KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat kembali menunjukkan pelemahan signifikan. Pada perdagangan Kamis, 2 Januari 2025, dolar menguat dan membuat rupiah melemah 135 poin atau 0,84 persen, membawanya ke level Rp16.225.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, menyebut pelemahan ini didorong oleh sejumlah faktor global, termasuk kebijakan moneter Amerika Serikat, dinamika politik global, serta kondisi ekonomi domestik dan regional.
Ibrahim menjelaskan, penguatan dolar AS menjadi penyebab utama pelemahan rupiah.
“Kalau saya lihat, ekspektasi penguatan rupiah sebelumnya terganggu karena dolar tiba-tiba melompat dan menguat cukup signifikan,” kata Ibrahim, Kamis, 2 Januari 2025, saat dihubungi Kabarbursa.com melalui saluran telepon.
Kondisi ini dipengaruhi oleh kebijakan Bank Sentral AS (Federal Reserve) yang masih ketat, ditambah ketidakpastian politik dan ekonomi global, khususnya setelah Donald Trump kembali terpilih sebagai Presiden AS.
Sedangkan Trump, menurut Ibrahim, memiliki agenda yang dapat mempengaruhi stabilitas pasar global.
“Pada 2025, agenda utamanya kemungkinan adalah perang dagang. China bahkan telah mempersiapkan stimulus sebesar 3 triliun yuan untuk mengantisipasi langkah-langkah AS,” ujar dia.
Selain itu, konflik geopolitik di Timur Tengah dan Eropa semakin menambah ketegangan di pasar.
Tekanan terhadap rupiah juga tidak terlepas dari pelemahan ekonomi di China yang menjadi mitra dagang utama Indonesia. Di sini, Ibrahim menyoroti data penjualan properti di China yang menurun drastis. Artinya, daya beli masyarakat kelas menengah juga sedang melemah.
“Hal ini juga berimbas pada penurunan sektor manufaktur dan industrial di sana. Dampaknya, permintaan ekspor dari Indonesia ikut tertekan,” ujar dia.
Tidak hanya itu, dirinya juga membandingkan struktur ekonomi China yang masih bergantung pada investasi, sekitar 60 persen dari PDB, dengan Indonesia yang kini lebih berorientasi pada konsumsi domestik.
“Perbedaan ini membuat Indonesia lebih rentan terhadap tekanan eksternal, terutama jika daya beli masyarakat menurun.”
Pelemahan rupiah memiliki beberapa dampak signifikan terhadap ekonomi domestik, di antaranya inflasi impor yaitu harga barang impor naik, beban utang luar negeri yang sedang menghadapi kenaikan beban pembayaran.
Dampak signifikan selanjutnya adalah tekanan pada ekspor. Meskipun pelemahan rupiah dapat meningkatkan daya saing ekspor, namun dampaknya mempengaruhi ketergantungan pada permintaan global.
Di sinilah peran Bank Indonesia diperlukan, yaitu memantau pergerakan kurs dengan cermat juga melakukan intervensi di pasar valuta asing, serta penyesuaian suku bunga. Hal ini dapat menjaga stabilitas nilai tukar.
"Kebijakan domestik saja tidak cukup. Tekanan global sangat besar, terutama dari kebijakan Federal Reserve dan dinamika ekonomi politik di AS,” ujarnya.
Tetapi Ibrahim tetap optimistis jika stabilitas bisa tercapai jika pemerintah tetap fokus pada penguatan fundamental ekonomi.
“Kita harus waspada terhadap kebijakan AS dan langkah-langkah yang diambil negara-negara besar lainnya, terutama terkait perang dagang dan stimulus ekonomi,” pungkasnya.
Prediksi Rupiah
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memproyeksikan tekanan terhadap rupiah akan terus berlangsung hingga semester pertama 2025.
Komite Kebijakan Ekonomi Apindo, Aviliani mengungkapkan bahwa pelemahan ini didorong oleh dinamika global, khususnya penguatan dolar AS.
“Tahun depan itu China dan Amerika Serikat akan membuat insentif-insentif menarik. Kemungkinan besar banyak dolar AS akan ‘pulang kampung’ kembali ke Amerika,” kata Aviliani dalam konferensi pers di Kantor Pusat Apindo, Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024.
Menurut dia, Bank Indonesia akan mencoba meredam pelemahan rupiah dengan mengandalkan devisa hasil ekspor (DHE). Namun, langkah ini dinilai belum cukup efektif karena jumlah DHE yang terkumpul masih kalah jauh dibandingkan kebutuhan impor Indonesia.
“Bagaimana caranya supaya kita stabil? Salah satunya adalah DHE. Tapi DHE itu belum besar sekali, masih lebih rendah dibandingkan impor kita,” jelas Aviliani.
Selain itu, kebijakan lain seperti transaksi mata uang lokal (LCT), surat berharga rupiah berjangka (SRBI), dan surat berharga valuta asing (SVBI) juga dianggap belum mampu menjaga stabilitas rupiah.
Alasannya, Indonesia sebagai small open economy sangat bergantung pada impor, terutama di sektor minyak, pangan, layanan digital, dan teknologi informasi.
"Bisnis yang berbasis impor jelas terpukul. Biaya produksi mereka meningkat, sehingga sulit bersaing. Karena itu, ke depan pemerintah harus mulai memberikan insentif dan kebijakan untuk mendorong bisnis berbasis ekspor,” ucap Aviliani.
Namun, apapun prediksinya, penguatan rupiah di awal tahun menjadi harapan akan stabilnya nilai tukar rupiah sepanjang tahun ini.(*)
Penulis: Deden Muhamad Rojani