KABARBURSA.COM - Saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk atau GIAA sempat mengalami rebound di tengah isu rencana pembelian 50 unit pesawat 50 unit Boeing 737 Max 8.
Financial markets analyst dari Traderindo, Wahyu Laksono menilai rencana Garuda Indonesia atau emiten pelat merah memantik perhatian pasar, namun tidak serta-merta menghadirkan euforia. Namun, di balik kabar tersebut tersembunyi potensi tekanan yang tak kalah besar.
Harga saham GIAA saat ini berada di level Rp50 per lembar, melonjak signifikan dari posisi terendahnya di Rp31 pada 19 Maret 2025. Kenaikan hampir 61 persen dalam dua bulan terakhir ini mencerminkan optimisme jangka pendek pasar, meski tak seluruhnya berbasis pada fundamental.
“Kami melihat rebound harga saham GIAA belakangan ini banyak didorong oleh spekulasi dan harapan akan intervensi atau dukungan pemerintah, bukan oleh pemulihan keuangan yang nyata,” kata Wahyu kepada Kabarbursa.com Jumat, 23 Mei 2025.
Menurutnya, berita tentang pembelian armada Boeing memang bisa memantik sentimen positif dalam jangka pendek. Hal ini dipandang sebagai sinyal bahwa pemerintah terus berupaya menopang maskapai pelat merah tersebut untuk bangkit dari masa kelamnya.
Namun, Wahyu mengingatkan bahwa rencana pembelian 50 pesawat tersebut sejatinya membawa kompleksitas tersendiri. Terlebih, hingga kini belum ada kejelasan tentang skema pembiayaannya.
Jika pembelian ini dibiayai melalui utang baru atau penerbitan saham baru, itu justru bisa memperparah beban keuangan GIAA yang saat ini masih sangat berat. Kita bicara tentang rugi bersih sebesar US\$75,93 juta di kuartal I-2025 dan posisi ekuitas yang masih negatif,” kata dia.
Ada Potensi Katalis Positif, tapi Tak Bisa Menutupi Risiko Garuda
Wahyu mengakui bahwa dari sisi operasional, penambahan armada Boeing 737 Max 8 bisa membawa manfaat jangka panjang. Pesawat baru berarti efisiensi bahan bakar, biaya perawatan yang lebih rendah, dan kapasitas angkut yang lebih besar.
“Tapi semua potensi itu tidak akan terealisasi kalau GIAA tidak memiliki strategi bisnis dan operasional yang matang. Jangan sampai ini hanya menjadi ekspansi utang tanpa arah,” kata dia.
Ia juga menyoroti aspek tata kelola perusahaan. Mengingat pembatalan kontrak Boeing pada 2021 setelah kecelakaan dua unit 737 Max di maskapai lain, keputusan untuk kembali membeli pesawat jenis yang sama menimbulkan pertanyaan baru: apakah ini murni keputusan bisnis atau tekanan geopolitik?
“Kalau keputusan ini lebih dilatarbelakangi tekanan diplomatik atau keharusan menyeimbangkan neraca perdagangan dengan AS, maka risikonya akan jauh lebih besar. Pasar akan melihat ini sebagai potensi moral hazard, dan itu berbahaya,” kata Wahyu.
Para Investor Masih Layak Mengoleksi Saham GIAA?
Dengan profil risiko yang begitu tinggi, Wahyu menilai saham GIAA saat ini belum layak dikoleksi oleh investor jangka panjang, apalagi yang mengandalkan analisis fundamental.
“Investor konservatif sebaiknya menjauhi saham ini. Risiko inherennya terlalu besar dibanding potensi upside-nya. Ini lebih cocok untuk trader spekulatif yang tahu kapan keluar masuk," katanya.
Ia juga menekankan bahwa tanpa kejelasan tentang sumber pembiayaan pesawat baru, potensi dilusi saham, dan rencana strategis jangka panjang, maka investor seperti bertaruh dalam gelap.
“Sebelum mengambil keputusan, investor harus menunggu setidaknya tiga hal: pertama, skema pembiayaan yang jelas dan tidak membebani GIAA; kedua, proyeksi keuangan setelah pembelian; dan ketiga, roadmap restrukturisasi utang dan rencana menuju profitabilitas berkelanjutan,” ujar dia.
Rencana pembelian 50 pesawat Boeing bisa menjadi katalis positif jika dan hanya jika ditopang oleh strategi dan pendanaan yang cermat. Tanpa itu, rencana ini bisa menjadi beban tambahan yang mempercepat tekanan pada saham GIAA.
Dengan latar belakang fundamental yang masih rapuh, saham GIAA saat ini lebih tepat disebut sebagai wahana spekulatif ketimbang aset investasi jangka panjang. (*)