KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup perdagangan pekan lalu atau 25 Juli 2025 dengan kenaikan moderat sebesar 0,17 persen ke level 7.543.
Meskipun tampak tipis secara harian, posisi tersebut mencerminkan lonjakan 231 poin dibanding penutupan pekan sebelumnya. Aksi beli bersih asing juga turut mendukung sentimen positif, dengan total net buy sebesar 6 juta dolar AS di pasar ekuitas sepanjang minggu terakhir.
Di tengah dinamika pasar global yang terus bergejolak, PT Ashmore Asset Management Indonesia dalam Weekly Commentary-nya memetakan perkembangan penting dari dalam dan luar negeri yang memengaruhi kinerja pasar saham dan obligasi, sekaligus menyampaikan pandangan optimistis atas potensi penguatan obligasi pemerintah Indonesia, terutama dalam denominasi dolar AS, seiring arah kebijakan The Federal Reserve (The Fed) yang dinilai akan segera berbalik haluan ke pemangkasan suku bunga.
Selama sepekan, sektor teknologi dan infrastruktur mencatat kinerja paling impresif, masing-masing melonjak sebesar 14,41 persen dan 7,20 persen. Penguatan ini dinilai selaras dengan meningkatnya minat investor terhadap saham-saham berbasis digitalisasi, termasuk sektor konstruksi dan layanan transportasi publik yang tengah menggeliat.
Di sisi lain, sektor kesehatan dan energi menjadi pemberat indeks. Keduanya masing-masing terkoreksi 1,38 persen dan 0,45 persen, mencerminkan pergeseran fokus pelaku pasar dari saham-saham defensif ke saham siklikal yang berpotensi tumbuh pesat di tengah tren suku bunga rendah.
Pasar Global Variatif: Nikkei dan Batu Bara Naik, Bitcoin dan CPO Terkoreksi
Di kancah global, indeks saham Nikkei Jepang menjadi yang paling cemerlang dengan kenaikan 4,11 persen, disusul oleh harga batu bara yang naik 3,36 persen. Kinerja positif ini mencerminkan respons pasar yang mulai menghargai stabilisasi ekonomi Asia Timur pasca gejolak ketegangan dagang dan sinyal pelonggaran moneter lanjutan.
Namun, tidak semua aset menguat. Bitcoin melemah 1,05 persen dalam sepekan terakhir, menyusul aksi ambil untung investor institusi. Sementara itu, harga Crude Palm Oil (CPO) juga mengalami penurunan 0,96 persen akibat kekhawatiran perlambatan permintaan global dan surplus produksi di kawasan Asia Tenggara.
AS: Klaim Pengangguran Turun, Tapi Tanda-Tanda Pelemahan Muncul
Dari Amerika Serikat, pasar masih dibayangi sinyal ganda. Di satu sisi, data klaim pengangguran awal menunjukkan penurunan selama enam pekan berturut-turut, mencerminkan pasar tenaga kerja yang masih solid. PMI komposit juga mencatatkan laju ekspansi tercepat sejak Desember 2024, didorong sektor jasa.
Namun Ashmore mencatat bahwa di balik angka utama tersebut, terdapat indikator yang mengkhawatirkan. Outstanding claims yang tinggi menunjukkan bahwa meski klaim awal menurun, proses rekrutmen berjalan lambat. Tak hanya itu, klaim awal dari pegawai pemerintah melonjak ke level tertinggi dalam empat bulan terakhir, menyusul pembubaran Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) — sebuah langkah restrukturisasi fiskal yang memicu perdebatan di Washington.
ECB Tahan Suku Bunga, Inflasi Capai Target
Di Eropa, Bank Sentral Eropa (ECB) memilih untuk menahan suku bunga setelah sebelumnya melangsungkan beberapa kali pemangkasan. Keputusan ini diambil seiring dengan inflasi yang akhirnya kembali ke target 2 persen. Namun, pendekatan wait and see masih mendominasi, mengingat ketidakpastian geopolitik dan kebijakan perdagangan lintas Atlantik.
