Logo
>

Tarif Trump Tekan Harga Logam, Emas dan Perak Terjun Bebas

Kebijakan tarif yang diterapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump langsung terasa. Bahkan harga emas yang sebelumnya melonjak ikut turun.

Ditulis oleh Desty Luthfiani
Tarif Trump Tekan Harga Logam, Emas dan Perak Terjun Bebas
Kebijakan tarif baru yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberikan tekanan di sektor logam global. (Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Kebijakan tarif baru yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberikan tekanan di sektor logam global. Bahkan harga emas yang sebelumnya meroket, malah ikut tertekan.

    Berdasarkan data Trading Economics pada Jumat, 4 April 2025, mayoritas harga komoditas logam melemah akibat peningkatan kekhawatiran pasar terhadap kebijakan proteksionisme perdagangan AS yang berdampak terhadap rantai pasok dan biaya produksi.

    Harga emas dunia turun 0,45 persen ke USD3.098,85 per troy ons.  Padahal harga emas sebelumnya mencapai rekor tertinggi pada 31 Maret 2025, dengan harga spot mencapai USD3.128,06 per troy ons.

    Sementara harga perak melemah lebih dalam dengan koreksi 1,13 persen menjadi USD31,54 per troy ons. Penurunan juga terjadi pada harga tembaga yang turun 1,06 persen ke USD4,75 per pon. Sementara itu, platinum relatif stabil dengan koreksi tipis 0,02 persen ke USD935,50 per troy ons.

    Di sektor logam industri, harga baja di pasar Tiongkok turun 0,22 persen ke CNY3.175 per ton, sejalan dengan harga baja canai panas (HRC Steel) yang terkoreksi 0,22 persen ke USD913,00 per ton.

    Harga bijih besi di pasar global melemah 0,07 persen ke USD104,18 per ton, sedangkan harga bijih besi di pasar Tiongkok turun lebih dalam sebesar 0,54 persen ke CNY =743,50 per ton.

    Lithium, yang menjadi bahan utama untuk baterai kendaraan listrik, turun 0,27 persen ke CNY73.900 per ton, melanjutkan tren penurunan yang telah berlangsung dalam beberapa bulan terakhir.

    Sementara itu, harga titanium justru mengalami kenaikan 1,04 persen ke CNY48,50 per kilogram, menjadi satu-satunya logam yang bergerak positif di tengah pelemahan sektor ini.

    Trump Umumkan Tarif Baru

    Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi mengumumkan kebijakan tarif baru bertajuk Liberation Day Tariffs pada 2 April 2025. Kebijakan tersebut menetapkan tarif dasar 10 persen untuk seluruh impor, dengan beban tarif yang lebih tinggi dikenakan pada negara-negara tertentu.

    Khusus untuk kawasan Asia, kebijakan ini secara signifikan meningkatkan tarif terhadap China, Vietnam, dan Taiwan. Bahkan menyasar ke Indonesia. China dikenakan tarif tambahan 34 persen, sehingga totalnya mencapai 54 persen. Sementara itu, Vietnam menghadapi tarif baru sebesar 46 persen, dan Indonesia 32 persen.  

    Di luar Asia, beberapa negara juga terdampak oleh kebijakan ini, seperti Uni Eropa dengan tarif 20 persen, sedangkan Kanada dan Meksiko tetap dikenai tarif 25 persen seperti sebelumnya. Langkah ini mencerminkan pendekatan proteksionis yang semakin ketat, terutama terhadap negara-negara mitra dagang utama di kawasan Indo-Pasifik.

    Dengan kebijakan itu, dampak terhadap rantai pasok global diperkirakan akan cukup besar, terutama dalam sektor manufaktur dan komoditas. Banyak negara kini tengah mempertimbangkan langkah balasan atau strategi adaptasi terhadap tarif impor yang diberlakukan oleh AS.

    Kebijakan tarif baru dari AS dinilai meningkatkan biaya impor bahan baku industri dan menekan permintaan global, terutama dari sektor manufaktur dan energi. Ketidakpastian terhadap arah kebijakan perdagangan AS masih membayangi pergerakan harga logam, dengan potensi tekanan lebih lanjut dalam beberapa pekan mendatang.

    ASEAN Ikut Terdampak

    Dampak Tarif Trump membuat beberapa negara di ASEAN ikut terdampak. Negara-negara seperti Vietnam, Thailand, Indonesia, dan Malaysia—yang memiliki peran vital dalam rantai pasokan global—resmi diklasifikasikan sebagai “aktor nakal” oleh Washington dan dikenai tarif resiprokal yang bervariasi antara 24 persen hingga 46 persen.

