Logo
>

Surplus Neraca Dagang 58 Bulan, tapi PHK Meningkat?

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Surplus Neraca Dagang 58 Bulan, tapi PHK Meningkat?
Kawasan Perkantoran Sudirman, Jakarta. foto: KabarBursa.com/Abbas Sandji

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Indonesia mencatat surplus neraca dagang selama 58 bulan berturut-turut hingga Februari 2025. Terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan surplus mencapai USD3,12 miliar pada bulan tersebut. Namun, di balik capaian ini, muncul pertanyaan besar mengenai dampaknya terhadap perekonomian domestik, terutama terkait penciptaan lapangan kerja dan daya beli masyarakat.

    Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyoroti adanya paradoks dalam tren surplus perdagangan ini. Menurutnya, capaian tersebut memang patut diapresiasi, tetapi ada ketidakseimbangan yang perlu diperhatikan.

    "Surplus neraca dagang 58 bulan berturut-turut sampai Februari 2025 terakhir adalah prestasi. Namun, pertanyaan kritis muncul: seberapa besar kontribusi ekspor ini terhadap perekonomian domestik, terutama dalam menciptakan lapangan kerja dan mendongkrak daya beli?" ujarnya dalam keterangannya kepada KabarBursa.com, Kamis 20 Maret 2025.

    Kekuatan Ekspor Nonmigas 

    Surplus neraca dagang Indonesia selama hampir lima tahun terakhir didominasi oleh kinerja ekspor nonmigas. Pada Februari 2025, ekspor nonmigas mencapai USD 21,98 miliar, meningkat 2,58 persen dibanding Januari 2025.

    Komoditas utama yang mendorong ekspor meliputi logam mulia, batu bara, bijih besi, dan produk pertanian. Negara-negara seperti Amerika Serikat, India, Filipina, dan Vietnam menjadi tujuan utama ekspor Indonesia, sementara ekspor ke Pakistan, Spanyol, dan Kanada menunjukkan pertumbuhan pesat dengan masing-masing meningkat 69,09 persen, 67,98 persen, dan 48,78 persen.

    Menurut Achmad, kenaikan ekspor ini didorong oleh permintaan global yang stabil, terutama dari negara-negara yang tengah mengalami pemulihan pascapandemi dan kebutuhan industri manufaktur dunia.

    "Peningkatan ekspor ini didukung oleh permintaan global yang stabil, terutama dari negara-negara yang sedang dalam fase pemulihan pascapandemi dan kebutuhan industri manufaktur global," jelasnya.

    Ia mencontohkan bagaimana transisi energi di Eropa dan Amerika meningkatkan permintaan terhadap bijih nikel dan logam mulia asal Indonesia. Selain itu, kenaikan harga komoditas global juga memperkuat nilai ekspor nasional.

    "Misalnya, permintaan bijih nikel dan logam mulia dari Indonesia meningkat seiring dengan transisi energi di Eropa dan Amerika," terangnya.

    PHK dan Daya Beli Jadi Sorotan

    Namun, di balik angka-angka optimistis ini, Achmad menilai ada ironi yang perlu dicermati. Ia mempertanyakan bagaimana surplus perdagangan ini bisa beriringan dengan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan melemahnya daya beli masyarakat.

    "Namun, di balik angka-angka optimis ini, tersimpan paradoks yang mengganggu: surplus perdagangan justru beriringan dengan melemahnya daya beli masyarakat dan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK)," ungkapnya.

    Perubahan Kebijakan Fiskal

    Mulai 1 Januari 2025, pemerintah secara resmi memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Untuk meringankan dampak kenaikan ini, sejumlah insentif telah disiapkan, termasuk diskon tarif listrik hingga 50 persen bagi rumah tangga tertentu. Langkah ini diambil untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah perubahan kebijakan fiskal.

