Logo
>

Rupiah Melemah, Peternak Ayam Dihantui Naiknya Harga Pakan

Ditulis oleh KabarBursa.com
Rupiah Melemah, Peternak Ayam Dihantui Naiknya Harga Pakan

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Melambungnya nilai tukar rupiah mengundang khawatiran sejumlah pelaku usaha, tak terkecuali peternak ayam. Sebagaimana diketahui, pakan ternak ayam sendiri menggunakan material produk impor.

    Berdasarkan data yang dikutip dari Google Finance, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menguat 34,35 poin atau sekitar 0,21 persen dari sebelumnya berada di angka Rp16.486 menjadi Rp16.451 per dolar AS.

    Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) Sugeng Wahyudi, menuturkan pada giliran sektor peternakan ayam ras juga akan terdampak oleh tingginya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

    Pasalnya, kata Sugeng, material pakan ternak ayam ras masih sangat bergantung pada produk import seperti tepung kedelai atau Soybeanmeal (SBM) dan tepung tulang atau Meat Bone Meal (MBM). Hal itu menyebabkan tingginya harga pakan ternak.

    "Pada giliranya pasti (terdampak tingginya nilai tukar rupiah) karena material pakan tergantung pada produk import, seperti tepung kedelai, tepung tulang dan lain-lain," kata Sugeng saat dihubungi KabarBursa, Selasa, 18 Juni 2024.

    Di sisi lain, Sugeng juga mengungkap adanya penurunan jumlah peternak ayam mandiri sejak 2019 lalu. Saat ini, penurunan jumlah peternak ayam mandiri mencapai angka 10 persen. Adapun dinamika pasar yang tidak pasti menjadi penyebab menurunnya jumlah peternak ayam mandiri.

    “Efek dari kondisi usaha dari tahun 2019 sampai dengan 2023 yang tidak kondusif, peternak dalam kondisi merugi sepanjang tahun di tahun-tahun tersebut,” ungkapnya.

    Pakan menjadi salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi keberhasilan peternakan ayam. Hal ini disebabkan biaya produksi terbesar dalam usaha peternakan adalah pakan, yaitu sekitar 70 persen dari biaya total.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif SEGERA Institute Piter Abdullah, tak menampik tingginya nilai tukar rupiah berdampak pada sektor importir. Ia menyebut, tingginya nilai tukar rupiah akan sangat berdampak pada sektor industri pengolahan.

    Dalam hal ini, kata Piter, konsumen menjadi pihak yang paling dirugikan akibat tingginya nilai tukar rupiah. “Memang industri pengolahan yang banyak bergantung kepada barang impor akan merasa berat, Yang paling dirugikan oleh pelemahan rupiah adalah konsumen,” kata Piter saat dihubungi KabarBursa, Selasa, 18 Juni 2024.

    Meski begitu, Piter menyebut pelemahan rupiah tidak selamanya berdampak buruk pada pekonomian dalam negeri. Bagi sektor eksportir misalnya, lanjutnya, bisa menambah nilai keuntungan dari melemahnya rupiah.

    “Eksportir terutama pada industri pertambangan, perkebunan, yang tidak banyak beban impor, mendapatkan tambahan keuntungan dari melemahnya rupiah. Jadi melemahnya rupiah tidak sepenuhnya negatif bagi perekonomian,” pungkasnya.

    Nilai Tukar Rupiah Anjlok, Terendah Sejak 2020

    Pada Jumat, 14 Juni 2024, nilai tukar rupiah ditutup pada di angka Rp16.412 per dolar AS, merosot 130 poin atau 0,87 persen dari hari sebelumnya. Pada perdagangan intraday, rupiah bahkan sempat menyentuh Rp16.431 per dolar AS. Ini merupakan level terlemah sejak 1 April 2020.

    Kurs tengah Bank Indonesia, Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), juga melemah ke Rp16.374 per dolar AS, posisi terendah sejak 8 April 2020. Dalam sepekan, rupiah spot sudah melemah 1,33 persen dari Rp16.195 per dolar AS pekan lalu. Kurs JISDOR turun 0,96 persen dibandingkan posisi pekan sebelumnya.

    Pelemahan rupiah ini menjadi yang terdalam di antara mata uang Asia lainnya. Dolar AS yang menguat menekan won Korea sebesar 0,39 persen, dolar Singapura 0,19 persen, ringgit Malaysia 0,16 persen, dan yuan China 0,04 persen. Indeks dolar AS kembali menguat sejak dini hari tadi, didorong oleh penurunan yield Treasury AS ke 4,2 persen.

    Rupiah bukan hanya terdesak oleh dolar AS, tetapi juga oleh aksi jual di pasar surat utang dan saham domestik. IHSG jatuh hampir 2 persen, terkulai di 6.734,88. Yield surat utang negara mayoritas naik, menandakan tekanan harga obligasi.

    Yield 10Y kembali ke 7,165 persen, tenor 5Y naik ke 7,089 persen, dan tenor 1Y naik ke 6,793 persen. Investor asing banyak melepas posisi di pasar SBN, dengan penjualan nonresiden mencapai Rp800 miliar pada 12 Juni. Investor hengkang dari pasar Indonesia menjelang libur panjang dipicu ketakutan akan risiko fiskal di bawah pemerintahan baru.

    Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Eddy Junarsin menuturkan, peningkatan kurs Dolar AS ke Rupiah akan lebih mengkhawatirkan jika melewati Rp16.500.

    "Jika dilihat secara teknis dan ekonomis tidak apa-apa, karena bisa menguat lagi. Namun secara psikologis sangat berbahaya," kata Eddy.

    Menurut dia, jika memang mencapai angka tersebut, maka nilai tukar Dolar AS terhadap Rupiah akan lebih mudah naik melampaui Rp16.500 dibandingkan sebelumnya.(and/*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi