KABARBURSA.COM - PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA) memiliki strategi khusus guna menghadapi menurunnya kelas menengah di Indonesia. Head of Corporate Communication Erajaya Group Djunadi Satrio, menyatakan ERAA telah menerapkan sejumlah cara untuk melewati kondisi ini. Salah satu strateginya ialah fokus pada inovasi dan adaptasi.
"Untuk memastikan bahwa kami terus memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan kami," ujar Djunadi kepada Kabar Bursa, Selasa, 10 September 2024.
Emiten ritel ini juga memperkuat kemitraan dan kolaborasi dengan berbagai pihak untuk memperluas jaringan dan memanfaatkan peluang baru.
Djunadi menegaskan, ERAA tetap berkomitmen pada efisiensi operasional dan pengelolaan biaya yang bijaksana untuk menjaga kesehatan finansial perusahaan.
"Selain itu, strategi kami meliputi diversifikasi produk dan layanan, serta memperkuat jaringan kemitraan kami," ungkap dia.
Efiensi operasional tak luput menjadi perhatian dari ERAA. Djunadi bilang, hal ini untuk menjaga pemenuhan kebutuhan dan memaksimalkan pelayanan kepada pelanggan setia.
Dampak Penurunan Kelas Menengah
Sebagai perusahaan yang beroperasi dalam industri yang sangat dinamis, Djunadi menyebut ERAA mengalami dampak dari kondisi eksternal saat ini. Kendati begitu, dia mengaku belum ada yang signifikan.
"Namun kami terus memantau dan akan memberikan penyesuaian serta adaptasi jika ada perubahan yang signifikan," ucap dia.
Di sisi lain, ERAA telah memitigasi risiko dan berdaptasi di tengah menurunnya kelas menengah ini. Djunadi mengatakan, pihaknya selalu memantau perkembangan ekonomi lokal, regional dan global, melakukan analisa atas perubahan kebijakan, serta menelaah potensi dampaknya pada bisnis perusahaan.
"Meski demikian, kami tetap fokus pada strategi jangka panjang dan pendek untuk memastikan bahwa dampak tersebut dapat diminimalkan," pungkasnya.
Tantangan Emiten Ritel
Emiten ritel dinilai akan terdampak imbas menurunnya kelas menengah di Indonesia pada 2024. Kendati begitu, terdapat sejumlah cara agar emiten di sektor ini bisa tetap survive.
Senior Equity Research Analyst NH Korindo Sekuritas Indonesia Ezaridho Ibnutama, melihat kelas menengah memang masih sangat diperlukan emiten retail untuk menopang kinerja.
Dia menyebut sejumlah emiten ritel yang bisa terdampak di antaranya ialah MAPI, ERAA, ERAL, dan UNVR. Menurut Ezaridho, emiten-emiten ini masih ketergantungan dengan konsumen kelas menengah.
“Mereka butuh support dari middle class (kelas menengah),” ungkap dia kepada Kabar Bursa, Rabu, 4 September 2024.
Meski sentimen negatif di depan mata, Ezaridho memandang terdapat cara yang bisa dilakukan emiten-emiten tersebut untuk survive di tengah kondisi seperti ini. Dia berpendapat, para emiten bisa menargetkan level yang lebih rendah agar biaya yang dikeluarkan tidak terlalu besar.
“Kemungkinan mereka butuh menurunkan standard, agar mereka bisa fokus menurunkan biaya,” ungkapnya.
Selain retail, Ezaridho menilai emiten perbankan kemungkinan juga bisa terdampak akibat menurunnya kelas menengah. Menurutnya, emiten sektor ini bisa menghadapi tantangan Non Performing Loan (NPL).
“Saya pikir ini akan mempunyai efek di mana beberapa emiten perbankan akan mengalami lebih banyak NPL dengan low net risk,” jelas dia.
Data BPS
Diberitakan sebelumnya, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 47,85 juta jiwa pada 2024 atau setara dengan 17,13 persen proporsi masyarakat. Jumlah itu menurun dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa atau setara 21,45 persen dari total penduduk.