    Sahabat, neraca dagang Indonesia terus menunjukkan tren positif dengan mencatatkan surplus selama 55 bulan berturut-turut. Pada November 2024, surplus mencapai 4,42 miliar dolar Amerika. Sementara itu, nilai impor mengalami pertumbuhan melambat secara bulanan sebesar 10,71 persen, menandakan stabilitas kinerja perdagangan Indonesia di tengah tantangan ekonomi global

    Di tengah minimnya anggaran negara, pemerintah melalui Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman mencari alternatif pendanaan dengan menjajaki peluang kerja sama dengan Bank Dunia. Pasalnya, alokasi APBN hanya mampu membiayai pembangunan sekitar 257 ribu rumah, jauh dari target ambisius program tiga juta rumah.

    Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5 persen pada 2024. Optimisme ini didorong oleh kuatnya permintaan domestik serta pemulihan sektor jasa. Prediksi tersebut tertuang dalam laporan terbaru Indonesia Economic Prospect yang dirilis pada 16 Desember 2024, mencerminkan prospek ekonomi yang tetap positif di tengah tantangan global.

    PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menurunkan peringkat PT PP Properti Tbk dari AI-DI-ES-DI (Selective Default) menjadi AI-DI-DI (Default). Penurunan ini disebabkan oleh kegagalan obligor dalam membayar seluruh utang yang telah jatuh tempo sebesar 375,40 miliar rupiah. Keputusan ini mencerminkan kondisi keuangan perusahaan yang semakin tertekan.

    Goldman Sachs melihat kemungkinan Federal Reserve memberikan sinyal perlambatan dalam siklus penurunan suku bunga pada tahun 2025. Hal ini diperkirakan akan dibahas dalam pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) minggu ini.

    Rupiah terus tertekan terhadap dolar Amerika Serikat, dengan nilai tukarnya mencapai 16.021 per dolar AS pada perdagangan siang, Senin (16/12/2024). Hal ini menjadikan rupiah sebagai mata uang ketiga di Asia dengan pelemahan terdalam setelah peso Filipina dan ringgit Malaysia.

    Ekspor Januari 2025 Tertekan

    Ekspor Indonesia pada Januari 2025 menunjukkan tren positif secara tahunan, namun mengalami tekanan dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

    Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa nilai ekspor Indonesia pada Januari 2025 mencapai USD21,45 miliar, meningkat 4,68 persen dibandingkan Januari 2024 (year-on-year/yoy). Peningkatan ini terutama disokong oleh ekspor nonmigas, dengan komoditas utama berupa kapal perahu struktur terapung, logam mulia dan perhiasan, serta bahan kimia anorganik.

    Namun, secara bulanan (month-to-month/mtm), ekspor justru mengalami penurunan 8,56 persen dibandingkan Desember 2024. Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan bahwa ekspor migas mengalami kontraksi tajam dengan nilai hanya USD1,06 miliar, turun 31,35 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Sementara itu, ekspor nonmigas juga mengalami penyusutan 6,96 persen menjadi USD20,4 miliar.

    “Sedangkan nilai ekspor Januari menurun 8,56 persen persen secara bulanan (month-to-month/mtm) dibanding Desember 2024,” kata Amali dalam konferensi pers di Jakarta, Senin 17 Februari 2025.

    Menurut Amalia, pelemahan ekspor Januari terutama disebabkan oleh turunnya permintaan global terhadap beberapa komoditas unggulan. “Penurunan ekspor nonmigas didorong oleh melemahnya pengiriman bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewani nabati, serta bijih logam, terak, dan abu,” paparnya.

    Di sisi lain, ekspor migas juga mengalami tekanan akibat berkurangnya nilai ekspor gas yang memiliki andil negatif sebesar 1,08 persen terhadap total ekspor.

    Meskipun mengalami pelemahan secara bulanan, tren pertumbuhan ekspor tahunan tetap menunjukkan adanya permintaan global yang stabil terhadap produk-produk unggulan Indonesia. Namun, tantangan di awal tahun 2025 ini mengindikasikan bahwa pelaku usaha perlu mewaspadai fluktuasi permintaan dan harga komoditas di pasar internasional.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.