Logo
>

Sektor Perbankan: Tulang Punggung BEI, Magnet Investor (3)

Investor perlu memahami bahwa saham perbankan tidak hanya bergantung pada harga pasar semata.

Ditulis oleh Yunila Wati
Sektor Perbankan: Tulang Punggung BEI, Magnet Investor (3)
Ilustrasi mewaspadai saham perbankan sebelum membeli. (Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Menilai saham perbankan agar tidak terjebak dalam kerugian besar memerlukan pendekatan yang hati-hati, menyeluruh, dan berbasis data. Investor perlu memahami bahwa saham perbankan tidak hanya bergantung pada harga pasar semata, tetapi juga pada fundamental bisnis, stabilitas keuangan, manajemen risiko, dan prospek sektor makroekonomi.

    Berikut adalah cara menilai saham perbankan secara cermat dan bijak:

    Memilih saham perbankan bukan sekadar melihat harga saham yang naik-turun. Di balik grafik harga, tersembunyi cerita tentang kesehatan keuangan bank, ketahanan menghadapi risiko, dan strategi pertumbuhan jangka panjang.

    Untuk menghindari jebakan kerugian besar, investor harus memulai dengan melihat kinerja fundamental bank, terutama dari laporan keuangan. Salah satu indikator utama adalah Return on Equity (ROE), yang mencerminkan seberapa efisien bank menghasilkan keuntungan dari modal yang dimiliki. Bank dengan ROE tinggi dan stabil, seperti BBCA, biasanya memiliki bisnis yang sehat dan kompetitif.

    Selanjutnya, perhatikan Net Interest Margin (NIM), yaitu selisih antara bunga yang diterima dan bunga yang dibayarkan terhadap aset produktif. NIM menunjukkan seberapa baik bank memaksimalkan pendapatan dari aktivitas pinjam-meminjam. Bank dengan NIM tinggi cenderung lebih menguntungkan dan efisien dalam menyalurkan kredit.

    Namun, tidak cukup hanya melihat profitabilitas. Investor juga wajib mengevaluasi kualitas aset bank, yang tercermin dari rasio Non-Performing Loan (NPL) dan Coverage Ratio. NPL menunjukkan seberapa besar pinjaman yang berpotensi gagal bayar. Jika NPL tinggi dan tidak tertutupi oleh pencadangan yang memadai (provisi), maka risiko kerugian besar akan menghantui.

    Oleh karena itu, Cost of Credit (CoC) dan cadangan kerugian pinjaman menjadi penting untuk dipantau. CoC yang rendah menunjukkan bahwa bank mampu mengelola risiko kredit dengan baik.

    Dari sisi valuasi, investor perlu memperhatikan rasio Price to Book Value (PBV). Saham bank yang diperdagangkan jauh di atas nilai bukunya perlu dicermati: apakah harga tersebut mencerminkan potensi pertumbuhan riil, atau hanya spekulatif? BBCA, misalnya, memiliki PBV tinggi karena reputasi dan kinerja yang luar biasa, tetapi untuk bank lain, PBV tinggi tanpa didukung kinerja bisa jadi sinyal waspada.

    Faktor lain yang tak kalah penting adalah tren makroekonomi dan regulasi. Kenaikan suku bunga, perlambatan ekonomi, atau perubahan regulasi dari OJK dan Bank Indonesia bisa berdampak signifikan terhadap profitabilitas perbankan. Bank dengan model bisnis yang fleksibel dan cepat beradaptasi terhadap perubahan ini akan lebih bertahan.

    Terakhir, jangan abaikan peran manajemen dan tata kelola perusahaan (GCG). Reputasi, transparansi, dan pengalaman manajemen memainkan peran penting dalam menjaga kepercayaan investor. Bank yang dikelola dengan integritas dan visi jangka panjang lebih kecil risikonya terjerumus dalam masalah besar.

