KABARBURSA.COM - Batu bara tetap dihadapkan pada stigma sebagai sumber energi yang tidak ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan, namun di Indonesia, langkah-langkah signifikan sedang diambil untuk mengubah persepsi ini.
Menurut Bisman Bakhtiar, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Indonesia mulai menerapkan praktik pertambangan yang baik di sektor batu bara, termasuk komitmen yang kuat terhadap reklamasi dan pascatambang yang bertanggung jawab.
"Penggunaan teknologi hijau, seperti carbon capture storage (CCS) dan carbon capture, utilization, and storage (CCUS), juga dapat diterapkan di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara untuk mengurangi dampak lingkungan," ungkap Bisman, dikutip Selasa 18 Juni 2024.
Meski demikian, ekspansi perusahaan batu bara terkemuka seperti PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Bayan Resources Tbk (BYAN), dan Geo Energy Resources Ltd (GEOE) telah menjadi sorotan karena dinilai menghambat upaya Indonesia menuju emisi nol bersih (NZE), seperti yang diungkapkan dalam penelitian Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) berjudul "Indonesia's Coal Companies: Some Diversify, Others Expand Capacity".
BYAN dan GEOE, misalnya, berencana meningkatkan kapasitas tambangnya secara signifikan, sementara ADRO tetap berkomitmen pada pengembangan PLTU untuk mendukung industri smelter aluminiumnya.
Menurut Febrianti, perwakilan ADRO, PLTU awalnya akan digunakan karena keandalannya, namun perusahaan berencana untuk beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT) dari PLTA Mentarang Induk, Kalimantan Utara, seiring dengan perkembangan teknologi yang lebih ramah lingkungan.
"PLTA Mentarang Induk diharapkan akan beroperasi secara komersial pada tahun 2030, mendukung komitmen ADRO dalam berpartisipasi pada program hilirisasi mineral pemerintah dan mendukung pengembangan kendaraan listrik di Indonesia," kata Febrianti kepada Bloomberg Technoz.
Dengan langkah-langkah ini, upaya industri batu bara untuk beradaptasi dengan standar lingkungan yang lebih ketat dan mendukung tujuan NZE Indonesia menjadi semakin nyata, meskipun masih dihadapkan pada tantangan-tantangan signifikan dalam proses transisi tersebut.
Mengapa Disebut Energi Kotor?
Batu bara telah lama dianggap sebagai sumber energi konvensional yang memberikan kontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca dan dampak lingkungan lainnya. Namun, upaya terus dilakukan untuk mengubah persepsi ini dengan menciptakan teknologi dan praktik yang dapat mengubah batu bara menjadi sumber energi yang lebih bersih.
Salah satu teknologi yang dikembangkan adalah Carbon Capture and Storage (CCS) atau Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS), yang dapat mengurangi emisi karbon dengan menangkap karbon dioksida dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan menyimpannya di bawah tanah atau menggunakannya untuk tujuan lain.
Selain itu, ada upaya untuk meningkatkan efisiensi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara dan mengoptimalkan proses pascatambang, termasuk reklamasi lahan bekas tambang. Dengan penerapan teknologi yang tepat, PLTU dapat meningkatkan efisiensi penggunaan batu bara dan mengurangi dampak lingkungan secara signifikan.
Perubahan ini masih dalam tahap pengembangan dan implementasi secara luas. Transformasi batu bara menjadi energi yang lebih bersih membutuhkan investasi besar dan dukungan pemerintah serta industri untuk menerapkan teknologi baru secara efektif dan menjaga keseimbangan antara kebutuhan energi dan pelestarian lingkungan.
Meski batu bara masih merupakan sumber energi dominan di beberapa negara, kekhawatiran akan dampak lingkungannya telah mendorong upaya untuk mencari alternatif energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan, seperti energi terbarukan (surya, angin, hidro, dan lain-lain) dan teknologi pengendalian emisi yang lebih baik untuk pembangkit listrik berbasis batu bara.
Daftar Stigma Energi Kotor:
- Emisi Gas Rumah Kaca: Pembakaran batu bara menghasilkan emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), yang merupakan penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim.
- Polusi Udara: Selain CO2, pembakaran batu bara juga menghasilkan partikel halus, sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), dan bahan kimia berbahaya lainnya. Ini dapat menyebabkan pencemaran udara yang serius dan berdampak negatif pada kesehatan manusia serta lingkungan.
- Dampak Ekosistem: Proses penambangan batu bara dapat mengganggu ekosistem lokal, termasuk pengrusakan habitat, kerusakan lahan, dan pencemaran air. Limbah tambang dan tailing juga dapat menyebabkan kontaminasi lingkungan yang berkepanjangan.
- Keterbatasan Sumber Daya: Batu bara merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, yang artinya jumlahnya terbatas dan tidak dapat diperbarui dalam waktu singkat.
- Kesehatan Masyarakat: Polusi udara dan pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari pembakaran batu bara dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan masyarakat, seperti penyakit pernapasan, kanker, dan masalah kesehatan lainnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.