Bersamaan dengan itu, data kelompok masyarakat kelas menengah rentan atau aspiring middle class mengalami kenaikan, dari 2019 yang berjumlah 128,85 juta atau 48,20 persen dari total penduduk, menjadi 137,50 juta orang atau 49,22 persen dari total penduduk.
Begitu juga dengan angka kelompok masyarakat rentan miskin mengalami peningkatan dari 54,97 juta orang atau 20,56 persen pada tahun 2019 menjadi 67,69 juta orang atau 24,23 perse. dari total penduduk. Artinya, banyak golongan kelas menengah yang turun kelas.
Hal yang sama juga terjadi pada kelompok miskin yang mengalami kenaikan tipis dari 2019 sebanyak 25,14 juta orang atau setara 9,41 persen menjadi 25,22 juta orang atau setara 9,03 persen pada 2024.
Sementara, kelompok atas juga naik tipis dari 2019 sebanyak 1,02 juta orang atau 0,38 persen menjadi 1,07 juta orang atau 0,38 persen dari total penduduk pada 2024.
Pola Konsumsi Kelas Menengah Bergeser
Sementara itu Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Budihardjo Iduansjah, mengungkapkan adanya perubahan signifikan dalam pola konsumsi kelas menengah di Indonesia.
Menurut Budihardjo, perubahan ini dipengaruhi oleh gaya hidup yang semakin sibuk dan kurangnya waktu luang.
Budihardjo mengungkapkan bahwa kelas menengah saat ini lebih memilih gaya konsumsi yang cepat dan efisien, yang ia sebut sebagai pola fast and grab. Hal ini terkait dengan tidak banyaknya para kelas menengah memiliki banyak waktu yang disebabkan karena pekerjaan.
“Kelas menengah itu waktunya tidak banyak, jadi sekarang mereka lebih memilih fast and grab, kalo beli barang enggak ada waktu untuk mutar-mutar karena mereka sibuk kerja,” kata Budihardjo di acara ‘Indonesia Ritel Summit 2024’ di Jakarta , Kamis, 29 Agustus 2024.
Sebagai informasi, metode fast and grab yang dimaksud merujuk pada pola konsumsi kelas menengah yang lebih cepat dan efisien.
Kelas menengah, yang biasanya sibuk dengan pekerjaan, tidak memiliki banyak waktu untuk berbelanja secara tradisional dengan berkeliling toko dalam waktu yang lama.
Sebaliknya, mereka cenderung melakukan pembelian secara cepat dan langsung untuk memenuhi kebutuhan mereka, bahkan sering kali sambil menjalankan aktivitas lainnya.
Ia menggambarkan pola belanja fast and grab bagi kelas menengah yang kini cenderung menghabiskan waktu di mal untuk nongkrong dan menikmati kopi sambil berbelanja dengan cepat, kemudian melanjutkan aktivitas nongkrongnya, atau hanya sekedar singgah ke mal bersama istri untuk membeli keperluan, lalu segera pulang setelah selesai.
“Jadi nongkrong di mal sambil minum kopi dan belanja, lanjut nongkrong lagi, atau bawa istrinya ambil cepat cepat pulang. Kelas menengah harus fast and grab,” tuturnya.
Perubahan ini juga terlihat dari cara mereka berbelanja. Jika dulu kelas menengah cenderung melakukan belanja bulanan dalam jumlah besar, kini pola belanja mereka lebih sering dan dalam jumlah yang lebih kecil.
“Kalau dulu belanja bulanan, tapi sekarang belanjanya harian atau dua hari sekali. Kalau barang habis, mereka beli lagi, karena minimarket sudah ada di mana-mana,” jelas Budihardjo.
Kata Budihardjo, perubahan ini memberikan dampak pada cara ritel mengelola stok barang. Jika sebelumnya peritel menyimpan stok dalam jumlah besar, sekarang cenderung mengurangi stok di gudang dan lebih sering memasok barang dalam jumlah sedikit.
“Dulu kita kalau nyetok barang dalam jumlah banyak, sekarang gudangnya kita perkecil dan stoknya mengikuti permintaan. Pembelian per transaksi lebih sedikit, tapi akumulasinya dalam sebulan tetap sama,” imbuhnya.(*)