KABARBURSA.COM – Wall Street menutup perdagangan akhir pekan, Sabtu, 19 Juli 2025, dini hari WIB, dengan gerak cenderung stagnan. Hal ini menandai akhir dari pekan ketiga yang positif dalam empat pekan terakhir.
Namun, sinyal kehati-hatian mulai terasa, seiring munculnya tekanan dari laporan keuangan emiten dan ekspektasi kebijakan suku bunga The Fed yang kian membelah pasar.
Dilansir dari AP di Jakarta, Sabtu, Indeks S&P 500 hanya melemah tipis—kurang dari 0,1 persen—setelah menyentuh rekor tertinggi sehari sebelumnya. Nasdaq justru menguat sedikit dan mencatat rekor baru, sementara indeks Dow Jones turun 142 poin (0,3 persen).
Saham Norfolk Southern melonjak 2,5 persen menyusul laporan bahwa perusahaan tengah menjajaki merger dengan Union Pacific. Jika terwujud, penggabungan ini akan menciptakan perusahaan rel terbesar di Amerika Utara, menghubungkan pantai timur dan barat. Namun, rencana ini diyakini akan menghadapi tantangan regulasi yang serius. Di sisi lain, saham Union Pacific justru melemah 1,2 persen.
Di sektor teknologi, Netflix mencatat penurunan tajam sebesar 5,1 persen, meski berhasil membukukan laba di atas ekspektasi. Koreksi ini terjadi setelah harga sahamnya melonjak 43 persen sepanjang tahun—enam kali lebih tinggi dari kenaikan S&P 500—sehingga investor tampak mengambil untung. American Express juga mengalami nasib serupa: kinerja kuartal positif, tapi saham turun 2,3 persen karena kekhawatiran atas perlambatan pertumbuhan kartu kredit.
Sementara itu, Exxon Mobil terkoreksi 3,5 persen setelah arbitrase internasional di Paris mengizinkan Chevron melanjutkan akuisisi Hess senilai USD53 miliar. Chevron juga ikut melemah 0,9 persen.
Sebagian saham sektor keuangan berhasil mencuri perhatian: Charles Schwab naik 2,9 persen, Regions Financial melesat 6,1 persen, dan Comerica menguat 4,6 persen.
Pasar obligasi menunjukkan pergerakan positif. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun turun ke 4,42 persen dari 4,47 persen, setelah survei awal Universitas Michigan menunjukkan ekspektasi inflasi konsumen setahun ke depan melandai ke 4,4 persen—turun dari 5 persen di bulan sebelumnya.
Direktur survei, Joanne Hsu, menyatakan bahwa pemulihan kepercayaan konsumen masih tertahan, dan sangat bergantung pada kepastian bahwa inflasi tidak akan memburuk. Stabilitas kebijakan perdagangan disebut menjadi faktor penting dalam menenangkan pasar.
Yield obligasi dua tahun, yang lebih sensitif terhadap kebijakan The Fed, juga turun menjadi 3,87 persen dari 3,91 persen.
Sinyal dari The Fed
Gubernur The Fed, Chris Waller, menyatakan bank sentral seharusnya mulai memangkas suku bunga acuan pada pertemuan selanjutnya beberapa pekan ke depan. Pernyataan ini muncul tak lama setelah Presiden Donald Trump kembali mengkritik The Fed karena dinilai terlalu lambat menurunkan bunga.
Trump mendorong pemangkasan suku bunga untuk mendukung ekonomi dan mengurangi beban bunga utang pemerintah. Namun, langkah ini masih diperdebatkan karena bisa memicu inflasi—terutama jika harga barang terdampak kenaikan tarif impor yang baru saja diberlakukan Trump.
Ketua The Fed sendiri menyatakan bahwa pihaknya masih menanti data tambahan terkait dampak tarif terhadap inflasi sebelum mengambil keputusan.
Data CME Group menunjukkan bahwa pelaku pasar kini lebih yakin pemangkasan suku bunga baru akan dilakukan pada September, bukan akhir bulan ini.
Di luar Amerika, bursa global bergerak campuran. Hang Seng di Hong Kong naik 1,3 persen, sementara Nikkei 225 di Jepang terkoreksi 0,2 persen menjelang pemilu majelis tinggi parlemen pada Minggu yang berpotensi mengguncang dominasi koalisi penguasa.(*)
 
      