KABARBURSA.COM - Bursa Efek Indonesia (BEI) mengindikasikan bahwa saham PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) berpotensi untuk dihapus dari daftar perdagangan (delisting) setelah menjalani suspensi selama 42 bulan.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, menjelaskan bahwa perdagangan saham perusahaan dengan kode SRIL telah dihentikan sejak 18 Mei 2021 akibat penundaan pembayaran pokok dan bunga pada Obligasi MTN Sritex Tahap III Tahun 2018.
“Bursa telah meminta klarifikasi dan pengingat kepada Sritex terkait rencana tindak lanjut dan upaya mempertahankan kelangsungan usaha,” kata I Gede Nyoman, Jumat, 25 Oktober 2024.
Nyoman menambahkan, BEI berkomitmen untuk melindungi investor ritel dengan menerapkan notasi khusus dan menempatkan perusahaan pada papan pemantauan jika memenuhi kriteria tertentu. Ini bertujuan meningkatkan kesadaran investor terhadap potensi masalah yang dihadapi perusahaan.
Untuk perusahaan yang mengalami suspensi, BEI melakukan berbagai langkah perlindungan, termasuk mengingatkan perusahaan yang telah disuspensi selama enam bulan, mengundang hearing, dan meminta penjelasan tentang upaya perbaikan serta rencana bisnis ke depan.
Perusahaan yang terkena suspensi juga diwajibkan untuk melaporkan kemajuan rencana perbaikan setiap bulan Juni dan Desember.
Sementara itu, setiap enam bulan, BEI akan mengumumkan potensi delisting dengan informasi mengenai masa suspensi, susunan manajemen, dan kontak yang dapat dihubungi. Nyoman menegaskan bahwa pengumuman terkait potensi delisting Sritex telah dilakukan setiap enam bulan.
Berdasarkan Peraturan OJK 3/2021 dan SE OJK No. 13/SEOJK.04/2023, jika perusahaan terbuka mengalami delisting karena kondisi yang berdampak pada kelangsungan usaha, maka perusahaan harus beralih status menjadi perusahaan tertutup dan melakukan buyback saham publik sesuai ketentuan yang berlaku.
Sritex sendiri telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang dalam putusan nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg, terkait dengan kewajiban pembayaran yang tidak dipenuhi kepada PT Indo Bharta Rayon dan beberapa pihak lainnya.
Adapun Pemohon dari perkara ini adalah PT Indo Bharta Rayon. Sementara, perkara tersebut mengadili para termohon yakni PT Sri Rejeki Isman Tbk, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.
Para Termohon tersebut dinilai telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayaran kepada para pemohon berdasarkan putusan homologasi tanggal 25 Januari 2022.
“Menyatakan bahwa para termohon (termasuk Sritex) pailit dengan segala akibat hukumnya,” bunyi petitum perkara tersebut, dikutip Rabu, 23 Oktober 2024.
Penyebab Sritex Pailit
Sritex, perusahaan tekstil terkemuka asal Sukoharjo, kini menghadapi masalah serius dengan utang yang sangat besar dan kesulitan dalam pelunasannya. Vendornya, PT Indo Bharta Rayon, telah menggugat perusahaan ini untuk pailit akibat utang yang belum terbayar.
Kasus ini resmi terdaftar sejak 2 September 2024, di mana Sritex dan afiliasinya, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya, dituduh gagal memenuhi kewajiban pembayaran.
Kondisi ini mengejutkan banyak pihak, terutama mengingat Sritex dikenal sebagai salah satu perusahaan tekstil terintegrasi terbesar di Asia Tenggara (ASEAN).
Utang yang terus menumpuk selama bertahun-tahun diyakini sebagai penyebab utama kemunduran bisnis raksasa ini.
Total utang Sritex, berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasi Interim per 30 Juni 2024, mencapai USD1,597 miliar, setara dengan Rp25 triliun. Utang tersebut terdiri dari utang jangka pendek sebesar USD131,41 juta dan utang jangka panjang sebesar USD1,46 miliar, di mana utang bank mendominasi dengan total USD809,99 juta.
Sementara itu, aset Sritex juga mengalami penurunan, tercatat USD617,33 juta per akhir Juni 2024, berkurang dari USD648,98 juta pada tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban yang ditanggung perusahaan jauh melebihi nilai aset yang dimiliki.
Kondisi keuangan Sritex semakin memburuk dengan penjualan yang anjlok. Pada semester pertama 2024, perusahaan hanya mencatatkan penjualan sebesar USD131,729 juta, turun dari USD166,9 juta pada periode yang sama tahun lalu.
Di sisi lain, beban penjualan mencapai USD150,24 juta, menyebabkan perusahaan mencatatkan kerugian sebesar USD25,73 juta. Kerugian ini mengikuti kerugian besar yang dialami Sritex pada tahun 2023, yang mencapai USD174,84 juta.
Diminta tak Buru-buru PHK Karyawan
Sementara itu, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Indah Anggoro Putri merespons status prusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex yang dinyatakan jatuh pailit. Indah meminta PT Sritex dan anak-anak perusahaannya tidak buru-buru melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada karyawan.
Penundaan PHK disarankan hingga ada putusan Mahkamah Agung (MA) soal status perusahaan tersebut.
“Kemnaker meminta kepada PT Sritex dan anak-anak perusahaannya yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga agar tidak terburu-buru melakukan PHK kepada pekerjanya, sampai dengan adanya putusan yg inkrah atau dari MA,” kata Indah, Kamis, 24 Oktober 2024.
“Kemnaker meminta kepada PT Sritex dan anak-anak perusahaannya untuk tetap membayarkan hak-hak pekerja terutama gaji atau upah,” tegasnya.
Selain itu, Indah meminta agar semua pihak terkait, yaitu menejemen dan serikat pekerja di PT Sritex dan anak perusahaan tetap tenang dan menjaga kondusifitas perusahaan.
“Serta segera menentukan langkah-langkah strategis dan solutif untuk kedua belah pihak. Utamakan dialog yang konstruktif, produktif dan solutif,” ujar Indah. (*)