KABARBURSA.COM – Harga saham PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) terus menanjak tajam sampai dinilai mahal di tengah tekanan fundamental.
Dalam perdagangan Senin, 6 Oktober 2025, saham KRAS ditutup menguat 3,31 persen ke level Rp374 per saham, dengan nilai transaksi mencapai Rp87,62 miliar dan volume perdagangan 219,7 juta lembar.
Secara year to date (ytd), saham pelat merah sektor baja ini sudah melesat lebih dari 270 persen, dari posisi awal tahun di kisaran Rp100 per saham.
Lonjakan harga yang berulang ini mendorong Bursa Efek Indonesia (BEI) meminta klarifikasi resmi kepada manajemen Krakatau Steel terkait volatilitas transaksi saham.
Dalam keterbukaan informasi, Senin, 6 Oktober 2025, Corporate Secretary Fedaus menjelaskan bahwa perseroan tidak mengetahui adanya informasi atau fakta material yang belum diungkapkan ke publik.
Ia menegaskan tidak ada aktivitas dari pemegang saham tertentu maupun rencana aksi korporasi baru dalam waktu dekat, kecuali penyelenggaraan Public Expose Tahunan.
Meski demikian, perusahaan menyebut bahwa sejumlah agenda strategis memang tengah berjalan, antara lain rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI dan VII DPR RI pada akhir September 2025.
Agenda tersebut membahas tantangan industri baja nasional akibat banjir impor dari Tiongkok serta wacana pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk mendukung kebijakan proteksi baja domestik.
Fundamental Masih Tertekan, Krakatau Steel Rugi
Kondisi keuangan Krakatau Steel hingga pertengahan 2025 masih menunjukkan tekanan yang signifikan, meski manajemen terus berupaya menstabilkan bisnis pascaperiode restrukturisasi besar dalam dua tahun terakhir.
Berdasarkan laporan keuangan konsolidasian per 30 Juni 2025, perseroan mencatat pendapatan usaha USD234,7 juta atau tumbuh sangat tipis dibanding periode sama tahun lalu sebesar USD231,8 juta.
Dari total pendapatan tersebut, beban pokok penjualan mencapai USD221,8 juta, sehingga laba kotor yang tersisa hanya USD12,9 juta. Margin laba kotor (gross margin) turun ke level sekitar 5,5 persen, mencerminkan lemahnya efisiensi produksi di tengah biaya bahan baku dan energi yang tinggi. Beban penjualan dan administrasi turut menekan kinerja, dengan nilai masing-masing sebesar USD5,1 juta dan USD18,8 juta.
Secara keseluruhan, Krakatau Steel mencatat rugi bersih USD45,4 juta pada kuartal II 2025, meningkat dibanding rugi USD27,3 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Kerugian ini diperparah oleh beban bunga dan keuangan sebesar USD33,8 juta, yang menggambarkan beratnya beban utang yang harus ditanggung perusahaan.
Dari sisi arus kas, kondisi likuiditas juga belum membaik. Arus kas operasi tercatat negatif USD10,9 juta, akibat meningkatnya pembayaran kepada pemasok dan kewajiban lain, sedangkan posisi kas dan setara kas turun menjadi USD63,6 juta, dari posisi akhir 2024 sebesar USD100 juta.
Di sisi neraca, total aset Krakatau Steel tercatat mencapai USD2,91 miliar, terdiri atas USD636 juta aset lancar dan USD2,28 miliar aset tidak lancar. Aset tetap menjadi porsi terbesar dengan nilai USD1,61 miliar, disusul investasi pada entitas asosiasi sebesar USD399 juta. Namun di sisi lain, total liabilitas perseroan membengkak hingga USD2,50 miliar, jauh di atas total ekuitas USD421 juta.
Kondisi ini menghasilkan rasio utang terhadap ekuitas (DER) mencapai sekitar 5,9 kali, mencerminkan leverage yang sangat tinggi dan ruang pembiayaan yang sempit bagi perusahaan.
Liabilitas terbesar berasal dari pinjaman jangka panjang yang jatuh tempo dalam satu tahun senilai USD1,36 miliar, disusul pinjaman jangka pendek sebesar USD23,9 juta dan kewajiban kepada pemasok lebih dari USD144 juta.
Selain itu, Krakatau Steel masih memiliki obligasi wajib konversi (OWK) sebesar USD119 juta, yang diterbitkan dalam rangka restrukturisasi keuangan beberapa tahun lalu. Posisi utang besar inilah yang menjadi sumber utama tekanan terhadap profitabilitas dan arus kas operasional.