    Dengan memahami aspek-aspek ini secara mendalam, investor dapat menilai saham perbankan secara lebih objektif dan menghindari jebakan harga murah yang ternyata menyimpan risiko tersembunyi. Dalam sektor yang sangat sensitif terhadap kepercayaan publik, pemahaman terhadap risiko adalah senjata terbaik untuk mempertahankan keuntungan dan melindungi modal.

    Waspadai Risiko Investasi di Sektor Perbankan Digital

    Investasi di saham perbankan digital menawarkan potensi pertumbuhan yang besar seiring transformasi industri keuangan yang makin terdigitalisasi. Namun, di balik prospek yang menggiurkan, tersimpan sejumlah risiko yang perlu diwaspadai agar investor tidak salah langkah dan terjebak pada volatilitas yang tinggi.

    Perbankan digital menjanjikan kemudahan, efisiensi, dan penetrasi ke segmen pasar yang selama ini belum tersentuh bank konvensional. Inilah yang membuat saham-saham bank digital seperti Bank Jago (ARTO), Bank Neo Commerce (BBYB), hingga Bank Aladin Syariah (BANK) sempat mencuri perhatian investor. 

    Namun, perjalanan saham-saham ini tidak selalu mulus. Banyak yang meroket secara spektakuler di awal, namun kemudian anjlok tajam seiring realita bisnis yang belum mampu mengejar valuasi pasar.

    Risiko pertama yang paling nyata adalah valuasi yang tidak sebanding dengan fundamental. Banyak bank digital dihargai sangat tinggi oleh pasar meski belum mencetak laba konsisten. Harapan akan pertumbuhan masa depan membuat harga sahamnya melambung, tapi jika ekspektasi ini tidak terpenuhi, saham bisa mengalami koreksi dalam yang menyakitkan. Ini adalah risiko klasik dari "growth trap", di mana investor membeli harapan, bukan kenyataan.

    Kedua, model bisnis bank digital masih dalam tahap eksperimen dan pengembangan. Banyak dari mereka belum memiliki portofolio kredit yang kuat dan berkelanjutan. Mereka sangat bergantung pada strategi akuisisi nasabah lewat promo, cashback, dan ekosistem digital, yang tentu saja membutuhkan pembakaran uang dalam jumlah besar. Jika tidak segera beralih menjadi profit center, model ini bisa menjadi beban keuangan jangka panjang.

    Ketiga, risiko teknologi dan keamanan siber menjadi tantangan krusial. Karena operasionalnya sepenuhnya berbasis digital, bank digital sangat rentan terhadap serangan siber, pelanggaran data, dan gangguan sistem. Sekali saja terjadi kebocoran data atau layanan terganggu, kepercayaan nasabah bisa runtuh, dan hal ini akan berdampak langsung pada nilai saham.

    Keempat, regulasi dan pengawasan dari otoritas juga bisa menjadi sumber ketidakpastian. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia sedang terus menyempurnakan aturan untuk sektor keuangan digital, termasuk dalam aspek permodalan, perlindungan konsumen, hingga mitigasi risiko teknologi. Setiap perubahan regulasi bisa memengaruhi strategi bisnis bank digital dan memberikan dampak langsung terhadap sahamnya.

    Kelima, kompetisi yang sangat ketat. Bank digital bukan hanya bersaing dengan sesama bank digital, tetapi juga dengan bank besar yang kini agresif melakukan digitalisasi. Dengan modal, reputasi, dan basis nasabah yang lebih kuat, bank besar berpotensi merebut kembali pasar yang sempat dinikmati bank digital.

    Singkatnya, investasi di saham perbankan digital mengandung potensi tinggi namun dengan risiko tinggi pula. Saham-saham ini cocok bagi investor yang agresif dan siap menghadapi volatilitas, bukan bagi mereka yang mengincar kestabilan atau dividen rutin. Memahami risiko ini sejak awal akan membuat investor lebih siap, lebih bijak, dan lebih selektif dalam memilih peluang yang benar-benar memiliki prospek berkelanjutan di era perbankan modern.(Selesai/*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79