Logo
>

Sederet Penyebab Tertundanya Rilis APBN Januari 2025

Penurunan penerimaan negara akibat merosotnya harga komoditas utama

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Sederet Penyebab Tertundanya Rilis APBN Januari 2025
Meneteri Keuangan Sri Mulyani bersama para Wamen dan Petinggi berfoto sebelum Konferensi Pers APBN Kita Edisi Desember di Aula Juanda Kementrian Keuangan. foto: Kabar Bursa/abbas sandji

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hingga awal Maret 2025 belum juga merilis laporan realisasi APBN Januari 2025. Padahal, laporan ini biasanya diumumkan pada akhir Februari sebagai bentuk transparansi fiskal. Keterlambatan ini menimbulkan berbagai spekulasi terkait kondisi fiskal Indonesia.

    Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyoroti sejumlah faktor yang diduga menjadi penyebab keterlambatan tersebut. Salah satunya adalah penurunan penerimaan negara akibat merosotnya harga komoditas utama seperti batu bara dan minyak sawit. 

    “Pada 2024, penerimaan negara masih cukup terbantu oleh tingginya harga komoditas, terutama batu bara dan minyak sawit. Namun, memasuki 2025, harga kedua komoditas ini mengalami penurunan akibat melemahnya permintaan global, khususnya dari China,” ujar dia dalam keterangannya di Jakarta, Senin 10 Maret 2025.

    Selain itu, penerapan sistem perpajakan baru, Coretax, disebut mengalami kendala teknis. “Sistem ini seharusnya meningkatkan penerimaan negara dengan mengurangi kebocoran pajak, tetapi beberapa laporan menyebutkan bahwa transisi ke sistem ini tidak berjalan mulus,” tambahnya.

    Faktor lain yang turut mempengaruhi adalah kebijakan efisiensi anggaran yang diberlakukan oleh pemerintah. Achmad mengatakan bahwa Instruksi Presiden bertujuan untuk menekan belanja yang tidak produktif guna menjaga keseimbangan fiskal. Namun, ia menilai kebijakan efisiensi tersebut membuat Kemenkeu harus melakukan penyesuaian dalam laporan APBN sebelum dipublikasikan.

    “Instruksi Presiden ini bertujuan untuk menekan belanja yang tidak produktif guna menjaga keseimbangan fiskal. Namun, kebijakan efisiensi ini tampaknya membuat Kemenkeu harus melakukan penyesuaian dalam laporan APBN sebelum dipublikasikan,” kata Achmad.

    Selain itu, polemik hukum yang melibatkan Direktur Jenderal Anggaran Negara juga menjadi perhatian. Dia mengatakan bahwa salah satu faktor lain yang turut memperumit situasi adalah kasus hukum yang menjerat salah satu pejabat tinggi Kemenkeu, yaitu Direktur Jenderal Anggaran Negara, yang telah dijadikan terdakwa dalam kasus dugaan penyalahgunaan wewenang.

     “Salah satu faktor lain yang turut memperumit situasi adalah kasus hukum yang menjerat salah satu pejabat tinggi Kemenkeu, yakni Direktur Jenderal Anggaran Negara, yang telah dijadikan terdakwa dalam kasus dugaan penyalahgunaan wewenang,” katanya.

    Keterlambatan rilis APBN ini turut berdampak pada kepercayaan investor dan stabilitas pasar keuangan. Achmad menilai bahwa keterlambatan ini menimbulkan spekulasi negatif terhadap kondisi fiskal Indonesia. 

    “Investor yang biasanya menggunakan data APBN sebagai acuan dalam menilai risiko investasi mulai kehilangan kepercayaan terhadap transparansi pemerintah,” ungkapnya.

    Risiko fiskal juga menjadi sorotan. Achmad menjelaskan bahwa jika penerimaan pajak turun sementara belanja tetap tinggi, defisit bisa melebar dari target awal 2,3 persen PDB menjadi mendekati 3 persen atau lebih. 

    “Pelebaran defisit ini berisiko meningkatkan kebutuhan penerbitan obligasi pemerintah. Dengan meningkatnya ketidakpastian, investor akan meminta imbal hasil (yield) yang lebih tinggi untuk mengompensasi risiko tambahan tersebut,” jelasnya.

