Logo
>

Rupiah Menguat Tipis ke Rp16.327, Berlawanan dengan Pelemahan Mayoritas Mata Uang Asia

Ditulis oleh Syahrianto
Rupiah Menguat Tipis ke Rp16.327, Berlawanan dengan Pelemahan Mayoritas Mata Uang Asia

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Rabu, 22 Januari 2025 tercatat sebesar Rp16.327,00, sedikit mengalami penguatan 0,02 persen dibandingkan dengan posisi pada Selasa, 21 Januari 2025 yang tercatat Rp16.331,00. Meskipun terjadi sedikit pergerakan di kurs JISDOR, sebagian besar mata uang Asia melanjutkan tren pelemahan pada hari ini.

    Seperti dilansir Reuters, investor tetap berhati-hati menjelang kebijakan baru yang mungkin diberlakukan oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump terkait tarif impor. Sentimen negatif ini menekan mata uang regional, meskipun beberapa negara mengalami perkembangan positif, seperti Malaysia, di mana ringgit menguat seiring ekspektasi pasar terhadap keputusan Bank Negara Malaysia (BNM) untuk mempertahankan suku bunga stabil.

    Pada hari ini, ringgit Malaysia mencatatkan lonjakan yang signifikan, seiring dengan ekspektasi bahwa BNM akan mempertahankan suku bunga tetap di level 3,00 persen pada pertemuan kebijakan moneter hari itu. Ini merupakan kali kesepuluh berturut-turut BNM menjaga suku bunga pada angka yang sama. Menurut jajak pendapat Reuters, keputusan ini didorong oleh pertumbuhan ekonomi Malaysia yang stabil dan inflasi yang terkendali, memberikan rasa optimisme di pasar.

    Sementara itu, sebagian besar mata uang Asia lainnya berada di bawah tekanan, dipengaruhi oleh penguatan dolar AS. US Dollar Index naik 0,2 persen selama perdagangan Asia setelah sebelumnya sempat terkoreksi lebih dari 1 persen di awal minggu.

    Penguatan dolar ini dipicu oleh kekhawatiran pasar terkait rencana pemerintahan Trump yang mengisyaratkan potensi penerapan tarif baru, yang dapat memberi dampak signifikan pada perdagangan global, terutama bagi negara-negara di Asia yang memiliki ketergantungan tinggi pada perdagangan dengan China.

    Selain pengaruh dari kebijakan AS, pasar juga memperhatikan langkah Bank of Japan (BoJ) yang diperkirakan akan menaikkan suku bunga pada pertemuan kebijakan dua hari yang dimulai pada Kamis, 23 Januari 2025.

    BoJ telah menyatakan bahwa mereka akan mempertimbangkan untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut jika ekonomi Jepang terus menunjukkan pemulihan yang berkelanjutan. Namun, beberapa analis memperkirakan bahwa kenaikan suku bunga lebih lanjut mungkin akan tertunda hingga setelah pemilihan majelis tinggi Jepang pada bulan Juli 2025.

    Di sisi lain, sebagian besar mata uang Asia lainnya mengalami pelemahan. Pasangan mata uang USD/SGD (dolar Singapura) menguat 0,3 persen, sementara USD/INR (rupee India) dan USD/KRW (won Korea Selatan) masing-masing naik 0,1 persen dan 0,4 persen. Won Korea Selatan, yang sebelumnya tertekan oleh ketegangan politik domestik terkait pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol, kembali menunjukkan pergerakan positif.

    Selain itu, USD/JPY naik tipis 0,2 persen menjelang pertemuan kebijakan BoJ, sementara pasangan mata uang lainnya, seperti USD/TWD (dolar Taiwan) dan USD/PHP (peso Filipina), juga tercatat mengalami kenaikan masing-masing 0,5 persen dan 0,4 persen.

    Dalam konteks ketegangan perdagangan global, pasar terus mencerna kemungkinan penerapan tarif baru oleh pemerintah AS terhadap impor dari China. Trump mengungkapkan pada 21 Januari bahwa ia sedang mempertimbangkan untuk memberlakukan tarif 10 persen terhadap impor China mulai 1 Februari 2025, yang dapat memberikan dampak besar bagi ekonomi Asia, mengingat kawasan ini memiliki keterkaitan perdagangan yang erat dengan China.

