KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG saat ini masih mengalami volatilitas setelah perdagangan sempat dibekukan sementara beberapa waktu lalu.
Seperti hari ini, IHSG dibuka menghijau ke level 6.406 atau naik 0,40 persen (25 poin) pada perdagangan Jumat, 21 Maret 2025. Namun lima menit berselang, indeks mengalami koreksi sebesar 0,57 persen atau berada di level 6.345.
Lalu, bagaimana investor harus bersikap di tengah volatilitas pasar saat ini?
Analis Stocknow.id Abdul Haq Alfaruqy, mengatakan saat ini, sektor komoditas emas bisa menjadi pilihan di tengah kondisi pasar saham yang fluktuatif.
Menurut dia, hal itu didasari oleh kenaikan harga emas dunia yang mencetak ATH kembali diatas level USD3.000/t.oz, sehingga memicu optimisme pasar terkait potensi peningkatan penjualan emas bagi emiten emas di Indonesia.
"Adapun contoh emiten yang dimaksud Abdul adalah seperti ANTM, BRMS, dan PSAB," kata Abdul saat dihubungi KabarBursa.com di Jakarta, Kamis, 20 Maret 2025.
Tetapi, lanjut Abdul, consumer goods juga dapat menjadi pilihan sebagai sektor defensif dengan pergerakan yang sideways. Dia bilang, saham pada sektor consumer goods yang dimaksud adalah ICBP.
Sementara itu, ia menilai saham blue chip juga masih menarik dan memiliki imbal hasil tinggi dari dividen yang akan diberikan pada tahun 2025.
"Hal ini didasari oleh harga saham yang sudah cukup terdiskon dari peak levelnya dari tahun 2023, serta potensi Recovery dari pasar saham Indonesia dalam jangka waktu menengah," jelasnya.
Tetapi, kata Abdul, perlu diperhatikan juga bahwa saham merupakan instrumen high risk, sehingga untuk investor yang ingin lebih aman atau konservatif, bisa memanfaatkan instrumen obligasi dan emas sebagai aset safe haven di tengah ketidakpastian pasar.
Diketahui, perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) resmi dibekukan sementara imbas Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG mengalami penurunan siginifikan pada Selasa, 18 Maret 2025.
Sekretaris Perusahaan BEI, Kautsar Primadi Nurahmad mengatakan pada waktu itu, telah terjadi pembekuan sementara perdagangan (trading halt) sistem perdagangan di BEI Automated Trading System (JATS) yang dipicu penurunan IHSG mencapai 5 persen.
"Hal ini dilakukan sesuai dengan Surat Keputusan Direksi BEI Nomor: Kep-00024/BEI/03-2020 tanggal 10 Maret 2020 perihal Perubahan Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan di Bursa Efek Indonesia dalam Kondisi Darurat," jelas dia dalam keterangan resmi.
Pembekuan dilakukan seiring penurunan tajam IHSG hingga 5,2 persen yang tersungkur ke level 6.146. Kondisi ini diberlakukan selama setengah jam.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Iman Rachman angkat suara mengenai penurunan tajam Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG pada Selasa, 18 Maret 2025.
, Iman mengatakan penurunan indeks sudah terjadi sejak pekan lalu. Menurutnya, hal ini tidak lepas dari sentimen global, terutama kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
"Jadi kalau kita lihat penurunannya hari ini sebagian besar asing melihat update dari Donald Trump. Ini menjadikan satu dampak bagi penurunan indeks," ujar dia dalam konferensi pers di Gedung BEI Jakarta Pusat, pada Selasa, 18 Maret 2025.
Iman melanjutkan, penurunan ini juga disebabkan oleh akumulasi berbagai hal, salah satunya adalah kepercayaan investor terhadap pasar modal Indonesia.
Meski IHSG mengalami penurunan siginifikan, bos BEI berusia 52 tahun itu menjelaskan perusahaan-perusahaan di Indonesia saat ini memiliki fundamental dalam performa yang gemilang.
"Kalau kita lihat dalam rentang 2024 sebagian besar (perusahaan) lebih baik dibandingkan 2023," pungkasnya.
IHSG bisa Bangkit Asal Pemerintah Longgarkan Fiskal
Sementara itu Founder Stocknow.id, Hendra Wardana, memperkirakan indeks bisa menguji resistance di kisaran 6.500-6.700 dalam jangka menengah, khususnya menjelang kuartal ketiga yang diprediksi menjadi momentum rebound.
“Jika tekanan jual berlanjut, indeks berpotensi turun lebih dalam ke level 5.900-6.000,” ujar Hendra saat dihubungi KabarBursa.com di Jakarta, Rabu, 19 Maret 2025.
Untuk mempercepat pemulihan, ia menyarankan agar pemerintah dan regulator segera bertindak. Beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah meningkatkan transparansi pasar dengan membuka broker summary, melonggarkan kebijakan fiskal, serta menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Jika kebijakan ini diterapkan dengan cepat, peluang IHSG untuk kembali ke jalur positif akan semakin besar.
"Jika langkah-langkah ini dilakukan dengan baik, investor bisa kembali percaya diri dan membawa IHSG keluar dari tekanan menuju pemulihan yang lebih kuat," jelas Hendra.
Dia menerangkan pelemahan IHSG terjadi di tengah penguatan bursa regional. Menurutnya, hal ini menandakan tekanan terhadap IHSG banyak dipicu faktor domestik ketimbang eksternal.
Padahal secara fundamental, Hendra mengakui kondisi ekonomi Indonesia tidak terlalu buruk meskipun APBN mengalami defisit Rp31,2 triliun dan pendapatan negara turun drastis.
"Namun, sentimen negatif seperti RUU TNI yang kontroversial, rumor pengunduran diri Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, serta aksi jual besar-besaran saham konglomerasi seperti BREN (-11,8 persen), TPIA (-18,4 persen), dan DCII (-20 persen) menjadi pemicu utama kejatuhan indeks," ungkapnya.
Hendra pun membeberkan aksi jual asing pada kemarin tercatat masif dengan net sell Rp2,5 triliun dalam sehari, terutama di saham big caps seperti BBCA, BMRI, dan BBRI. Sementara beberapa saham seperti GOTO dan WIFI masih mencatatkan net buy.
Dari sisi global, Hendra menuturkan ketidakpastian mengenai kebijakan The Fed dan pelemahan rupiah ke Rp16.425 per USD menambah tekanan terhadap pasar domestik.
"Sementara defisit APBN yang melebar serta peningkatan NPL perbankan ke 2,17 persen juga menjadi perhatian," pungkasnya.(*)