    Amerika Serikat akan menerapkan tarif dasar sebesar 10 persen atas semua produk impor, ditambah tarif tambahan khusus bagi negara-negara yang dianggap bermasalah dalam hubungan dagang. Dalam kebijakan tersebut, Vietnam menerima beban tarif tertinggi sebesar 46 persen, diikuti oleh Thailand dengan 36 persen, Indonesia sebesar 32 persen, dan Malaysia 24 persen.

    Kabar ini langsung berdampak pada pasar keuangan Asia. Indeks saham di sejumlah negara langsung terjun bebas pada Kamis, 3 April 2025. Di Vietnam, indeks acuan sempat merosot hingga 6,7 persen, sementara di Thailand terjadi penurunan sebesar 1,4 persen. Bursa Malaysia mengalami pelemahan tipis sebesar 0,5 persen, sementara Indonesia tidak mencatatkan pergerakan karena sedang libur nasional.

    Para analis terkejut dengan besarnya lonjakan tarif tersebut. Kebijakan ini dinilai menjadi hambatan baru yang serius bagi kawasan yang sangat bergantung pada sektor ekspor.

    “Dengan AS menyumbang sekitar 15 persen dari total ekspor kawasan, lonjakan tarif sebesar 20 hingga 35 persen jelas jadi penghambat pertumbuhan yang signifikan, terutama untuk negara-negara yang sangat terbuka terhadap perdagangan,” ujar Kepala Strategi Makro Pasar Berkembang T. Rowe Price, Chris Kushlis, dikutip dari The Wall Street Journal, Kamis.

    Analis dan ekonom Barclays dalam catatannya menyebut bahwa, “Dalam jangka pendek, tarif-tarif ini kemungkinan akan mengerem ekspor kawasan secara keseluruhan.”

    Namun, dampaknya tidak hanya berasal dari kebijakan tarif langsung. China, sebagai mitra dagang terbesar negara-negara ASEAN, juga dikenai tarif resiprokal sebesar 34 persen, di luar tarif sebelumnya yang sudah diberlakukan. Jika eksportir China mengalihkan barang mereka ke Asia Tenggara untuk menghindari tarif AS, kondisi ini berpotensi membanjiri pasar lokal dan menimbulkan tekanan deflasi.

    Ekonom Maybank, Erica Tay, menilai bahwa “tarif yang lebih tinggi bisa memangkas ekspor dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.” Ia juga menyoroti risiko masuknya barang-barang asal China ke Thailand dan Indonesia, yang dapat menyebabkan gangguan harga di pasar domestik.

    Pasar kini menanti sikap resmi dari negara-negara di kawasan. Sejumlah negara dilaporkan sempat mencoba melobi Washington pada detik-detik terakhir, namun tak membuahkan hasil. “Vietnam sempat melakukan upaya terakhir untuk menghindari tarif, tapi tidak berhasil,” kata Kepala Riset Asia-Pasifik ING, Deepali Bhargava.

    Kelompok analis Morgan Stanley yang dipimpin oleh Chetan Ahya memprediksi bahwa Vietnam akan mengalami kesulitan dalam menegosiasikan penurunan tarif. Sementara itu, peluang negosiasi bagi Thailand dan India juga dinilai kecil, meskipun mereka melihat kemungkinan negosiasi yang lebih terbuka bagi Indonesia.

    Di sisi lain, pembalasan tarif belum menjadi opsi yang diambil secara resmi. Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, dalam pernyataan yang diunggah melalui platform X (sebelumnya Twitter), menyampaikan bahwa negaranya memahami tujuan Amerika Serikat untuk menyeimbangkan neraca perdagangan dengan para mitra dagangnya. Sementara media lokal melaporkan bahwa otoritas Thailand tengah menyiapkan strategi untuk melakukan pendekatan diplomatik terhadap AS.

    Malaysia juga menyampaikan bahwa mereka tengah menjalin komunikasi aktif dengan pihak otoritas perdagangan Amerika demi mempertahankan hubungan dagang yang sehat. Kementerian Perdagangan Malaysia menegaskan bahwa meskipun kebijakan tarif ini menjadi perhatian serius, negara itu tidak akan mengambil tindakan balasan dan tetap berkomitmen pada prinsip perdagangan bebas dan adil.

    Di lain pihak, pemerintah Vietnam telah menggelar pertemuan darurat menyusul pengumuman kebijakan tarif tersebut. Dalam pernyataan resminya, mereka menyampaikan harapan agar Amerika Serikat dapat mengambil langkah yang sesuai dengan hubungan baik yang selama ini terjalin antara kedua negara.

    Deepali Bhargava dari ING tetap optimistis bahwa negara-negara Asia Tenggara masih memiliki ruang untuk merundingkan pengurangan tarif. “Vietnam kemungkinan akan terus bernegosiasi dengan AS dengan menawarkan konsesi tambahan, seperti menurunkan bea impor,” ujarnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Desty Luthfiani

    Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

    Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

    Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

    Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".