Logo
>

Saham BBRI Terkoreksi 6,13 Persen Sejak Awal Tahun, Jadi Peluang?

Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 6,13 persen sejak awal tahun 2025 akibat tekanan provisi dan suku bunga tinggi, analis masih rekomendasikan beli.

Ditulis oleh Syahrianto
Saham BBRI Terkoreksi 6,13 Persen Sejak Awal Tahun, Jadi Peluang?
Gedung BRI di Jakarta (Foto: KabarBursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM – Saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) menutup paruh pertama tahun 2025 dengan catatan merah yang cukup mencolok.

Hingga akhir perdagangan 27 Juni, harga saham emiten perbankan terbesar nasional itu telah terkoreksi sebesar 6,13 persen secara year-to-date (ytd). Angka ini menjadi sorotan karena menempatkan BBRI di bawah kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang pada periode sama juga mencatat penurunan sebesar 2,58 persen.

Artinya, performa BBRI tidak hanya mencerminkan tekanan pasar secara umum, tapi juga faktor-faktor spesifik yang memengaruhi internal perseroan.

Dalam sesi perdagangan terakhirnya, BBRI sempat mencatatkan penguatan harian sebesar 1,86 persen ke level Rp3.830 per saham.

Namun, volume perdagangan yang hanya mencapai 171 juta lembar, masih lebih rendah dibandingkan rata-rata volume harian tiga bulan terakhir yang mencapai 249 juta lembar, menunjukkan bahwa sentimen pasar terhadap saham ini belum sepenuhnya pulih.

Grafik pergerakan harga selama enam bulan terakhir memperlihatkan bahwa tekanan jual mulai meningkat sejak awal Mei 2025, setelah sebelumnya sempat menyentuh level tertinggi tahunan di kisaran Rp4.300.

Koreksi ini tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi sebagai akumulasi dari berbagai tekanan eksternal dan kondisi fundamental yang mulai menunjukkan sinyal perlambatan.

Membaca Kondisi BBRI Lewat Laporan Keuangan Kuartal I 2025

Laporan keuangan konsolidasi kuartal I 2025 yang dipublikasikan pada Mei lalu menjadi salah satu indikator penting dalam membaca kondisi tersebut.

Dalam periode ini, BBRI mencatatkan laba bersih sebesar Rp13,7 triliun, turun 13,9 persen secara tahunan. Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh kenaikan beban pencadangan kerugian kredit (CKPN) yang naik signifikan menjadi Rp12,6 triliun.

Dalam riset yang dirilis Samuel Sekuritas Indonesia pada 2 Mei 2025, analis menjelaskan bahwa peningkatan risiko di segmen mikro dan kecil menyebabkan manajemen menaikkan cost of credit (CoC) ke 3,5 persen, melampaui panduan internal sebesar 3,0 hingga 3,2 persen.

"Kenaikan cost of credit ke 3,5 persen melebihi panduan manajemen sebesar 3,0 hingga 3,2 persen, seiring peningkatan risiko di segmen mikro dan kecil," tulis tim analis dalam laporan tersebut.

BBRI sendiri memang masih sangat bergantung pada segmen mikro, kecil, dan UMKM. Dari total portofolio kredit sebesar Rp1.373 triliun per Maret 2025, lebih dari 82 persen tersalurkan ke sektor ini. Komposisi ini memberikan kontribusi margin bunga yang lebih tinggi dibandingkan segmen korporasi atau konsumer.

Namun, risiko inheren dari sektor mikro yang rentan terhadap gejolak ekonomi dan fluktuasi daya beli masyarakat menjadi faktor pembatas pertumbuhan. Kondisi ini diperparah oleh potensi penurunan belanja negara terhadap subsidi UMKM dan KUR pasca transisi pemerintahan.

Dalam dokumen paparan publik kuartal I yang dirilis Mei 2025, manajemen mengakui bahwa rasio kredit bermasalah (gross NPL) mengalami sedikit kenaikan menjadi 3 persen, dari sebelumnya di bawah 2,9 persen. Selain itu, Loan at Risk (LAR) juga meningkat menjadi 11,1 persen.

Meski begitu, manajemen tetap menjaga NPL coverage ratio di atas 200 persen sebagai langkah mitigasi risiko jangka pendek dan memberi keyakinan kepada pasar bahwa potensi kerugian sudah diantisipasi melalui pencadangan yang cukup.

Transformasi digital menjadi pilar utama dalam strategi pertumbuhan BBRI. Aplikasi BRImo terus berkembang dan mencatatkan lebih dari 31,6 juta pengguna aktif.

Jaringan AgenBRILink yang tersebar di 59.000 desa dengan lebih dari 627.000 agen menjadi tulang punggung penetrasi keuangan inklusif. Berdasarkan laporan keuangan tahunan 2024, transformasi digital ini berhasil meningkatkan rasio CASA menjadi 74,8 persen.

Ini artinya, mayoritas dana pihak ketiga berasal dari dana murah, yang mampu menekan beban bunga dan memperkuat margin bunga bersih (NIM).

Melihat PER dan PBV BBRI Saat ini

Valuasi saham BBRI saat ini cukup menarik jika dibandingkan dengan bank besar lainnya. Pada harga pasar Rp3.830, BBRI diperdagangkan di PER 10,02x dan PBV 1,94x.

Sebagai perbandingan, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) diperdagangkan dengan PER sekitar 19x dan PBV di atas 4x. Return on Equity (ROE) BBRI yang masih terjaga di level 19,34 persen menjadikan valuasinya relatif murah untuk bank dengan basis nasabah dan portofolio nasional sebesar itu.

Sentimen analis pasar juga cenderung optimistis. Berdasarkan kompilasi dari 36 analis per 23 Juni 2025, sebanyak 31 analis menyarankan beli (buy), lima menyarankan tahan (hold), dan tidak ada yang menyarankan jual (sell).

Target harga konsensus berada di kisaran Rp4.736 per saham, dengan estimasi tertinggi mencapai Rp6.400 dan terendah Rp3.600. Artinya, secara kolektif, pasar melihat adanya potensi kenaikan lebih dari 20 persen dari harga saat ini.

Begini Gerak Saham BBRI Menurut RSI hingga MA

Secara teknikal, indikator Relative Strength Index (RSI) berada di angka 61, yang berarti belum memasuki wilayah jenuh beli (overbought), tetapi sudah mulai mendekati batas atas.

Moving average jangka pendek (MA5 hingga MA50) menunjukkan sinyal beli, sementara moving average jangka menengah dan panjang (MA100 dan MA200) masih menunjukkan tekanan jual. MACD masih berada di bawah garis nol, mengindikasikan momentum tren naik belum sepenuhnya terbentuk.

Area support kuat ada di kisaran Rp3.750, dan resistance psikologis pertama berada di level Rp3.860. Jika mampu menembus level ini dengan volume kuat, maka peluang untuk kembali ke Rp4.000 terbuka lebar.

Namun, sejumlah risiko makroekonomi masih perlu dicermati. Suku bunga acuan BI yang masih berada di level tinggi, yakni 6,25 persen, menahan permintaan kredit dari sektor produktif.

Fluktuasi nilai tukar rupiah yang mencapai Rp16.400 per dolar AS dan volatilitas harga komoditas turut menekan sektor mikro, mengingat segmen ini sangat rentan terhadap inflasi bahan pokok dan biaya logistik.

BRI Lakukan Penyesuaian Strategi Penyaluran Kredit

Dalam paparan publik akhir April 2025, Direktur Utama BBRI Sunarso menyatakan bahwa penyesuaian strategi penyaluran kredit menjadi hal wajib di tengah kondisi makro yang dinamis.

"Kami tetap pada strategi mikro, tetapi selektivitas dan mitigasi risiko menjadi prioritas utama tahun ini," ujarnya.

Di luar aspek operasional, BBRI juga aktif dalam pengelolaan aksi korporasi. Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang berlangsung pada 12 Juni 2025, pemegang saham menyetujui pembagian dividen final sebesar Rp208,4 per saham, menjadikan dividend yield efektif sebesar 8,97 persen.

Selain itu, BBRI mengumumkan rencana buyback saham maksimal sebesar Rp3 triliun, yang akan dieksekusi dalam jangka waktu 12 bulan sejak pengesahan.

Melihat ke depan, konsensus analis memperkirakan pendapatan BBRI untuk tahun 2025 akan mencapai Rp210,7 triliun, dengan proyeksi laba bersih sebesar Rp58,1 triliun.

EPS diperkirakan sedikit menurun menjadi Rp388 per saham, namun akan kembali naik ke Rp434 pada 2026 seiring perbaikan margin bunga dan stabilisasi biaya pencadangan.

Secara keseluruhan, koreksi harga saham BBRI pada semester pertama 2025 belum mencerminkan krisis fundamental. Penurunan ini lebih disebabkan oleh penyesuaian pasar terhadap beban provisi yang meningkat dan dinamika makro yang menahan ekspansi kredit.

Dalam pandangan banyak analis dan fund manager institusi, BBRI tetap menjadi emiten perbankan yang defensif dan layak dikoleksi, terutama bagi investor jangka menengah hingga panjang yang mengincar kombinasi pertumbuhan dan imbal hasil dividen.

Selama saham mampu bertahan di atas Rp3.800 dan didukung oleh peningkatan volume perdagangan, peluang terjadinya technical rebound menuju Rp4.000 terbuka lebar.

Namun bagi investor yang lebih konservatif, konfirmasi tren naik akan sangat tergantung pada hasil kinerja kuartal II dan arah kebijakan suku bunga dari Bank Indonesia yang akan diumumkan dalam dua bulan mendatang. (*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Syahrianto

Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.