KABARBURSA.COM – Rencana peningkatan ambang batas kepemilikan saham publik (free float) menjadi 10 persen di pasar modal Indonesia menjadi sorotan Asosiasi Emiten Indonesia (AEI).
Direktur Eksekutif AEI Gilman Pradana Nugraha menyebut kebijakan ini bisa mendorong likuiditas pasar dan meningkatkan daya tarik investor global, namun tetap perlu masa transisi agar emiten siap memenuhi ketentuan baru.
“Kami ingin likuiditas pasar lebih baik. Investor global juga lebih nyaman kalau likuiditasnya besar,” ujar Gilman Pradana Nugraha di BEI dikutip Rabu, 24 September 2025.
Isu peningkatan porsi saham publik atau free float sebenarnya sudah mulai muncul sejak BEI melakukan revisi Peraturan Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas pada akhir 2021. Saat itu, BEI memperkenalkan persyaratan minimum kepemilikan publik agar perusahaan tetap tercatat di papan utama. Ketentuan tersebut mulai diterapkan penuh pada Desember 2023, dengan batas awal 7,5 persen dari total saham beredar dan minimal 50 juta saham dimiliki publik.
Seiring berjalannya waktu, pembahasan untuk menaikkan ambang batas free float menjadi 10 persen kembali mengemuka pada 2025 sebagai respons atas kebutuhan memperkuat likuiditas dan meningkatkan kenyamanan investor institusi besar yang selama ini menuntut kemudahan masuk dan keluar dari suatu saham.
Menurut Gilman, kebijakan menaikkan free float dari level saat ini menuju 10 persen diarahkan untuk menyelaraskan standar Indonesia dengan pasar regional yang lebih likuid. Dengan free float lebih tinggi, saham menjadi lebih mudah diperjualbelikan sehingga mengurangi risiko kesulitan keluar-masuk bagi investor institusi dengan tiket besar.
“Investor skala besar butuh kepastian likuiditas. Jangan sampai bisa masuk tapi sulit keluar karena free float kecil,” jelasnya.
AEI mencatat saat ini terdapat sekitar 40 hingga 50 perusahaan yang belum memenuhi ketentuan free float yang berlaku. Jika ambang batas dinaikkan ke 10 persen, jumlah perusahaan yang tidak memenuhi dapat meningkat sehingga perlu solusi yang matang. Karena itu AEI bersama bursa dan pemangku kepentingan sedang menggodok mekanisme masa transisi.
“Ada masa transisi, ada masa inkubasi. Kita bantu anggota untuk menyesuaikan,” kata Gilman.
Gilman menegaskan pihaknya tengah mengadakan diskusi intensif dengan BEI, asosiasi, serta komite internal untuk merumuskan langkah-langkah pendukung. Proses tersebut juga akan melibatkan forum diskusi grup (FGD), public hearing, dan pengumpulan masukan pelaku pasar agar kebijakan dapat berjalan lancar.
Di sisi lain, Gilman menilai fenomena meningkatnya aktivitas backdoor listing dan penawaran umum berkelanjutan (PUBX) juga menjadi bagian dari dinamika pasar modal yang normal. Menurutnya, setiap calon emiten memiliki strategi berbeda dalam memilih metode masuk ke bursa, baik IPO maupun backdoor listing, selama tetap sesuai ketentuan.
“Pasar ini terbuka. Mau IPO langsung atau lewat backdoor itu boleh saja selama sesuai aturan,” ujarnya.
AEI menekankan pentingnya keterbukaan informasi dan mekanisme pengawasan bursa seperti Unusual Market Activity (UMA), suspensi perdagangan, dan pemantauan lanjut. Instrumen tersebut dinilai krusial menjaga transparansi dan melindungi investor, terutama saat terjadi lonjakan harga saham yang tidak disertai pengumuman resmi aksi korporasi.
Dengan kebijakan peningkatan free float 10 persen yang sedang dipersiapkan, AEI berharap likuiditas pasar modal Indonesia semakin kuat, kepercayaan investor domestik dan global meningkat, dan seluruh emiten dapat menyesuaikan diri sesuai ketentuan baru.(*)