KABARBURSA.COM - Mata uang rupiah diprediksi akan bergerak fluktuatif namun tetap menguat pada perdagangan Jumat, 27 September 2024, setelah sebelumnya ditutup menguat pada level Rp15.102 per USD pada Kamis sore. Ibrahim Assuaibi, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, menyatakan bahwa rupiah akan berada dalam rentang Rp15.000 hingga Rp15.120 untuk penutupan hari ini.
“Untuk perdagangan besok (Jumat), mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp15.000 - Rp15.120,” ujar Ibrahim dalam keterangan tertulis yang diterima KabarBursa.com, kemarin.
Penguatan ini didorong oleh berbagai sentimen, baik dari faktor internal maupun eksternal. Dari sisi eksternal, pelemahan indeks dolar AS menjadi salah satu pemicu utama. Beberapa faktor di balik pelemahan dolar termasuk pidato Ketua The Fed Jerome Powell yang akan memberikan arahan perihal suku bunga, serta data indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) yang akan dirilis hari ini. PCE ini dianggap sebagai ukuran inflasi favorit The Fed, dan akan mempengaruhi kebijakan suku bunga bank sentral AS.
Menurut analis Citi, Federal Reserve kemungkinan akan menurunkan suku bunga hingga 125 basis poin setelah penurunan 50 basis poin yang telah dilakukan minggu lalu. Sementara itu, Goldman Sachs memproyeksikan akan ada penurunan sebesar 25 basis poin pada setiap pertemuan dari November 2024 hingga Juni 2025.
Selain itu, faktor eksternal lainnya datang dari zona euro. Aktivitas bisnis di kawasan tersebut mengalami kontraksi tajam, terutama di Jerman yang merupakan ekonomi terbesar di Eropa. Bank Sentral Eropa (ECB) telah menurunkan suku bunga dua kali tahun ini, dan jika kondisi ekonomi terus melemah, ada kemungkinan penurunan suku bunga lebih lanjut pada Oktober mendatang.
Stimulus dari China juga menjadi faktor pendukung penguatan rupiah. Bank Rakyat China meluncurkan serangkaian langkah stimulus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Meski langkah tersebut disambut positif, analis menyebut bahwa masih diperlukan langkah-langkah tambahan untuk menopang ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.
Di sisi internal, kebijakan Bank Indonesia (BI) yang memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini, memberikan dukungan signifikan terhadap penguatan rupiah. Pejabat BI menyebut, keputusan ini merupakan transformasi dari kebijakan moneter yang sebelumnya pro-stabilitas menjadi pro-pertumbuhan.
“Penurunan suku bunga oleh BI merupakan langkah antisipatif terhadap kemungkinan penurunan suku bunga The Fed. Hal ini diyakini akan mendukung stabilitas nilai tukar rupiah serta mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kredit perbankan,” jelas Ibrahim.
Lebih lanjut, inflasi yang stabil dan diperkirakan berada di kisaran 2,5 persen hingga 3,5 persen sepanjang 2024 dan 2025 menjadi alasan tambahan bagi BI untuk lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi ketimbang menjaga stabilitas nilai tukar semata.
Pada perdagangan Kamis, rupiah ditutup menguat 85 poin setelah sempat menguat 110 poin ke level Rp15.102 dari penutupan sebelumnya di Rp15.187. Ibrahim memproyeksikan bahwa dengan kondisi saat ini, rupiah akan terus berada dalam tren penguatan, meski ada fluktuasi akibat sentimen pasar global.
Kemarin Terkoreksi
Nilai tukar rupiah sebelumnya mengalami koreksi terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah menutup perdagangan kemarin, Kamis, 27 September 2024, pada level Rp15.160 per USD, turun sebesar 0,43 persen dari penutupan sebelumnya. Koreksi ini menandai berakhirnya tren penguatan selama dua hari berturut-turut yang dimulai pada 24 September 2024.
Menurut data dari Refinitiv, melemahnya rupiah dipicu oleh sejumlah faktor, termasuk penguatan indeks dolar AS (DXY) yang naik tipis ke angka 100,94 dengan kenaikan sebesar 0,03 persen. Penyesuaian nilai tukar ini menunjukkan dinamika pasar yang penuh tantangan, di mana investor tampak semakin berhati-hati.
Salah satu pendorong utama penurunan nilai tukar rupiah adalah sentimen pasar menjelang rilis data final pertumbuhan ekonomi (PDB) kuartal II-2024 dari AS. Konsensus pasar memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi AS akan meningkat signifikan, dari sebelumnya 1,4 persen menjadi 3 persen.
Proyeksi ini mencerminkan keberhasilan kebijakan ekonomi AS dalam mengendalikan inflasi tanpa terjadinya resesi, yang pada gilirannya membuat investor lebih optimis terhadap aset-aset dalam denominasi dolar.
Dampak Kebijakan Moneter AS
Keberhasilan ekonomi AS tersebut memunculkan spekulasi bahwa Federal Reserve (The Fed) tidak akan segera menurunkan suku bunga. Hal ini menyebabkan pelaku pasar beralih ke posisi yang lebih hati-hati terhadap aset-aset berisiko, termasuk mata uang negara berkembang seperti rupiah.
Sinyal-sinyal dari bank sentral AS, termasuk pidato dari Ketua The Fed, Jerome Powell, dan pejabat tinggi lainnya, menjadi fokus perhatian pasar global. Jika Powell memberikan isyarat bahwa suku bunga akan tetap tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama, maka dolar AS diperkirakan akan semakin menguat, menambah tekanan terhadap mata uang Garuda.
Di sisi lain, peningkatan konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah di AS diperkirakan akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang solid hingga 2,7 persen tahun ini. Optimisme ini mendorong investor global untuk lebih memilih aset dalam bentuk dolar AS, yang pada akhirnya semakin memperkuat posisi dolar di pasar internasional dan menambah tekanan pada rupiah.(*)