KABARBURSA.COM - Saham-saham emiten komoditas logam, seperti tembaga, timah, hingga nikel, cenderung turun dalam perdagangan hari ini, Kamis, 25 Juli 2024.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), saat penutupan perdagangan hari ini, saham PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) melemah 2,33 persen ke Rp11.525 per saham. Pelemahan terhadap perusahaan yang bergerak dalam aktivitas perusahaan holding tersebut usai menguat selama dua hari beruntun.
Selain AMMN, saham PT Timah Tbk (TINS) juga terbenam di zona merah, minus 4,12 persen atau kehilangan 40 poin menjadi Rp930 per saham. Saham PT PAM Mineral Tbk (NICL) terkoreksi 4,96 persen, sedangkan PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) melorot 2,70 persen.
Lebih lanjut, saham PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) terdepresiasi cukup dalam yakni 5,56 persen, PT Adhi Kartiko Pratama Tbk (NICE) turun tipis 0,99 persen, sedangkan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) tergerus 2,29 persen sehingga terparkir di level Rp1.280 per saham.
Nama lainnya, saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) merosot 1,34 persen, PT Pelat Timah Nusantara Tbk (NIKL) negatif 2,24 persen, PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) turun 1,66 persen, dan PT Harum Energy Tbk (HRUM) 3,25 persen.
Nikel Turun
Harga nikel di London Metal Exchange (LME) turun ke level terendah tahun ini atau year to date (ytd). Menurut LME, Kamis, 25 Juli 2024, harga nikel turun 1,21 persen menjadi USD 15.827 per ton pada penutupan perdagangan Rabu, 24 Juli 2024.
Perlu dicatat, nikel memang mengalami penurunan dalam beberapa waktu terakhir. Pada penutupan perdagangan Rabu, 24 Juli 2024, dan sebelumnya harga nikel melemah 0,41 persen menjadi USD 16.190 per ton pada penutupan perdagangan Senin, 22 Juli 2024, melampaui level terendah tahun ini, yakni USD 15.921 per ton pada Februari 2024.
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) memprediksi harga nikel bisa semakin jatuh jika Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali memimpin dan mencabut mandat kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) jika memenangkan Pilpres 2024.
Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey menyatakan bahwa kebijakan yang lebih mendukung industri otomotif konvensional akan mempengaruhi harga nikel, meskipun tidak dijelaskan seberapa besar penurunan yang akan terjadi. “Ini pasti akan berdampak ke harga nikel lagi. Kita tidak bisa prediksi ya, karena ini kan konsumsi dunia. Namun, pasti akan menurun, namanya komoditas kan naik-turun ya,” ujar Meidy.
Penurunan permintaan global terhadap nikel juga dapat menyebabkan penurunan harga di pasar global. Meidy menyebutkan hal ini bisa berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia yang sangat bergantung pada ekspor mineral dan logam seperti nikel.
Selain itu, rencana Trump untuk mencabut mandat EV dapat memengaruhi investasi dalam pengembangan teknologi dan infrastruktur terkait EV dan baterai, serta rencana Indonesia dalam mengembangkan industri EV di dalam negeri.
Pencabutan kebijakan pro-lingkungan seperti mandat EV juga dapat memengaruhi upaya mitigasi perubahan iklim global karena EV dianggap lebih ramah lingkungan dibandingkan kendaraan konvensional berbahan bakar fosil.
Ketidakpastian kebijakan dapat mengganggu rencana jangka panjang perusahaan-perusahaan terkait investasi di Indonesia, terutama dalam sektor yang terkait dengan EV dan teknologi energi baru.
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan penurunan permintaan dari China terkait dengan perekonomian negara tersebut yang belum pulih sepenuhnya. Produk domestik bruto (PDB) China hanya tumbuh 4,7 persen pada kuartal II 2024 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yang merupakan laju terburuk dalam lima kuartal terakhir.
Selain itu, Indonesia juga turut berkontribusi dalam penurunan harga nikel ini. Rizal menyebutkan bahwa produksi nikel dari Indonesia telah mencapai lebih dari 1,7 juta ton pada 2023 dan diperkirakan akan meningkat lagi pada 2024 dan tahun-tahun berikutnya karena beberapa smelter telah masuk ke tahap produksi komersial dan berpotensi menambah pasokan nikel ke pasar global.
Kontrak Berjangka Tembaga
Menurut data pasar, kontrak berjangka (futures) tembaga pengiriman tiga bulan di LME diperdagangkan di bawah level USD9.000 per ton untuk pertama kalinya sejak awal April. Tembaga turun 1,91 persen, tepatnya menjadi USD8.933,50 per ton.
Kontrak tembaga paling aktif untuk pengiriman September di Bursa Berjangka Shanghai (SHFE) jatuh 2,5 persen menjadi CNY72.970 (USD10.046,67) per ton, juga terendah dalam tiga setengah bulan.
Permintaan fisik untuk logam yang kerap digunakan dalam industri kelistrikan dan konstruksi ini tetap lemah di tengah tingginya persediaan. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.