KABARBURSA.COM - Mungkinkah Indonesia menjadi pusat ekonomi syariah dunia? Bukanlah pertanyaan asal lempar, tapi justru datang dari kegelisahan atas besarnya potensi yang belum sepenuhnya digarap.
Ekonom Kepala Center of Sharia Economic Development (CSED) INDEF, Abdul Hakam Naja melihat semua potensi di Indonesia mampu memenuhi indikator untuk menjadikan negara ini sebagai pusat ekonomi syariah
“Mestinya Indonesia memang berada di pusat menjadi pusat ekonomi syaria global,” ungkapnya dalam konferensi pers Arah Baru Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia Menjelang Muktamar IAEI 2025, Rabu 14 Maret 2025.
Berdasarkan data dari State of Global Islamic Economy Report (SGIE), Indonesia berhasil menduduki peringkat ke tiga Global Islamic Economy Indicator dibawah Malaysia dan Uni Emirate Arab (UEA).
Merujuk pada hal itu, Abdul mencoba memetakan 7 elemen ekosistem ekonomi syariah untuk melihat peluang Indonesia agar bisa menyalip Malaysia dann UEA agar bisa menduduki peringkat pertama sebagai pusat ekonomi syariah
“Pertama adalah di sektor Yield,” terangnya.
Sebagai informasi, dalam konteks indikator ekonomi syariah, "sektor yield" biasanya merujuk pada imbal hasil atau keuntungan yang diperoleh dari suatu investasi atau aset yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Istilah ini dipakai SGIE sebagai penilaian antara lain keuangan syariah, pariwisata ramah muslim, industri fesyen muslim, obat-obatan halal, kosmetik halal, dan produk makanan halal.
“Kalau di SGIE itu dibagi menjadi 6,” kata dia
Dari ke enam indikator tersebut, Abdul merasa Indonesia belum bisa secara maksimal mengoptimalkan sektor yield sebagai sebuah potensi.
Adapun agar Indonesia ke depan bisa menjadi pemimpin ekonomi syariah dalam waktu-waktu ke depan, menurut Abdul pemerintah perlu memaksilamkan ke enam indikator tersebut.
“Karena memang ini potensi yang belum dioptimal,” kata dia.
Kenapa sektor Yield di Indonesia belum bergerak?
Abdul mengatakan pertumbuhan sektor yield harus mendapatkan support dukungan dari sektor keuangan dan perbankan syariah.
“Jadi ini ayam sama telur nih,” (dua-duanya saling bergantung atau saling membutuhkan),” terang dia
Sementara, Abdul melihat pangsa pasar di sektor perbankan masih relatif kecil dalam sistem keuangan nasional, dengan sekitar 7 persen dari total perbankan dan 11 persen jika digabungkan dengan industri keuangan secara keseluruhan. Namun, pangsa pasar ini terbesar di industri keuangan, terutama di pasar modal.
Untuk diketahui, Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada akhir tahun 2024 total pasar modal syariah di Indonesia menunjukkan kinerja positif di tahun 2024.
Dari Pasar Modal Syariah, per 27 Desember 2024 Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) tercatat diposisi 213,86 atau tumbuh sebesar 0,57 persen, dengan nilai kapitalisasi pasar mencapai Rp6.759,54 triliun, atau tumbuh sebesar 9,98 persen.(*)
Jumlah saham syariah yang tercatat di BEI juga meningkat, mencapai 656 saham pada tahun 2024, naik 53 persen dari 429 saham pada tahun 2019.
Selain itu, jumlah investor syariah juga mengalami pertumbuhan signifikan, naik 147 persen dari 68.599 investor pada tahun 2019 menjadi 169.397 investor pada tahun 2024.
Sementara perbankan syariah nasional mencatatkan market share 7,72 persen. Naik 0,28 persen secara year on year dari Desember 2023 yang hanya 7,44 persen. Sementara total aset tercatat sebesar Rp980,30 triliun atau tumbuh sebesar 9,88 persen yoy pada Desember 2024
“Ini memang segera harus ada langkah strategi yang tepat agar bergerak nih, sektor Yieldnya maju bergerak dan kemudian keuangan dan perbankan syariah,” terang dia.
Kedua, Abdul menyoroti ziswaf (zakat, infak, Sodakoh) Ia melihat wakaf di banyak negara itu menjadi salah satu kekuatan negara.
Merujuk data Kementerian Agama (Kemenag) Pada 2024, pengumpulan Zakat, Infak, Sedekah, dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya (ZIS-DSKL) semester kedua mencapai Rp26,13 triliun, tumbuh 68,2 persen dibanding tahun sebelumnya.
Adapun akumulasi aset wakaf hingga Oktober 2024, total aset wakaf uang mencapai Rp 2,7 triliun, tumbuh 229 persen.
Ia pun merasa apabila data wakaf bisa terhimpun dengan baik jumlahnya bisa ribuan triliun. Pasalnya banyak madrasah, sekolah, pesantren, masjid, musolah, lembaga pendidikan itu dari wakaf.
“Al-Azhar itu salah satu pendidikan yang tertua dan terbesar di dunia adalah dari wakaf,” contohnya.
Elemen yang ketiga adalah wirausaha dan kewirausahaan. Menurut Abdul pelaku usaha di Indonesia masih cenderung rendah dibandingkan dengan negara lain.