Rilis data PMI kawasan Eropa juga menunjukkan kekuatan baru. PMI jasa dan manufaktur mencatat angka yang melampaui ekspektasi, meskipun sektor manufaktur tetap berada di zona kontraksi. Di Jerman, indeks kepercayaan bisnis melonjak ke posisi tertinggi sejak Mei 2024, menandakan optimisme pelaku usaha meski ekonomi belum sepenuhnya pulih.
Asia: China Tahan Suku Bunga, Indonesia Cetak Pertumbuhan Uang Beredar
Di Asia, fokus tertuju pada kebijakan moneter China. Bank sentral China (PBoC) mempertahankan suku bunga pinjaman utama di level rendah historis, sesuai ekspektasi pasar. Tujuannya jelas: mendorong pertumbuhan konsumsi domestik yang tertekan akibat eskalasi tarif dan ketegangan dagang dengan AS.
Di Indonesia, jumlah uang beredar (M2) mengalami peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya, mencerminkan likuiditas yang mulai longgar pasca pemangkasan suku bunga Bank Indonesia. Meski demikian, investor mencermati gejala pemisahan antara indeks saham kapitalisasi besar dengan saham-saham likuiditas rendah yang memimpin reli.
Ashmore melihat bahwa meski The Fed kemungkinan besar akan menahan suku bunga dalam waktu dekat karena inflasi inti masih membandel, arah kebijakan jangka menengah mulai bergeser ke pelonggaran. Terlebih, adanya tekanan tambahan dari kesepakatan dagang baru yang berpotensi menaikkan harga konsumen.
Ashmore mengungkapkan bahwa yield obligasi USD Indonesia (INDON), khususnya dengan tenor pendek, mengalami penurunan signifikan. Kurva yield mengalami bull steepening, yang berarti obligasi tenor pendek memberikan imbal hasil tertinggi, didorong oleh ekspektasi penurunan suku bunga global.
Yield INDON tenor dua tahun tercatat turun ke level 4,2 persen, sementara yield US Treasury masih tinggi akibat kekhawatiran fiskal AS. "Yield USD tetap tinggi karena kekhawatiran fiskal, namun kami percaya bahwa yield INDON akan mendapat keuntungan saat The Fed mulai memangkas suku bunga," tulis Ashmore.
Kesepakatan Dagang Redakan Ketidakpastian Global
Ashmore juga menilai bahwa ketidakpastian kebijakan perdagangan mulai mereda. Indonesia, Jepang, dan Filipina telah mencapai kesepakatan tarif baru dengan AS, masing-masing menyepakati tarif rata-rata 19 persen dan membuka jalur perdagangan bebas untuk sejumlah komoditas. Kesepakatan lanjutan dengan Uni Eropa diprediksi akan diumumkan sebelum batas waktu 1 Agustus.
Sentimen ini turut memperkuat selera risiko investor global, terutama terhadap aset negara berkembang seperti obligasi Indonesia. Dengan stabilnya pasar pasca pemangkasan suku bunga BI dan meningkatnya minat pada aset berimbal hasil tinggi, pasar obligasi dinilai berpotensi menjadi tumpuan penguatan pasar keuangan nasional dalam semester kedua 2025.
Rekomendasi Ashmore: ADUFI dan ADUN Catat Return Menarik
Untuk investasi berbasis dolar AS, Ashmore merekomendasikan dua produk andalannya.
Pertama, ADUFI yakni reksa dana yang berfokus pada obligasi pemerintah Indonesia berdurasi pendek, mencatat return 4,09 persen secara year to date per 24 Juli 2025.
Kedua, ADUN reksa dana dengan strategi obligasi pemerintah berdurasi panjang, mencatat return 3,78 persen untuk periode yang sama.
Dengan kombinasi strategi durasi dan eksposur pada obligasi pemerintah, kedua produk ini dinilai mampu menghadirkan potensi keuntungan optimal di tengah perubahan arah kebijakan moneter global.(*)