah diperkirakan akan bergerak di kisaran Rp16.080 hingga Rp16.170,” ujar Ibrahim dalam rilis resminya, kemarin.
Pelemahan rupiah kali ini dipengaruhi oleh sentimen eksternal dan internal yang cukup kompleks. Dari eksternal, pasar masih menanti keputusan suku bunga dari bank sentral utama dunia.
The Federal Reserve (The Fed) diprediksi akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pekan ini, namun laju pemangkasan diproyeksikan lebih lambat pada 2025. Sementara itu, Bank Indonesia (BI) dijadwalkan mengumumkan suku bunga acuan pada Rabu, yang menjadi perhatian pelaku pasar.
Tekanan tambahan datang dari data ekonomi China yang lemah. Output industri China memang sedikit meningkat pada November, tetapi pertumbuhan penjualan ritel melambat tajam, mencerminkan lemahnya permintaan domestik.
Di sisi lain, harga rumah di China turun 5,7 persen secara tahunan, menegaskan tantangan di sektor properti yang belum sepenuhnya pulih. “Situasi ini menekan sentimen pasar global dan memicu pelemahan mata uang di negara berkembang, termasuk rupiah,” ungkap Ibrahim.
Dari dalam negeri, kebijakan fiskal menjadi sorotan. Pemerintah mengumumkan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen per 1 Januari 2025, diikuti dengan insentif untuk masyarakat berpenghasilan rendah, kelas menengah, serta UMKM. Meskipun langkah ini bertujuan untuk menjaga perekonomian, pasar masih merespons dengan hati-hati, terutama terkait daya beli masyarakat yang berpotensi tergerus.
Selain itu, Bank Indonesia melaporkan penurunan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia. Pada Oktober 2024, ULN tercatat sebesar USD423,4 miliar atau sekitar Rp6.774 triliun, turun dari posisi September yang sebesar USD428,5 miliar. “Penurunan ini bersumber dari turunnya pinjaman dan surat utang, yang mencerminkan pengelolaan ULN pemerintah secara pruden,” kata Ibrahim.
Dengan kondisi global yang penuh ketidakpastian dan sentimen domestik yang masih beragam, pergerakan rupiah diperkirakan akan terus volatil hingga akhir pekan.
Tren Pelemahan Rupiah
Kemarin, nilai tukar rupiah ditutup di zona merah. Pelemahan kurs rupiah semakin tajam terhadap dolar Amerika Serikat seiring dengan tingginya keraguan pelaku pasar menjelang pertemuan penting Federal Open Market Committee (FOMC) edisi Desember 2024 yang dijadwalkan berlangsung Rabu, hari ini.
Pada Selasa, 17 Desember 2024, hingga pukul 15.00 WIB, rupiah ditutup melemah di level Rp16.100 per dolar AS, turun 99 poin atau 0,62 persen dibandingkan penutupan pada Senin, 16 Desember 2024, di posisi Rp16.001 per dolar AS.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, menjelaskan bahwa pelaku pasar cenderung bersikap wait and see sambil menunggu keputusan suku bunga dari beberapa bank sentral utama pada pekan ini.
Di sisi lain, data ekonomi Tiongkok yang melemah turut menggerus minat terhadap aset-aset berisiko, termasuk mata uang di kawasan Asia. Faktor-faktor ini memberikan tekanan tambahan terhadap rupiah yang sudah mengalami tren pelemahan dalam beberapa sesi terakhir.
Dalam pertemuan FOMC besok, The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin. Meski demikian, prospek pemangkasan suku bunga yang lebih lambat di tahun 2025 menciptakan ketidakpastian tersendiri.
Biasanya, suku bunga yang lebih rendah memberikan angin segar bagi perekonomian, tetapi kali ini pelaku pasar ragu karena belum jelas arah kebijakan moneter yang akan diambil The Fed dalam jangka panjang.
Sementara itu, ekspektasi terhadap kebijakan Bank Sentral Jepang (BOJ) justru mengalami pergeseran. Reuters melaporkan BOJ kemungkinan akan mempertahankan suku bunga pada pekan ini, meskipun sebelumnya pasar memperkirakan adanya kemungkinan kenaikan suku bunga. Ini memberikan sentimen tambahan yang mendorong dolar AS untuk terus menguat.
Fokus investor kini juga tertuju pada keputusan Bank Indonesia (BI) yang dijadwalkan akan merilis kebijakan suku bunga pada esok hari. Tekanan yang datang dari pasar global akan menjadi perhatian utama dalam mempertimbangkan kebijakan lanjutan untuk menjaga stabilitas rupiah.
Selain kebijakan moneter, pelemahan rupiah juga dipicu oleh data ekonomi Tiongkok yang dirilis awal pekan ini. Indikator utama seperti output industri pada bulan November memang menunjukkan perbaikan moderat dibanding bulan sebelumnya.
Namun, pertumbuhan penjualan ritel mencatat perlambatan tajam di bawah ekspektasi, menegaskan bahwa pemulihan di sektor konsumsi domestik China masih rapuh. Hal ini diperparah oleh penurunan harga rumah sebesar 5,7 persen secara tahunan pada bulan November, menyusul koreksi yang lebih dalam pada bulan sebelumnya.(*)