“Jadi tingkat kewirausahaan Indonesia tahun 2024 itu baru 3,35 persen. Coba dibandingkan dengan Malaysia 4,74 persen, Singapura 8,76 persen, dan negaranya Mister Donald Trump Amerika itu angkanya 12 persen,” terang dia.
Angka itu menurutnya, masih indikator wirausaha secara umum yang mendorong pertumbuhan ekonomi negara. “Apalagi kalau kita nanti lebih rinci lagi yang bergerak di negara ekonomi syariah. Itu bisa turun lagi angkanya,” terang dia.
Padahal menurut Abdul, Indonesia bisa menempatkan agar usaha, bisnis ekonomi dan keuangan syariah bisa didorong dengan kuat. Sepertinya halnya yang dilakukan Malaysia. Sehingga ekonomi syariah itu sudah hampir setara dengan ekonomi konvensional.
“(Malaysia) angkanya sudah hampir 40 persen perbankan, dan mereka untuk support sudah sangat maju untuk obligasi syariah,” jelasnya
Menurutnya pemerintah perlu memberikan afirmasi untuk mendorong industri halal agar dapat diberikan perlakuan sebagai infant industry atau industrial baru. Sebagai industri yang diberikan insentif untuk lebih maju dan berkembang.
Abdul menilai bahwa meskipun pelaku usaha syariah mungkin belum lama beroperasi secara bisnis, mereka tetap perlu mendapatkan dukungan khusus.
“Jadi kemudian tidak disamakan dengan ekonomi biasa yang konvensional yang sudah bergerak maju, tapi kemudian diperlakukan seperti startup,” kata dia.
Selain itu, menurutnya juga bisa diberi insentif dalam konteks pasar modal, misalnya, meskipun mereka secara bisnis mungkin belum berjalan lama dan harus modal yang cukup besar. Tapi pasar modal bisa memberikan jaminan jangka panjang agar usahanya bisa tumbuh
biasanya dibutuhkan rekam jejak keuntungan selama beberapa tahun, modal yang besar, serta sumber daya yang memadai untuk bisa masuk dan berkembang.
Selain itu, menurutnya, pelaku usaha syariah juga memerlukan intervensi untuk diberikan kemudahan ekspor, kredit untuk mendorong pertumbuhan usaha syariah.
“Jadi permodalnya didukung juga atau seperti negara lain yang insentif untuk masuk ke pasar modal,” terang dia.
Keempat, di bidang pendidikan dan penelitian. Hal ini sangat menarik. Melihat ekonomi syariah di Indonesia untuk pendidikan dan pelatihan itu tahun 2024 itu nomor satu.
Ia merinci hal tersebut diukur dari jumlah lembaga pendidikan dan program studi ekonomi Islam yang terbilang sangat banyak. Demikian pula dengan lulusan sarjana di bidang ini yang terus meningkat.
Produksi tulisan ilmiah, baik dalam bentuk paper maupun artikel jurnal—termasuk yang memenuhi kualifikasi bereputasi seperti Scopus—juga mengalami lonjakan, terlebih karena menjadi salah satu syarat dalam proses kenaikan jabatan akademik. Selain itu, jumlah jurnal ekonomi syariah yang terbit pun turut bertambah secara signifikan.
“Jadi luar biasa sebenarnya ini ya potensinya kita itu. Nah ini nanti saya kira perlu kita berdayakan bagaimana jumlah yang besar itu itu tidak hanya matter of number. Jadi hanya angka saja bagaimana optimalnya,” ungkapnya.
Kelima adalah organisasi dan lembaga. Ia mengatakan berbagai organisasi Islam di Indonesia memiliki label yang cukup populer di masyarakat. Tetapi ternyata belum juga mendongkrak pertumbuhan ekonomi syariah di dalam negeri.
Seperti, lembaga-lembaga seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Badan Wakaf Indonesia (BWI), hingga Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS)
“Ini kedepan perlu menjadi catatan,” kata dia.
Keenam, yang juga tak kalah penting menurut Abdul, adalah peran pemerintah dan regulasi. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 284,44 juta jiwa, dan sekitar 244,7 juta jiwa atau 86,9 persennya merupakan muslim, ia melihat bahwa pemerintah memiliki posisi strategis untuk mengoptimalkan tujuh elemen penting dalam ekosistem ekonomi syariah.
Menurutnya, mayoritas penduduk Muslim membuka peluang besar bagi disetujuinya kebijakan atau undang-undang yang mendukung ekonomi Islam. Ia mencontohkan bagaimana Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) tetap berjalan meski menuai kontroversi.
"Orang boleh setuju, boleh tidak terhadap IKN, tapi begitu undang-undangnya diketok, jalan lah itu. Nah, disinilah saya kira pentingnya hadir undang-undang ekonomi syariah,” ujarnya.
Pasalnya, Rancangan Undang-Undang Ekonomi Syariah yang telah telah muncul ke publik sejak tahun 2019. Kini seperti menghilang begitu saja.
Padahal saat itu tujuan disusunnya RUU Ekonomi Syariah adalah untuk mengatur dan memfasilitasi perkembangan sektor ekonomi syariah di Indonesia seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, lembaga keuangan mikro syariah, dan sektor-sektor ekonomi lain yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah
“Kita sudah cukup lama segera mendorong agar pemerintah segera mengajukan RUU, dan ini sudah dibicarakan, saya kira sudah hampir 10 tahun ini,” ujar dia.(*)