Logo
>

Vale Lirik Nikel Hijau, Bisa Menghemat Biaya Produksi

Ditulis oleh KabarBursa.com
Vale Lirik Nikel Hijau, Bisa Menghemat Biaya Produksi

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - PT Vale Indonesia Tbk (INCO) menyatakan bahwa biaya produksi nikel yang berkelanjutan (sustainable) atau nikel hijau (green nickel) sebenarnya dapat lebih hemat dibandingkan dengan produksi nikel dengan skema business as usual (BAU) atau ditopang energi berbasis batu bara. Bayu Aji, Senior Manager Communication PT Vale Indonesia, menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena ada pemangkasan biaya untuk energi yang menyumbang sekitar 30 persen dari total biaya produksi.

    Vale Indonesia mengadopsi energi bersih dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang menghasilkan energi dengan biaya rendah sekitar Rp25 per kilowatt hour (kWh). Meskipun investasi awal dalam PLTA membutuhkan dana besar, namun harga tersebut mengalami depresiasi seiring waktu, sehingga biaya energi yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan energi bersih dapat mengurangi biaya produksi nikel secara signifikan dalam jangka panjang.

    “Kita bangun PLTA sejak 1968, sekarang sudah 55 tahun. Kalau dibandingkan, biaya produksi rendah sekali. PLN misalnya menghasilkan 1 kWh dijualnya Rp1.400, biaya produksi Rp900. Sementara biaya produksi kita Rp25 per kWh. Can you imagine? Jauh sekali,” ujar Bayu, Senin 1 April 2024, petang.

    “Penghasil nikel dengan biaya produksi paling rendah di Indonesia karena kita pakai PLTA. Itu biaya investasi di awal memang besar sekali, jutaan dolar. Namun, sekarang kita jadi produsen nikel dengan biaya produksi paling rendah di Indonesia” tambahnya.

    Bagaimanapun, Bayu tidak menampik bahwa keseluruhan investasi tambahan untuk produksi nikel hijau masih cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan skema BAU. Apalagi, perseroan mengalokasikan sejumlah dana tambahan sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap lingkungan.

    Adapun, Vale Indonesia setidaknya mengalokasikan biaya untuk pertambangan sebesar 53 persen dan 47 persen khusus untuk lingkungan. “[Sebanyak] 25 persen itu sebelum menambang, 22 persen setelah menambang berupa penanaman pohon.”

    Kendati demikian, biaya operasional harus dilihat sebagai sebuah hal yang komprehensif, karena investasi pada lingkungan bisa dilihat sebagai salah satu bentuk mitigasi risiko untuk mencegah munculnya bencana seperti tanah longsor serta menjaga kualitas air agar tetap bersih.

    Prospek Nikel Hijau

    Meski demikian, Bayu tidak dapat memberikan penjelasan yang pasti mengenai prospek nikel hijau ke depannya. Menurutnya, hal tersebut sangat bergantung pada permintaan dari investor dan pembeli.

    Sementara itu, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menganggap pengembangan nikel hijau di Indonesia akan sangat tergantung pada upaya Pemerintah Indonesia untuk menerapkan prinsip environmental, social, and governance (ESG), terutama dalam pengaturan penggunaan batu bara untuk menghasilkan energi yang lebih bersih.

    Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey, menyatakan bahwa selama ini nikel Indonesia sering dianggap menghasilkan energi kotor karena diproses menggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara. Namun, hal ini dilakukan karena pabrik pengolahan nikel membutuhkan energi dalam jumlah besar, dan saat ini energi dengan kapasitas besar di Indonesia masih banyak yang diperoleh dari batu bara.

    “Contoh kalau satu line [di smelter nikel] itu butuh 30—50 megawatt, mau ambil dari mana selain batu bara? Bagaimana untuk nikel hijau ke depannya? Itu kembali ke pemerintah dalam menerapkan ESG. Itu tidak jalan kalau governance belum proper. Sebab, governance akan melakukan langkah regulasi untuk environmental dan social,” ujar Meidy saat dihubungi baru-baru ini.

    Meskipun demikian, Meidy tidak menyangkal adanya perbandingan biaya produksi antara nikel hijau dan nikel biasa dengan skema BAU, di mana nikel yang diproduksi di Indonesia lebih kompetitif daripada nikel hijau atau nikel premium yang banyak dihasilkan oleh negara-negara Barat. Namun, dia tidak dapat memberikan kalkulasi nilai secara lengkap mengenai perbandingan biaya produksi kedua jenis nikel tersebut, karena hal itu sangat tergantung pada jenis teknologi yang digunakan.

    Meidy juga menekankan bahwa setiap wilayah memiliki biaya produksi yang berbeda tergantung pada kondisi yang ada, termasuk keterlibatan masyarakat di daerah tambang nikel. Dia menjelaskan bahwa rata-rata biaya produksi seluruh tambang adalah sekitar US$25 per ton di luar royalti 10 persen yang dibayarkan kepada negara. Sementara itu, biaya produksi nikel pig iron (NPI) rata-rata adalah sekitar US$9.000 hingga US$10.000 per ton di Indonesia.

    Adapun, 'nikel hijau' atau juga dikenal sebagai nikel berkelanjutan, diproduksi dengan menerapkan praktik penambangan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Hal ini termasuk penggunaan energi terbarukan untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga batu bara atau minyak, serta pengurangan dan pengolahan limbah khususnya dalam proses hidrometalurgi dan remediasi air. Tambang 'nikel hijau' juga berkomitmen untuk berkolaborasi dengan masyarakat lokal dalam isu-isu sosial, dengan tujuan memastikan bahwa kegiatan pertambangan memberikan manfaat bagi masyarakat melalui kesempatan kerja, pelatihan, dan pengembangan keterampilan.

    Namun, nikel jenis ini masih sulit untuk mendapatkan harga premium di pasar karena biaya produksinya yang tidak efisien jika dibandingkan dengan nikel-nikel yang diproduksi di Indonesia. Di tengah desakan dari banyak penambang global untuk mengurangi dominasi nikel murah dari Indonesia dan China, London Metal Exchange (LME) memberi sinyal bahwa pasar nikel premium ramah lingkungan atau 'green nickel' masih belum cukup besar untuk menjamin kontrak berjangka mereka sendiri. Ini merupakan pukulan bagi perusahaan tambang mineral global yang berharap mendapatkan harga premium bagi logam nikel yang mereka produksi dengan sistem ramah lingkungan.

    Sebelumnya, orang terkaya di Australia, Andrew Forrest, mendesak LME untuk membedakan klasifikasi antara nikel "kotor" dan "bersih" dalam perdagangan logamnya. Pernyataan tersebut dibuat setelah bisnis logam pribadinya mengumumkan penutupan tambang baru-baru ini. Forrest mengatakan bahwa LME harus mengklasifikasikan nikel berdasarkan emisi karbon, sehingga pelanggan dapat membuat pilihan mengenai produk yang mereka transaksikan.

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi