KABARBURSA.COM – Setelah reli yang nyaris menyentuh rekor tertingginya, bursa saham Amerika Serikat akhirnya goyah. Dilansir dari AP di Jakarta, Rabu, 21 Mei 2025, indeks S&P 500 melemah 0,4 persen pada Selasa waktu setempat atau Rabu dini hari WIB.
Ini merupakan penurunan pertama dalam sepekan terakhir. Meski begitu, posisinya masih bertahan hanya sekitar 3,3 persen dari rekor sepanjang masa.
Dow Jones Industrial Average juga ikut tergelincir, kehilangan 114 poin atau turun 0,3 persen. Sementara Nasdaq Composite menyusut 0,4 persen. Di balik koreksi ini, ada sejumlah kekhawatiran yang mulai menyelinap ke lantai bursa.
Pasar surat utang pemerintah dan dolar AS masih cenderung stabil, meski sempat terguncang sehari sebelumnya setelah Moody’s menurunkan peringkat kredit AS dari level tertinggi. Alasan penurunannya karena Kekhawatiran terhadap utang pemerintah yang kian menumpuk.
Saham-saham pariwisata menjadi penyumbang kerugian terbesar di Wall Street. Airbnb turun 3,3 persen, Norwegian Cruise Line jeblok 3,9 persen, dan United Airlines merosot 2,9 persen. Bahkan Viking Holdings yang sebenarnya mencatatkan kinerja kuartalan lebih baik dari ekspektasi analis, tetap tertekan dan harus merelakan sahamnya turun 5 persen.
Home Depot, perusahaan ritel perbaikan rumah, juga tak luput dari sentimen negatif. Laba mereka sedikit di bawah ekspektasi meskipun pendapatan melampaui proyeksi.
Alhasil, sahamnya turun tipis 0,6 persen. Namun Home Depot masih yakin dengan proyeksi setahun penuh—suatu hal yang mulai jarang terdengar dari korporasi besar akhir-akhir ini.
Maklum, ketidakpastian akibat kebijakan tarif dan arah ekonomi membuat banyak perusahaan tak berani memberi gambaran masa depan. Presiden Donald Trump memang sempat memberlakukan tarif tinggi pada mitra dagangnya, lalu mencabut sebagian secara sepihak.
Investor berharap Trump bakal menurunkan tarif lebih jauh setelah mencapai kesepakatan dagang, tapi hingga kini belum ada jaminan.
Ada Harapan di Dunia Kuantum
Di tengah sentimen negatif, satu nama tampil mencolok: D-Wave Quantum.
Perusahaan ini melesat 25,9 persen setelah merilis sistem komputasi kuantum terbarunya yang diklaim mampu menyelesaikan persoalan kompleks yang tak terjangkau komputer klasik.
Secara keseluruhan, indeks S&P 500 ditutup di level 5.940,46 poin setelah turun 23,14 poin. Dow Jones terkoreksi ke 42.677,24, dan Nasdaq berada di 19.142,71.
Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun naik tipis ke 4,47 persen. Untuk tenor dua tahun—yang lebih sensitif terhadap ekspektasi kebijakan The Fed—turun tipis ke 3,96 persen.
Meskipun ekonomi AS sejauh ini masih cukup tangguh, kekhawatiran tetap ada. Jika resesi benar-benar datang, ruang fiskal pemerintah bisa jadi sempit untuk menyokong ekonomi seperti saat krisis sebelumnya.
Pasalnya, utang pemerintah AS kini jauh lebih besar, dan rencana pemangkasan pajak yang tengah dibahas di Washington hanya akan memperparah kondisi ini.
Risiko Resesi Lebih Dalam
Jika pemerintah AS kehilangan ruang fiskal untuk menyokong ekonomi, dampaknya bisa berlipat. Resesi berikutnya bukan cuma datang lebih cepat, tapi bisa juga lebih dalam dan berlangsung lebih lama. Hal ini disampaikan oleh James Egelhof,
Kepala Ekonom AS dari BNP Paribas, bersama sejumlah analis lainnya. Mereka menilai, beban penyangga ekonomi bisa sepenuhnya jatuh ke tangan Federal Reserve (The Fed) lewat jalur suku bunga.
Sementara The Fed masih menahan diri, bank sentral di negara lain justru sudah mulai tancap gas. Bank Sentral China, misalnya, baru saja memangkas suku bunga acuan pinjamannya (Loan Prime Rate)—pertama kalinya dalam tujuh bulan terakhir. Ini jadi kabar baik bagi investor yang haus stimulus tambahan, terutama di tengah tekanan tarif dari Donald Trump yang kian terasa bagi ekonomi terbesar kedua di dunia.
Menurut laporan Zichun Huang dari Capital Economics, penurunan ini kemungkinan besar belum akan jadi yang terakhir sepanjang tahun ini.
Tak ketinggalan, Bank Sentral Australia juga ikut menurunkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin, menjadi 3,85 persen. Ini adalah pemangkasan kedua tahun ini setelah sebelumnya dilakukan pada Februari—yang merupakan pemangkasan pertama sejak Oktober 2020.
Penilaian mereka sederhana: inflasi sudah mulai sesuai target, jadi ruang pelonggaran kebijakan terbuka lebar.
Pasar Saham Dunia Merespons Positif
Setelah gelombang pelonggaran suku bunga ini, indeks saham di berbagai belahan dunia ikut terdongkrak.
Indeks Hang Seng Hong Kong melesat 1,5 persen—jadi salah satu lonjakan terbesar di kawasan Asia.
Sementara itu, euforia juga datang dari debut perdagangan saham CATL, produsen baterai listrik terbesar di dunia. Perusahaan ini berhasil mengantongi dana segar sekitar USD4,6 miliar dari penawaran umum perdana (IPO)—yang langsung dinobatkan sebagai IPO terbesar sepanjang tahun ini. Saham CATL melonjak 16,4 persen saat debut di Hong Kong.
Tak cuma itu, saham CATL yang diperdagangkan di bursa Shenzhen—yang ukurannya lebih kecil dari Shanghai—juga ikut naik 1,2 persen, meski sempat melemah di awal sesi.(*)