KABARBURSA.COM – Wall Street ditutup menguat pada perdagangan Sabtu, 7 Juni 2025, dini hari WIB, setelah laporan ketenagakerjaan yang dirilis menunjukkan hasil lebih baik dari perkiraan.
Kenaikan terjadi secara merata di seluruh sektor, mendorong indeks S&P 500 mencatatkan penguatan mingguan dua kali berturut-turut. Indeks acuan ini telah pulih dari koreksi dua bulan lalu dan kini hanya terpaut 2,3 persen dari rekor tertingginya.
S&P 500 naik 61,06 poin atau 1 persen ke level 6.000,36.
Indeks Dow Jones Industrial Average menguat 443,13 poin atau 1 persen ke posisi 42.762,87. Sementara Nasdaq naik 231,50 poin atau 1,2 persen ke 19.529,95.
Saham-saham teknologi memimpin reli berkat kapitalisasi pasar yang besar. Saham Nvidia naik 1,2 persen, sementara Apple melonjak 1,6 persen.
Tesla juga menguat 3,7 persen, menutup sebagian kerugian besar pada perdagangan Kamis usai perang komentar antara Donald Trump dan Elon Musk di media sosial.
Saham Circle Internet Group, penerbit stablecoin asal AS, melejit 29,4 persen. Kenaikan ini memperpanjang lonjakan 168 persen sejak debutnya di Bursa New York pada Kamis kemarin.
Dari sisi ekonomi, laporan ketenagakerjaan menunjukkan bahwa perusahaan AS menambah 139.000 pekerjaan baru bulan lalu, angka yang dianggap masih solid di tengah ketidakpastian akibat perang dagang Presiden Donald Trump. Pasar kerja dinilai tetap tangguh, meskipun ada kekhawatiran dari pelaku usaha dan konsumen soal dampak tarif terhadap ekspor dan impor AS.
“Sejauh ini kelihatannya semuanya masih berjalan lancar,” kata Chris Zaccarelli, Chief Investment Officer Northlight Asset Management, dikutip dari AP di Jakarta, Sabtu.
“Investor melihat ini sebagai hal positif, meski dampak penuh dari tarif belum sepenuhnya terlihat," tambahnya.
Namun, kebijakan tarif yang berubah-ubah dari Presiden Trump tetap menjadi bayang-bayang bagi dunia usaha. Saham Lululemon Athletica anjlok 19,8 persen setelah perusahaan memangkas proyeksi laba pada Kamis malam. Produsen pakaian yoga ini mengaku tertekan oleh tarif dan kompetisi dari merek-merek baru yang agresif masuk pasar.
Lululemon bukan satu-satunya. Banyak perusahaan lain, dari sektor ritel hingga maskapai penerbangan, mulai mengingatkan investor bahwa kenaikan tarif bisa memangkas pendapatan dan laba, serta membuat konsumen lebih berhati-hati dalam belanja.
Harapan bahwa Trump akan menurunkan tarif setelah tercapainya kesepakatan dagang dengan negara lain menjadi salah satu faktor utama pemulihan tajam di S&P 500—yang sempat ambles 20 persen dari rekor dua bulan lalu.
Pada Senin mendatang, pejabat senior pemerintah AS dijadwalkan bertemu dengan delegasi Tiongkok di London dalam putaran baru perundingan dagang Washington–Beijing.
Perekonomian AS saat ini sudah mulai merasakan dampak dari tarif impor atas berbagai jenis barang dari negara mitra dagang utama, termasuk bahan baku seperti baja. Jika beban tarif ditambah lagi dalam beberapa bulan ke depan, tekanan terhadap dunia usaha dan konsumen bisa makin berat.
Ekonomi AS bahkan telah mencatat kontraksi pada kuartal pertama tahun ini. Survei terbaru dari Institute for Supply Management (ISM), asosiasi manajer pembelian di Amerika, menunjukkan bahwa baik sektor manufaktur maupun jasa mengalami kontraksi pada bulan lalu.
Lembaga Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS. Dalam laporan Selasa lalu, OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS hanya akan mencapai 1,6 persen tahun ini—turun tajam dibanding 2,8 persen pada tahun 2024.
Situasi yang tidak pasti ini menempatkan bank sentral AS, The Federal Reserve, dalam posisi yang serba rumit.
“Kalau melihat semua faktor yang ada, jelas The Fed sedang dalam posisi menunggu,” ujar Chris Zaccarelli.
The Fed saat ini mempertahankan suku bunga acuannya tetap, sambil mencermati potensi tarif sebagai pemicu baru inflasi. Sebelumnya, bank sentral telah menaikkan suku bunga secara bertahap untuk menurunkan inflasi ke target 2 persen. Saat ini, inflasi sudah melandai dan stabil sedikit di atas target tersebut.(*)