KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melanjutkan penurunannya pada awal perdagangan sesi II, Kamis, 22 Agustus 2024, di tengah ketegangan politik domestik yang semakin memanas.
Pada pukul 13:30 WIB, IHSG turun 0,54 persen ke posisi 7.518,62. Indeks masih berada di level psikologis 7.500 hingga sesi II hari ini.
Nilai transaksi indeks pada awal sesi II hari ini mencapai sekitar Rp 32 triliun dengan volume transaksi sebesar 11 miliar lembar saham dan dilakukan sebanyak 635.517 kali. Dari total saham yang diperdagangkan, 204 saham menguat, 339 saham mengalami penurunan, dan 232 saham tidak mengalami perubahan.
Adapun IHSG terpantau melemah pada akhir perdagangan sesi I hari ini. Hingga pukul 12:00 WIB, IHSG melemah 0,57 persen ke posisi 7.511,29, meski terkoreksi, tetapi IHSG masih berada di level psikologis 7.500.
Hingga akhir sesi I hari ini, perdagangan IHSG cukup ramai, di mana nilai transaksi indeks pada sesi I hari ini sudah mencapai sekitar Rp 31,8 triliun dengan volume transaksi mencapai 11 miliar lembar saham dan sudah ditransaksikan sebanyak 623.538 kali. Sebanyak 205 saham menguat, 350 saham terkoreksi, dan 219 saham stagnan.
IHSG mengalami penurunan di tengah aksi demonstrasi besar-besaran oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia (SI) dan para buruh yang menentang revisi Undang-Undang (UU) Pilkada yang dilakukan oleh Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Ekonom dari Sucor Sekuritas, Ahmad Mikail, mengungkapkan bahwa situasi politik saat ini menyebabkan ketidakpastian yang membuat investor cemas. Ketika DPR membuat keputusan yang berbeda dari Mahkamah Konstitusi, ada kemungkinan hasil Pilkada dapat dibatalkan.
"Politik saat ini menciptakan ketakutan karena ketidakpastian tinggi. Jika DPR berbeda dari keputusan MK, ada risiko Pilkada diulang," katanya.
"Jika terjadi judicial review ke MK, MK mungkin bisa membatalkan hasil Pilkada jika dianggap bertentangan dengan putusan MK. Ini menyebabkan ketidakpastian politik," jelas Ahmad.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Ekonom Senior UI, Telisa Aulia Falianty. Ia mengatakan seharusnya kondisi global yang positif memberikan dorongan bagi IHSG dan rupiah untuk bergerak ke arah yang lebih baik.
"Secara global, situasinya sebenarnya bagus karena The Fed menjadi lebih dovish. Namun, politik domestik justru membuat keadaan menjadi menurun," ungkapnya.
Bank investasi besar asal Amerika Serikat, Wells Fargo, menyatakan bahwa sentimen terhadap rupiah dan obligasi pemerintah mungkin terpengaruh oleh munculnya kerusuhan politik, meskipun dampaknya mungkin bersifat sementara, seperti dilaporkan oleh BloombergNews pada Kamis pagi.
Analis Wells Fargo, Brendan McKenna, meragukan bahwa aksi massa protes sosial di Indonesia saat ini akan berkembang menjadi situasi serupa dengan yang terjadi di Sri Lanka atau Bangladesh.
"Faktor utama yang mempengaruhi aset di pasar keuangan Indonesia adalah kemungkinan penurunan suku bunga oleh The Fed dan arah kebijakan fiskal pemerintah. Kombinasi ini mendukung sentimen positif, memperkuat rupiah, dan menarik aliran modal ke pasar surat utang Indonesia," jelas McKenna.
Di sisi lain, analis lokal mengakui adanya risiko terkait isu Pilkada yang memanas.
"Kami mengidentifikasi risiko politik dari revisi UU Pilkada. Risiko yang ada adalah demonstrasi bisa berubah menjadi kerusuhan sosial. Namun, informasi yang ada saat ini belum cukup untuk menentukan probabilitas terjadinya kerusuhan sosial," kata Lionel Priyadi, analis dari Mega Capital Sekuritas.
Aksi Demonstrasi
Protes keras telah meramaikan media sosial sejak kemarin. Banyak netizen di Indonesia membagikan gambar Garuda berwarna biru dengan tulisan "Peringatan Darurat" di media sosial.
Protes ini dipicu oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian gugatan perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora. Putusan tersebut dibacakan dalam sidang di gedung MK, Jakarta Pusat, pada hari Selasa lalu. MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh kedua partai tersebut terhadap Undang-Undang Pilkada.
Keputusan MK menyatakan bahwa partai politik (parpol) tidak perlu memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mengajukan calon kepala daerah.
Namun, Baleg DPR kemudian mengambil keputusan yang berbeda dari MK. DPR sepakat bahwa perubahan syarat ambang batas pencalonan Pilkada hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. Partai yang sudah memiliki kursi di DPRD tetap harus memenuhi syarat 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara pemilu sebelumnya.
Selain itu, DPR memilih untuk mengadopsi keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menetapkan batas usia calon gubernur saat pelantikan calon terpilih, bertentangan dengan keputusan MK. Keputusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 pada 4 Juni 2024 mengubah batas usia menjadi 30 tahun untuk calon gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati atau wali kota, berlaku saat pelantikan kepala daerah terpilih. (*)