    Dampak lain dari keterlambatan ini adalah kemungkinan perlambatan pencairan dana untuk infrastruktur dan stimulus ekonomi. “Jika realisasi APBN masih belum jelas, pencairan dana proyek bisa ikut tertunda,” ujar Achmad. Ia juga menambahkan bahwa pemerintah daerah yang mengandalkan transfer dana dari pusat bisa terkena dampaknya.

    Terakhir, Achmad menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan fiskal. Ia menegaskan bahwa dalam kondisi ekonomi yang penuh tantangan, transparansi menjadi faktor utama dalam menjaga stabilitas pasar dan kepercayaan publik.

    “Dalam kondisi ekonomi yang penuh tantangan, transparansi menjadi faktor utama dalam menjaga stabilitas pasar dan kepercayaan publik,” tegasnya. 

    Defisit Transaksi Berjalan

    Pengamat ekonomi menyoroti potensi pelebaran defisit transaksi berjalan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 yang dikeluarkan Presiden Prabowo Subianto. 

    Dalam dokumen tersebut, pemerintah memproyeksikan defisit transaksi berjalan akan melebar hingga USD25,80 miliar atau 1,09 persen dari PDB pada 2029, yang sejalan dengan proyeksi IMF sebesar USD29,04 miliar atau 1,43 persen dari PDB.

    Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menilai proyeksi ini bertentangan dengan narasi dalam RPJMN yang menargetkan pertumbuhan ekonomi berbasis ekspor dan penguatan ketahanan eksternal. 

    “Jika realisasi RPJMN di masa lalu sering meleset dari target, ada kekhawatiran bahwa defisit transaksi berjalan bisa melebar lebih dari yang diproyeksikan,” ujar Awalil kepada KabarBursa.com melalui telepon, Senin 10 Maret 2025.

    Defisit Transaksi Berjalan: Sinyal Ketahanan Eksternal yang Lemah

    Defisit transaksi berjalan menandakan bahwa nilai impor barang dan jasa Indonesia lebih besar dibandingkan ekspornya. Hal ini berpotensi menggerus cadangan devisa, melemahkan nilai tukar rupiah, serta menghambat kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi. Indonesia sendiri pernah mengalami periode panjang defisit transaksi berjalan, terutama pada 1981-1997 dan 2012-2020, dengan surplus singkat pada 2021-2022, sebelum kembali defisit pada 2023 dan 2024.

    Komponen utama transaksi berjalan adalah neraca perdagangan barang, yang pada 2029 diproyeksikan sebagai berikut:

    • Ekspor: USD402,95 miliar (naik 53,91 persen dari 2024)

    • Impor: USD371,85 miliar (naik 67,59 persen dari 2024)

    • Surplus barang: USD31,10 miliar (turun 22,11 persen dari 2024)

    “Anehnya, target surplus perdagangan barang justru diproyeksikan menurun, padahal pemerintah mengatakan ingin mengandalkan ekspor sebagai mesin pertumbuhan ekonomi,” kata Awalil.

    Defisit Jasa dan Pendapatan Primer Membebani Neraca Eksternal

    Pada neraca jasa, defisit diproyeksikan menurun dari 2024, tetapi masih cukup besar. Pemerintah menargetkan ekspor jasa mencapai USD68,59 miliar (+75,88 persen dari 2024), sementara impor jasa sebesar USD83,82 miliar (+45,35 persen). Defisit diperkirakan mencapai USD15,23 miliar, turun 18,41 persen dari 2024.

    Meski tampak optimis, Awalil menilai target ini terlalu bergantung pada sektor pariwisata tanpa strategi konkret untuk mengembangkan jasa bernilai tambah tinggi seperti teknologi dan keuangan.

    Yang lebih mengkhawatirkan adalah defisit neraca pendapatan primer, yang diproyeksikan mencapai USD53 miliar pada 2029, meningkat 46,85 persen dari 2024. Defisit ini mencerminkan tingginya pembayaran bunga utang dan repatriasi keuntungan investasi asing, yang berpotensi memperburuk ketergantungan ekonomi terhadap modal asing.

    Sementara itu, surplus neraca pendapatan sekunder yang berasal dari remitansi tenaga kerja dipatok naik 90,23 persen dari 2024, mencapai US$11,37 miliar pada 2029. Namun, Awalil menilai target ini kurang realistis karena tidak disertai kebijakan baru terkait pengelolaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), yang selama ini menjadi sumber utama remitansi.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.