KABARBURSA.COM - China dan Amerika Serikat (AS) memanfaatkan ekonomi syariah untuk mengekspor ke 57 negara Organisasi Kerja Sam Islam (OKI).
Hal itu dikatakan oleh Advisory Board of Center of Shariah Economic Development (CSED) Abdul Hakam Naja.
Dia menilai, pemerintah Indonesia kurang menaruh perhatian kepada hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi syariah. Karena itu dia meminta pemerintah untuk lebih banyak lagi menghasilkan kebijakan yang dapat mendorong ekonomi syariah di Indonesia.
“Posisi berikutnya setelah China adalah India, Brasil, Amerika Serikat (AS), dan Turki,” kata Hakam Naja dalam ‘Sharia Economics and Finance International Seminar dan Peluncuran Center of Shariah Economic Development (CSED)’, Selasa, 3 September 2024.
Lebih spesifik lagi ke sektor pangan, eksportir terbanyak ke negara OKI adalah Brasil, India, AS, dan Rusia. Sementara, Indonesia hanya berada di posisi kelima.
“Jadi kuncinya di mana? Kuncinya adalah di kepemimpinan pemerintah. Karena pemerintah punya kewenangan, dana, sumber daya manusia. Pemerintah juga bisa memaksa,” ujarnya.
Dia pun menilai, Indonesia sepertinya baru sadar ternyata ekonomi syariah menyangkut kepentingan orang banyak.
Persoalan lainnya, Indonesia kurang melembagakan dan mengembangkan praktik ekonomi syariah secara profesional. Sebagai contoh, praktik Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1905 itu sudah berprinsip syariah, tetapi kemudian tidak terlembagakan untuk diwariskan sampai hari ini.
“Kita lembaganya banyak, tapi berdasarkan data terakhir menunjukkan 80 persen di bidang ekonomi syariah diisi bukan dari orang yang berekonomi syariah. jadi tidak match, tidak link and match,” ungkap Hakam Naja.
Kata Hakam Naja, pengembangan keuangan dan industri halal menjadi kunci dari pertumbuhan ekonomi syariah. Ia berharap, Indonesia menjadi pemain utama dari sisi industri makanan halal.
Dia menceritakan, berdasarkan informasi dari pengelola haji di Indonesia, dari total dana Rp20 triliun, jumlah yang kembali ke Indonesia sangat kecil, atau tidak sampai 10 persen.
Sementara itu, yang menguasai untuk makanan adalah Thailand, Vietnam, dan India.
“Kok bisa begitu? Saya dengar katanya orang Indonesia kesulitan ketika mengirim kargo ke sana, baik kapal maupun pesawat. Kembali lagi, ini dukungan pemerintah bagaimana,” pungkas dia.
Aset Perbankan Syariah bakal Tembus Rp1.000 Triliun
Aset perbankan syariah di Indonesia kini mencapai Rp840 triliun, dan diperkirakan akan segera menyentuh angka Rp1.000 triliun. Ini mengindikasikan potensi besar untuk pengembangan sektor ekonomi syariah yang dapat memberikan pengaruh besar terhadap perekonomian nasional.
Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini mengatakan bahwa tantangan ekonomi Indonesia ke depan yaitu ketimpangan dalam kepemilikan aset, di mana hanya segelintir pihak yang menguasai sebagian besar tanah.
Menurut dia, ekonomi syariah dapat memberikan solusi untuk mengatasi ketimpangan ini.
“Penerapan ekonomi syariah dapat menjadi solusi alternatif untuk mengatasi persoalan kepemilikan aset rumah,” kata Didik dalam seminar internasional bertajuk ‘Ekonomi dan Keuangan Syariah: Kebijakan untuk Pemerintahan Prabowo’ di Hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa, 3 September 2024.
Sementara itu, Sekretaris Kementerian BUMN Rabi Indajad Hattari mengatakan pasar kesehatan global dan keuangan syariah, terutama di Afrika, memiliki potensi besar untuk dikembangkan.
Dia menyebutkan, aset keuangan syariah yang pada 2022 sebesar USD4,5 miliar, akan melonjak menjadi Rp617 miliar di masa mendatang.
Namun, kata Rabin lagi, tantangan utama yang dihadapi sektor ini adalah rendahnya literasi dan inklusi keuangan syariah dan kurangnya inovasi produk, serta keterbatasan SDM yang berkualitas.
Dia menegaskan, hal ini menjadi fokus untuk dikembangkan di kemudian hari.
Perkembangan Ekonomi Syariah di Indonesia
Di acara yang sama, Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin mengatakan, selama lima tahun terakhir, peringkat Indonesia dalam ekonomi dan keuangan syariah meningkat dari posisi ke-10 menjadi ke-3 secara global. Menurutnya, pencapaian ini tidak terlepas dari kemajuan dalam sektor makanan halal dan produk desain Muslim, serta semakin bervariasinya layanan keuangan berbasis syariah seperti asuransi, obligasi syariah, dan pembiayaan usaha.
“Pemerintah terus mempercepat pengembangan ekonomi syariah melalui penguatan infrastruktur dan ekosistem, baik di tingkat pusat maupun daerah, salah satunya melalui Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS),” ujar Ma’ruf.
Meski begitu, dia mengingatkan bahwa tantangan seperti rendahnya literasi masyarakat dan keterbatasan regulasi masih menjadi penghambat. Oleh karena itu, fokus ke depan adalah mengembangkan sinergi antara empat pilar utama, yakni regulasi, inovasi teknologi, digitalisasi, dan peningkatan literasi.
Pendapat yang sama diucapkan Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti. Kata dia, ekonomi syariah dapat menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi di Indonesia, dengan pendekatan yang lebih inklusif dan adil.
Menurutnya, dukungan kebijakan dan regulasi dari pemerintah sangat penting untuk memastikan bahwa ekonomi syariah dapat berkontribusi secara signifikan terhadap pembangunan nasional.
“Dengan kebijakan yang inklusif dan berkelanjutan, ekonomi syariah diharapkan mampu mengatasi kemiskinan dan menciptakan keadilan sosial yang lebih merata di masyarakat,” pungkas Esther. (*)