KABARBURSA.COM – Laporan keuangan PT Atlas Resources Tbk (ARII) yang mencatat laba bersih signifikan pada 2024 dan kuartal I 2025 menarik perhatian pelaku pasar. Meski mencetak laba jumbo, sumber utama keuntungan ARII justru bukan dari penjualan batu bara melainkan dari pos “pendapatan lain-lain”. Kondisi ini menimbulkan perdebatan: peluang atau justru sinyal bahaya?
Pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi menilai fenomena seperti ini bukan hal langka di pasar modal. Menurutnya, banyak emiten publik yang secara struktur bisnis sudah terintegrasi dengan anak perusahaan—dan kontribusi keuangan dari unit-unit usaha ini bisa menciptakan surplus dari luar bisnis inti.
“Semua perusahaan yang sudah TBK di bursa pasti punya anak perusahaan. Strateginya memang seperti itu. Contohnya seperti Antam, dia nggak hanya main emas tapi juga nikel, batu bara, dan lainnya,” ujar Ibrahim kepada KabarBursa.com, Sabtu 21 Juni 2025.
Menurutnya, pos “pendapatan lain-lain” tidak selalu mencerminkan sumber yang tidak sehat. Bisa jadi, itu berasal dari lini usaha anak perusahaan yang masih satu grup, misalnya penyedia jasa logistik internal, supplier, atau investasi ke sektor lain yang masih mendukung bisnis utama.
Laba Non-Operasional: Sah Tapi Perlu Waspada
Menanggapi laporan keuangan ARII, Ibrahim menilai kondisi ini masih dalam kategori wajar, asalkan investor memahami konteks bisnis grup secara menyeluruh.
“Kalau labanya besar dari pos lain-lain, bisa saja itu kontribusi dari anak perusahaan. Tapi memang perlu dicermati juga, jangan sampai terlalu bergantung ke luar bisnis utamanya. Karena kalau bisnis utama seperti batu bara sedang lesu, otomatis jadi berisiko,” jelasnya.
Ibrahim menambahkan, pada kuartal pertama 2025, harga batu bara memang belum optimal. Namun, ia memproyeksikan tren perbaikan pada kuartal kedua dan ketiga seiring dengan permintaan dari Tiongkok yang terdorong oleh cuaca ekstrem dan peningkatan kebutuhan energi.
Investor Fokus ke Laba, Bukan Sumbernya
Menariknya, menurut Ibrahim, mayoritas investor ritel di pasar modal saat ini belum cukup kritis dalam membedakan sumber laba. Selama laporan keuangan menunjukkan EPS (earning per share) yang naik dan rasio keuangan terlihat sehat, pasar cenderung merespons positif.
“Investor itu lihatnya fundamental saja. EPS bagus, harga saham naik, ya mereka anggap itu bagus. Jarang yang benar-benar bongkar laporan keuangan secara detail. Padahal dari mana labanya berasal itu penting,” ungkapnya.
Meski demikian, ia menilai kondisi seperti yang dialami ARII bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi investor oportunis, terutama jika perusahaan mampu mempertahankan profitabilitas di tengah tekanan harga komoditas.
Ibrahim juga menjelaskan bahwa strategi grup perusahaan seringkali menyiasati pembagian keuntungan secara menyeluruh. Meski dividen untuk investor mungkin terlihat kecil secara nominal, nilai akumulatifnya tetap besar jika seluruh anak perusahaan memberikan kontribusi yang sehat.
“Dividen kelihatannya kecil, tapi jangan lupa ini hasil akumulasi. Jadi strategi pembagian nilai dalam grup itu memang nggak bisa dilihat dari satu sudut saja,” tegasnya.
Pada akhirnya, menurut Ibrahim, laporan keuangan dengan laba dari pos lain-lain memang sah secara akuntansi dan bisa dimaklumi secara strategi bisnis. Namun, tetap saja investor harus hati-hati jika proporsi pendapatan non-operasional terlalu dominan dan bisnis utama justru stagnan.
“Ya sah-sah saja. Tapi tetap harus waspada. Kalau yang besar bukan dari core business, itu sinyal hati-hati. Bisa jadi nggak sustain kalau kondisi pasar berubah,” tutupnya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.