Dari sisi anak usaha, performa belum memberikan kontribusi signifikan terhadap perbaikan kinerja induk. Beberapa subholding seperti Krakatau Pipe Industries (KPI) dan Krakatau Tirta Industri (KTI) mencatat kinerja stabil, namun margin usaha masih tipis. Sementara Krakatau Engineering dan Krakatau Sarana Properti tengah menjalani penyesuaian model bisnis akibat penurunan permintaan konstruksi industri.
Manajemen, melalui Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Daniel Fitzgerald Liman, menyampaikan bahwa tahun 2025 menjadi periode penting untuk memperbaiki struktur permodalan.
“Kami tengah menyusun Rencana Penyehatan Keuangan (RPK) yang mencakup efisiensi, restrukturisasi pinjaman, dan optimalisasi aset,” ujarnya dalam paparan publik Juli lalu.
Langkah utama yang dijalankan adalah peningkatan utilisasi Hot Strip Mill 1 (HSM 1) agar efisiensi produksi meningkat, serta negosiasi ulang dengan kreditur untuk penurunan suku bunga dan perpanjangan tenor pinjaman.
Perusahaan juga menargetkan sinergi operasional antar-subholding untuk memperkuat rantai pasok internal, termasuk pemanfaatan aset kawasan industri dan layanan logistik milik Krakatau Bandar Samudera.
Untuk mendukung program hilirisasi nasional, Krakatau Steel berencana meningkatkan produksi baja lembaran untuk sektor otomotif, pipa transmisi, dan konstruksi.
Perseroan juga menargetkan kontribusi dari proyek-proyek strategis, seperti pembangunan pipa baja transmisi gas Cirebon–Semarang, proyek air industri di Sumbawa, serta ekspansi bisnis pelabuhan dan properti industri di Cilegon.
Valuasi dan Harga Wajar Saham KRAS
Dengan harga di level Rp374 per saham, valuasi pasar KRAS kini telah mencapai sekitar Rp7,2 triliun, menjadikannya salah satu saham sektor dasar yang paling aktif diperdagangkan di bursa sepanjang 2025.
Namun, di balik reli tajam lebih dari 270 persen sejak awal tahun, valuasinya mulai dianggap premium jika dibandingkan dengan performa keuangan dan kapasitas pertumbuhan perseroan.
Berdasarkan laporan keuangan semester I 2025, ekuitas perseroan senilai USD421 juta atau sekitar Rp6,8 triliun dengan kurs Rp16.231 per USD.
Dengan kapitalisasi pasar di atas Rp7 triliun, rasio price-to-book value (PBV) saham KRAS kini berada di kisaran 1,05 kali. Angka ini secara nominal terlihat moderat, namun secara substansi belum mencerminkan perbaikan fundamental yang signifikan.
Jika mengacu pada kinerja historis lima tahun terakhir, saham KRAS cenderung dihargai di bawah PBV 0,5–0,7 kali, mencerminkan pasar yang memperhitungkan risiko tinggi terhadap profitabilitas dan beban utang.
Artinya, harga sekarang sudah mencerminkan revaluasi optimistis, yang lebih banyak didorong oleh ekspektasi restrukturisasi keuangan dan sentimen pemulihan industri baja nasional ketimbang kenaikan kinerja riil.
Secara earning-based valuation, saham KRAS belum bisa dihitung dengan rasio price-to-earnings (P/E) karena perusahaan masih mencatatkan rugi bersih USD45,4 juta pada paruh pertama 2025.
Jika kinerja sepanjang tahun berakhir serupa, total kerugian tahunan bisa menembus USD80–90 juta atau sekitar Rp1,4 triliun.
Dengan kondisi ini, valuasi berbasis laba masih negatif, sehingga metrik PBV menjadi satu-satunya rujukan yang realistis untuk menilai harga wajarnya.
Dari sisi aset, nilai buku per saham (book value per share) KRAS saat ini diperkirakan sekitar Rp356, sehingga harga pasar Rp374 mencerminkan premium sekitar 5 persen di atas nilai buku.
Namun, mengingat masih adanya tekanan pada likuiditas dan kebutuhan pembiayaan tinggi, beberapa analis menilai harga wajar saham KRAS berada pada kisaran Rp260–Rp300 per saham hingga restrukturisasi keuangan tuntas dan HSM 1 menunjukkan efisiensi optimal.
Valuasi tersebut sejalan dengan kondisi utang yang masih berat. Berdasarkan laporan keuangan, perseroan memiliki total utang berbunga lebih dari USD1,4 miliar, dengan beban bunga USD33,8 juta hanya dalam tiga bulan pertama 2025. Angka ini menandakan rasio interest coverage masih di bawah 1 kali, atau dengan kata lain, laba operasi belum mampu menutup beban bunga. (*)