KABARBURSA.COM – Penasihat Center of Sharia Economic Development (CSED) Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Hakam Naja, menilai Indonesia masih tertinggal jauh dalam pengembangan ekonomi syariah dibandingkan negara tetangga, Malaysia.
Dalam sebuah diskusi yang digelar oleh Indef, Hakam mengungkapkan bahwa meskipun Indonesia memiliki potensi besar, namun sejumlah tantangan harus segera diatasi untuk bisa mengejar ketertinggalan tersebut.
Menurut Hakam, dalam laporan State of the Global Islamic Economy 2023, Indonesia berada di peringkat ketiga setelah Saudi Arabia dan Malaysia, meskipun Indonesia memiliki jumlah UMKM yang sangat besar, mencapai 99 persen dari total usaha.
“Jika kita ingin mengejar ketertinggalan ini, kita harus lebih serius dan fokus mengembangkan ekonomi syariah, terutama dalam sektor UMKM yang menjadi pilar ekonomi kita,” ujar Hakam dalam acara diskusi tentang outlook ekonomi syariah 2025 di Jakarta, Minggu, 29 Desember 2024.
Hakam menyebutkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan dalam jumlah UMKM yang sangat signifikan, yang menyerap sekitar 97 persen tenaga kerja. Namun, pengembangan UMKM di Indonesia masih jauh dari potensi maksimalnya, khususnya dalam mendukung sektor ekonomi syariah yang terus berkembang.
“Kita harus memberikan perhatian lebih kepada UMKM, sektor ini bisa menjadi pendorong utama jika dikembangkan dengan serius,” lanjut Hakam.
Perbandingan antara Indonesia dan Malaysia dalam pengembangan sektor perbankan syariah juga menunjukkan ketertinggalan Indonesia. Hakam menyoroti bahwa Maybank Islamic, bank syariah terbesar di Malaysia, memiliki aset lebih dari 1.000 triliun, lebih besar dari seluruh aset perbankan syariah di Indonesia.
Bahkan jika dihitung secara keseluruhan, total aset perbankan syariah Malaysia mencapai 4.226 triliun, sementara Indonesia masih jauh tertinggal dengan total aset sekitar Rp 918 triliun, meskipun diperkirakan akan melampaui angka 1.000 triliun pada tahun depan.
“Malaysia yang penduduknya jauh lebih sedikit dibandingkan Indonesia, mampu mengembangkan sektor perbankan syariah secara lebih agresif. Ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia yang memiliki potensi pasar yang lebih besar. Kita harus lebih giat dan fokus mengembangkan sektor ini untuk bisa bersaing di tingkat global,” kata Hakam.
Hakam juga menekankan bahwa sektor ekonomi syariah Indonesia tidak hanya terbatas pada perbankan syariah, tetapi juga mencakup sektor-sektor lain seperti makanan halal, wisata ramah syariah, fesyen, kosmetik, dan farmasi.
“Indonesia memiliki pasar yang sangat besar, terutama di sektor makanan halal dan wisata syariah. Potensi ini harus dikelola dengan baik agar bisa bersaing dengan negara-negara lain, terutama Malaysia yang sudah jauh lebih maju,” jelas Hakam.
Ke depan, Hakam berharap pemerintah Indonesia bisa segera merumuskan kebijakan yang lebih mendukung pengembangan ekonomi syariah, mulai dari sektor UMKM hingga sektor perbankan dan industri halal.
“Dengan kebijakan yang tepat dan perhatian lebih, Indonesia bisa menjadi salah satu pemain utama dalam ekonomi syariah global,” tutup Hakam.
Masih Belum Optimal
Ekonomi syariah di Indonesia terus berkembang pesat seiring meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya sistem keuangan berbasis prinsip-prinsip syariah.
Namun, menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Ekonomi Syariah dan Halal, KH Sholahuddin Al Aiyub, potensi keuangan syariah dan halal di Indonesia masih belum optimal.
Menurut Kiai Aiyub, hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat literasi ekonomi syariah di masyarakat.
Berdasarkan indeks literasi ekonomi syariah 2023, pemahaman masyarakat terhadap keuangan syariah mengalami penurunan sekitar 8,01 persen.
“Pemahaman masyarakat tentang literasi keuangan syariah masih perlu ditingkatkan. Belum lagi jika kita berbicara tentang hasil indeks tersebut terkait inklusinya,” kata Kiai Aiyub yang dikutip dari website MUI, Selasa, 17 Desember 2024.
KH Sholahuddin menyampaikan itu dalam kegiatan Sosialisasi Strategi Nasional Literasi dan Inklusi Ekonomi dan Keuangan Syariah (SNLIEKSI) yang diselenggarakan oleh Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) di Gedung Djuanda, Kompleks Kementerian Keuangan, Jumat, 13 Desember 2024.
Literasi Dan Inklusi Ekonomi Syariah
Sebagai Direktur Eksekutif KNEKS, Kiai Aiyub menjelaskan bahwa pengembangan literasi ekonomi syariah saat ini perlu menargetkan angka sekitar 20 persen. Ia juga menekankan perlunya pedoman yang jelas terkait literasi dan inklusi ekonomi syariah di masa depan.
Saat ini, KNEKS telah merumuskan strategi literasi ekonomi syariah sebagai panduan kerja bagi kementerian, lembaga, perkumpulan, dan stakeholder terkait dalam mengembangkan literasi ekonomi umat.
Menurut Kiai Aiyub, strategi ini diharapkan dapat memberikan panduan bagi kebijakan ekonomi ke depan. Setiap kebijakan, menurutnya, sebaiknya tidak hanya berdasarkan data yang akurat, tetapi juga mempertimbangkan interaksi kompleks perkembangan keuangan syariah.
“Sistem ini merupakan pendekatan inovatif yang ilmiah, di mana kebijakan yang diambil tidak hanya berbasis pada data akurat, tetapi juga menghitung interaksi kompleks di antara variabel yang mempengaruhi perkembangan ekonomi syariah,” ujarnya.(*)