KABARBURSA.COM – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami tekanan signifikan dalam beberapa bulan terakhir, dengan puncaknya terjadi pada perdagangan hari Selasa, 18 Maret 2025 kemarin ketika indeks anjlok hingga 7 persen dalam satu sesi.
Menanggapi fenomena ini, Pakar Ekonomi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengidentifikasi tiga faktor utama yang menyebabkan tekanan hebat terhadap pasar modal Indonesia.
"Kami lihat penurunan indeks ini kan sudah mulai terjadi sejak 6 bulan yang lalu ya, konsisten mengalami penurunan gitu. Kemudian satu hari kemarin itu betul-betul penurunan yang sangat dramatis," kata Wijayanto dalam tayangan eksklusif program Bursa Pagi-Pagi pada Rabu, 19 Maret 2025.
Menurut Wijayanto, faktor pertama adalah kondisi fundamental ekonomi domestik yang kurang menggembirakan.
“Data realisasi APBN Februari yang berada di bawah ekspektasi menimbulkan kekhawatiran terhadap outlook fiskal tahun ini, yang diperkirakan akan semakin berat," ucap dia.
Selain itu, dalam empat bulan terakhir, kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah diklaim lebih bersifat besar dan bombastis, namun dinilai kurang realistis karena tidak didukung oleh basis teknokrasi yang memadai.
Wijayanto juga menyoroti kekhawatiran pasar terhadap potensi penurunan peringkat utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat global.
“Dalam waktu dekat, Moody’s dan Fitch dijadwalkan merilis hasil pemeringkatan kredit Indonesia pada April, disusul oleh S&P pada Juni-Juli. Jika outlook fiskal dianggap semakin melemah, bukan tidak mungkin peringkat kredit kita akan mengalami penurunan, yang tentunya berdampak pada arus investasi ke dalam negeri,” papar dia.
Faktor kedua yang berperan dalam tekanan IHSG adalah kondisi global, khususnya tren rebalancing aset yang dilakukan oleh investor besar dunia, termasuk hedge fund.
Saat ini, investor global tengah melakukan reposisi aset sebagai respons terhadap kebijakan ekonomi Amerika Serikat di bawah skenario Trump 2.0. "Mereka cenderung memindahkan dana ke aset yang dianggap lebih aman, sementara Indonesia dipersepsikan mengalami peningkatan risiko,” jelas Wijayanto.
Sementara itu, faktor ketiga berasal dari dinamika di dalam pasar modal itu sendiri, khususnya terkait aksi korporasi yang dianggap menciptakan ketidakpastian.
“Dalam beberapa hari terakhir, terjadi gelombang aksi buyback saham yang menyebabkan lonjakan harga secara drastis," katanya.
Beberapa emiten bahkan mengalami kenaikan harga hingga tiga atau empat kali lipat dalam waktu singkat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran investor terkait potensi irregularities di pasar.
Profit-Taking Dan Rebalancing
Namun, Wijayanto juga menambahkan bahwa kondisi ini tidak sepenuhnya negatif bagi investor. Sebagian besar hedge fund asing yang tengah menarik dananya dari Indonesia melihat fenomena ini sebagai peluang. "Mereka memanfaatkan momentum untuk melakukan profit-taking dan rebalancing aset mereka di tengah volatilitas yang tinggi,” katanya.
Menurutnya, kombinasi ketiga faktor tersebut yakni fundamental ekonomi yang melemah, tekanan global akibat rebalancing aset, serta ketidakpastian di dalam pasar modal berkontribusi terhadap kejatuhan IHSG dalam beberapa waktu terakhir.
Kemudian, fenomena yang terjadi pada Selasa kemarin mencerminkan tekanan yang telah terakumulasi selama enam bulan terakhir dan mencapai puncaknya dalam satu hari perdagangan.
Dengan kondisi pasar yang masih bergejolak, investor disarankan untuk tetap waspada terhadap perkembangan kebijakan domestik maupun global yang dapat berdampak pada pasar modal Indonesia dalam beberapa bulan ke depan.
Pada perdagangan kemarin, Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat memberlakukan trading halt setelah IHSG anjlok lebih dari 5 persen dalam satu sesi. Indeks sempat menyentuh level terendah di 6.011,84 sebelum akhirnya ditutup melemah 3,84 persen ke level 6.223,39.
Langkah penghentian sementara ini dilakukan untuk meredam volatilitas pasar, seiring tekanan jual besar-besaran yang terjadi di berbagai sektor, terutama teknologi yang anjlok hampir 10 persen. Meskipun perdagangan kembali dilanjutkan, aksi jual masih mendominasi hingga akhir sesi.
Alami Tekanan Signifikan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kepercayaan investor terhadap pemerintah tetap kuat, meskipun pasar saham mengalami tekanan yang cukup signifikan.
Setelah perdagangan saham dihentikan sementara selama 30 menit, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru merosot lebih dalam, turun 389,39 poin atau 6,02 persen ke level 6.082,56. Namun, di tengah kondisi tersebut, Sri Mulyani memaparkan hasil positif dalam lelang Surat Utang Negara (SUN) pekan ini, dengan total penawaran masuk (incoming bid) mencapai Rp61,75 triliun, atau 2,38 kali lipat dari target indikatif Rp26 triliun.
Bendahara negara itu menyatakan bahwa tingginya penawaran ini mencerminkan kepercayaan investor terhadap pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
“Penawaran yang masuk atau kita sering sebut incoming bid sangat kuat. Ini artinya kepercayaan investor masih kuat terhadap pemerintah dan APBN. Kalau mereka tidak percaya, mereka tentu tidak ikut dalam incoming bid,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada Selasa 18 Maret 2025. (*)