KABARBURSA.COM - Pada Senin 1 April 2024, S&P Global melaporkan bahwa aktivitas manufaktur di Indonesia telah mengalami lonjakan pada bulan Maret. Berdasarkan Purchasing Managers’ Index (PMI), aktivitas manufaktur mencapai angka 54,2. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 52,7, dan mencatat level tertinggi sejak Oktober 2021, atau sekitar 2,5 tahun terakhir.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik nolnya, di mana skor di atas 50 menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur sedang mengalami ekspansi, bukan kontraksi. Terakhir kali PMI manufaktur Indonesia berada di bawah 50 adalah pada Agustus 2021.
“Perusahaan membukukan laju pemesanan baru (new orders) tercepat sejak Agustus 2023. Banyaknya event, permintaan yang tinggi, dan klien baru menjadi pendorong pertumbuhan tersebut,” tulis keterangan tertulis S&P.
Tingginya pemesanan membuat perusahaan meningkatkan skala produksi. Pertumbuhan produksi menjadi yang tertinggi dalam 27 bulan.
Pertumbuhan pemesanan juga membuat korporasi menambah pembelian bahan baku untuk meningkatkan inventori. Laju pertumbuhan pembelian bahan baku menjadi yang tercepat dalam lebih dari 2 tahun terakhir.
Namun para supplier tercatat menaikkan harga, sehingga menambah beban perusahaan. Selain itu, beban perusahaan juga bertambah akibat pelemahan nilai tukar rupiah.
Kemudian, sebagian besar industriawan (94 persen) memilih untuk mempertahankan tenaga kerja yang sudah ada. Salah satu faktor penyebab terbatasnya penciptaan lapangan kerja adalah kekhawatiran apakah tren positif ini bisa bertahan lama.
Sektor manufaktur Indonesia melesat pada Maret, ditopang oleh peningkatan permintaan domestik yang signifikan. Peningkatan permintaan membuat para supplier menyesuaikan harga. Dunia usaha pun menyerahkan tambahan beban itu kepada konsumen.
“Meski perusahaan yakin bahwa permintaan akan tetap tinggi, tetapi masih ada beberapa yang meragukan bahwa ini bisa bertahan dalam jangka waktu lama. Beberapa perusahaan bersiap untuk menambah pembelian bahan baku tetapi enggan untuk merekrut tenaga kerja baru,” papar Pollyana De Lima, Economics Associate Director S&P Global Market Intelligence.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Rabu 14 Februari 2024, optimismenya terhadap peningkatan realisasi investasi di sektor industri memberikan dampak yang luas bagi perekonomian nasional, termasuk dalam penambahan jumlah tenaga kerja. Pada periode tahun 2014--2023, capaian jumlah tenaga kerja di sektor industri pengolahan nonmigas cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2014, jumlah tenaga kerja di sektor industri manufaktur sebanyak 15,62 juta orang, dan naik menjadi 19,29 juta orang pada Agustus 2023. “Kecuali pada 2020, karena terjadi pandemi Covid-19, jumlah tenaga kerja terdampak mengalami penurunan. Namun, setelah pandemi berakhir, kinerja industri kembali berhasil bangkit dan terus tumbuh setiap tahunnya, sehingga jumlah penyerapan tenaga kerja juga ikut naik,” pungkas Menperin Agus.