KABARBURSA.COM - Dolar Amerika Serikat (AS) kembali menunjukkan penguatan terhadap rupiah, berada di level Rp15.800-an pada Kamis pagi, 5 Desember 2024.
Berdasarkan data RTI per pukul 09.30 WIB, nilai tukar dolar AS tercatat di Rp15.854, naik 9 poin atau 0,06 persen.
Tak hanya terhadap rupiah, dolar AS juga menguat terhadap sejumlah mata uang beberapa negara lainnya.
Terhadap euro, dolar AS naik 0,12 persen, sementara dengan yuan meningkat tipis sebesar 0,01 persen.
Penguatan lebih signifikan terlihat terhadap won Korea Selatan sebesar 1,07 persen, dan terhadap dolar Singapura, serta baht Thailand masing-masing sebesar 0,01 persen dan 0,32 persen.
Proyeksi Rupiah Sepekan ke Depan
Nilai tukar rupiah diperkirakan akan menghadapi tekanan pada pekan ini. Berbeda dengan pekan lalu, di mana rupiah tercatat menguat meskipun hanya tipis terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Pada Jumat, 6 Desember 2024, rupiah spot ditutup pada posisi Rp15.845 per dolar AS, menguat sekitar 0,11 persen dibandingkan dengan posisi sebelumnya.
Meskipun demikian, rupiah hanya mengalami kenaikan tipis sebesar 0,01 persen dibandingkan dengan posisi akhir pekan sebelumnya yang tercatat di Rp15.847 per dolar AS.
Sementara itu, kurs rupiah yang ditentukan oleh Bank Indonesia (BI) atau Rupiah Jisdor ditutup pada posisi Rp15.848 per dolar AS. Rupiah Jisdor tercatat menguat 0,27 persen dari posisi sebelumnya, namun mengalami pelemahan sebesar 0,34 persen dalam sepekan terakhir dibandingkan dengan posisi Rp15.856 per dolar AS.
Direktur PT. Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menjelaskan bahwa penguatan rupiah pada pekan lalu didorong oleh sentimen positif dari data penggajian nonpertanian (non-farm payroll) untuk bulan November. Data tersebut kemungkinan akan menjadi faktor pendorong dalam prospek penurunan suku bunga di AS. Kekuatan pasar tenaga kerja mengurangi peluang bagi The Federal Reserve (The Fed) untuk menurunkan suku bunga. Prospek penurunan suku bunga ini memberikan angin segar bagi pergerakan rupiah.
“Data penggajian tersebut muncul beberapa minggu sebelum pertemuan terakhir Fed tahun ini, di mana bank sentral diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin,” kata Ibrahim dalam risetnya.
Namun, untuk pekan ini, Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, menyebutkan bahwa sentimen eksternal diperkirakan akan kembali memberi tekanan terhadap rupiah. Investor menantikan data inflasi AS yang akan dirilis minggu depan. Data tenaga kerja AS yang lebih kuat dari perkiraan, yang menunjukkan kenaikan dari 2,6 persen menjadi 2,7 persen, diperkirakan dapat menekan nilai tukar rupiah.
Selain itu, Lukman juga mengingatkan mengenai potensi ketegangan geopolitik, khususnya situasi di Suriah, yang dapat memberikan dampak negatif terhadap pergerakan rupiah.
Dari sisi domestik, data indeks kepercayaan konsumen yang akan dirilis pada hari Senin dan data penjualan ritel pada hari Selasa diperkirakan akan menunjukkan angka yang lebih rendah, yang juga belum dapat membantu rupiah bertahan.
Lukman memproyeksikan rupiah masih akan berada dalam tekanan eksternal. Untuk Senin, 9 Desember 2024, ia memprediksi nilai tukar rupiah akan bergerak melemah di kisaran Rp15.800 hingga Rp15.900 per dolar AS.
Sementara itu, Ibrahim optimistis bahwa meskipun mata uang rupiah akan mengalami fluktuasi, rupiah diperkirakan akan menguat dalam rentang Rp15.800 hingga Rp15.850 per dolar AS pada hari Senin.
BI Berkomitmen Jaga Stabilitas Rupiah
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menegaskan komitmennya untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah. Menurutnya, stabilitas mata uang sangat diperlukan oleh setiap negara untuk dapat tumbuh secara berkelanjutan.
Perry menjelaskan bahwa stabilitas mata uang menjadi kunci ketahanan ekonomi global. Ia juga menekankan pentingnya memperkuat sinergi fiskal dan moneter di masa depan, dengan fokus pada pengendalian inflasi, defisit fiskal, serta stabilisasi nilai tukar Rupiah.
“Dalam pengendalian inflasi, defisit fiskal, dan stabilisasi Rupiah, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) Pemerintah dan operasi moneter Bank Indonesia sangat penting,” ujar Perry pada acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2024, yang berlangsung pada Jumat, 29 November 2024.
Ia juga menyebutkan pentingnya efektivitas regulasi Devisa Hasil Ekspor (DHE) untuk sumber daya alam.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi akan tetap terjaga dalam rentang target 2,5 ± 1 persen pada 2025 dan 2026. Hal ini didorong oleh konsistensi kebijakan moneter, kebijakan fiskal, serta Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP).
Meski menghadapi tantangan dari ketidakpastian geopolitik, Perry memaparkan beberapa strategi dalam kebijakan pro-stability, salah satunya dengan mempertahankan suku bunga BI-Rate pada angka 6,00 persen sementara waktu.
“Gejolak global menuntut kami untuk fokus pada stabilisasi Rupiah. Kami terus memantau peluang untuk menurunkan BI-Rate lebih lanjut,” ujar Perry.
Ia menambahkan bahwa dengan inflasi yang terjaga sesuai target pada 2025 dan 2026, diperlukan kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Respons kebijakan tersebut akan disesuaikan dengan dinamika ekonomi global dan domestik.
Langkah lain yang diambil untuk menjaga stabilitas Rupiah di tengah gejolak global adalah melalui intervensi pasar, baik secara spot maupun forward, serta pembelian SBN dari pasar sekunder. Selain itu, strategi operasi moneter yang pro-market juga diterapkan untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan, mendorong aliran investasi asing, serta memperdalam pasar uang.
“Penting untuk menjaga kecukupan cadangan devisa dan mengelola lalu lintas devisa sesuai dengan prinsip internasional,” ungkap Perry.
Perry juga menambahkan bahwa Bank Indonesia akan memperluas instrumen penempatan DHE SDA untuk mendukung stabilitas. Ia menggarisbawahi lima sinergi yang akan memperkuat stabilitas ekonomi, yaitu memperkuat stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Lalu, mendorong permintaan domestik. Dan, meningkatkan produktivitas dan kapasitas ekonomi nasional, serta pendalaman sektor keuangan untuk pembiayaan ekonomi. Terakhir, mempercepat digitalisasi sistem pembayaran dan ekonomi keuangan digital nasional.
“Sinergi kebijakan ini sangat penting untuk memperkuat stabilitas ekonomi dan transformasi ekonomi nasional. Kami perlu terus memperkuat sinergi ini untuk menghadapi tantangan yang semakin kompleks dan mempercepat transformasi ekonomi agar perekonomian tumbuh lebih kuat,” pungkas Perry. (*)