    Dengan ketidakpastian yang terus membayangi pasar, investor diperkirakan akan tetap waspada terhadap perkembangan kebijakan dari AS, yang dapat mempengaruhi sentimen global dalam jangka pendek.

    Ekonom Ungkap Dua Faktor di Balik Tren Pelemahan Rupiah

    Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diproyeksikan berada dalam tren pelemahan jangka panjang. Menurut ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, pelemahan ini didorong oleh faktor fundamental perekonomian Indonesia dan arah kebijakan moneter yang diambil oleh otoritas moneter.

    “Dalam jangka pendek, memang lebih karena dinamika pasar,” ujar Awalil dalam webinar daring bertajuk “Keseimbangan Baru Nilai Tukar Rupiah” yang digelar Bright Institute, Selasa, 21 Januari 2025.

    Awalil menjelaskan bahwa keterkaitan antara kebijakan fiskal dan moneter semakin erat. Namun, kondisi fiskal pemerintah saat ini dianggap tidak cukup sehat. Ruang fiskal semakin sempit, sementara kebutuhan pembiayaan, terutama melalui utang, semakin besar.

    “Keinginan pemerintahan baru makin banyak, padahal beban utang dari masa lalu makin berat,” ungkap Awalil.

    Selain itu, Bank Indonesia (BI) juga memiliki porsi kepemilikan terbesar atas Surat Berharga Negara (SBN) domestik, sementara porsi penyaluran dana bank umum dalam SBN masih tinggi.

    Hal ini, lanjutnya, menciptakan persaingan sumber dana antara pemerintah dan bank, yang membuat suku bunga sulit turun secara signifikan. Dana kelolaan publik, seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, serta berbagai dana pensiun, juga lebih banyak disalurkan ke SBN.

    Berdasarkan data BI hingga 14 Januari 2025, Awalil memaparkan, posisi instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) tercatat sebesar Rp914,7 triliun. Kepemilikan nonresiden (asing) dalam SRBI mencapai Rp228,85 triliun, atau 25,02 persen dari total outstanding.

    Pada 2024, nonresiden mencatat beli neto sebesar Rp15,61 triliun di pasar saham, Rp37,94 triliun di pasar SBN, dan Rp167,83 triliun di SRBI. Namun, hingga 16 Januari 2025, terjadi jual neto Rp2,63 triliun di pasar saham dan Rp0,59 triliun di pasar SBN, sementara SRBI mencatat beli neto Rp5,84 triliun.

    Dalam proyeksi terbaru, mengutip Barclays, Awalil memprakirakan nilai tukar rupiah akan melemah hingga Rp16.500 per dolar AS pada kuartal pertama tahun 2025, dan berpotensi mencapai Rp16.800 per dolar AS pada akhir tahun ini. Sementara itu, berdasarkan ekonom Maybank Awalil mencatat perkiraan pelemahan hingga Rp17.000 per dolar AS pada kuartal kedua sebelum berpotensi menguat kembali ke Rp16.500 pada kuartal ketiga dan keempat 2025.

    Meski demikian, kata Awalil, Bloomberg Intelligence menilai rupiah masih undervalued sebesar 9,6 persen. Hal ini memberikan peluang penguatan jika kebijakan moneter dan disiplin fiskal dapat efektif dijalankan. “Masih mungkin ke Rp15.000,” ujar Awalil, seraya menunjukkan bahwa ruang penguatan tetap terbuka.

    Namun, Awalil juga memperingatkan bahwa risiko pelemahan hingga Rp17.000 tetap ada, meski potensi tersebut belum tampak jelas dalam dua bulan ke depan. Ia menilai ketahanan eksternal perekonomian Indonesia tidak terlampau lemah, namun juga belum cukup kuat menghadapi guncangan besar dari luar.

    “Keterkaitan lebih erat antara kebijakan moneter, kebijakan fiskal, serta kondisi industri keuangan membuat beberapa risiko mesti diwaspadai dan dimitigasi,” pungkasnya. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.