KABARBUSA.COM - Mantan anggota DPR RI yang juga Associate Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Hakam Naja, mengatakan perlunya kolaborasi kolektif dalam membangun ekosistem ekonomi keuangan syariah, terutama antara negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Dalam diskusi daring bertajuk "Penguatan Ekosistem Halal untuk Masa Depan Ekonomi dan Keuangan Syariah", Jumat, 4 Oktober 2024, Hakam mengingatkan Indonesia tidak bisa berjalan sendiri dalam pengembangan industri keuangan syariah.
“Ekonomi syariah ini memang seharusnya kita bangun secara kolektif,” ujar Hakam dikutip Sabtu 5 Oktober 2024.
Menurutnya, sinergi dengan minimal 57 negara anggota OKI menjadi keharusan untuk menciptakan kekuatan yang mampu bersaing secara global.
"Minimal 57 (bersama) negara OKI, Organis Konferensi Islam. Karena kita membangun ekosistem, kita mesti membangun hubungan dengan mereka," kata dia.
Hakam merujuk pada data yang menunjukkan potensi luar biasa dari dua miliar umat muslim di dunia yang mengonsumsi sekitar USD3 triliun, angka yang hampir tiga kali lipat dari PDB Indonesia.
“Ini hal yang sangat besar dan mesti diambil untuk bagaimana bersinergi dengan Brunei, dengan Malaysia, dengan negara-negara muslim,” tegasnya.
Namun, ia juga menyoroti kemandekan Indonesia dalam mengambil peran strategis di sektor ini. Merujuk pada fakta negara-negara di luar OKI kini mengambil alih peran penting dalam industri halal. “Kita lalai, kita tidak aware,” ujarnya,
Dalam konteks ini, data dari State of Global Islamic Economy 2023-2024 menunjukkan bahwa Brasil, Australia, Amerika Serikat, China, dan Thailand kini mendominasi produksi kebutuhan konsumsi negara-negara OKI, khususnya dalam industri makanan dan minuman. Ironisnya, Indonesia, sebagai konsumen terbesar, justru berada di posisi pasif.
"Yang menguasai industri makanan di negara-negara OKI adalah Brasil, India, Amerika Serikat, Rusia, dan China. Kita (Indonesia) konsumen terbesar,” ungkap Hakam.
Menyikapi tantangan ini, Hakam menyatakan Indonesia perlu sinergi dalam membangun ekosistem industri keuangan halal serta berbagai sektor turunannya untuk menghindari jebakan negara berpendapatan menengah.
Laporan Bank Dunia menempatkan Indonesia dalam daftar 100 negara yang terjebak dalam middle-income trap dengan pendapatan per kapita yang jauh tertinggal dibandingkan negara-negara seperti Brunei dan Singapura.
“Bank Dunia merekomendasikan tiga langkah utama untuk keluar dari middle-income trap: investasi, inklusi dana, dan inovasi. Inovasi menjadi kunci penting dalam pengembangan sektor keuangan halal dan subproduk lainnya,” jelas Hakam.
Laporan terakhir Bank Dunia yang dirilis pada bulan Agustus 2024 berjudul Middle Income Trap, mengidentifikasi negara-negara yang terjebak dalam kategori pendapatan menengah. Kriteria yang ditetapkan oleh Bank Dunia menyatakan bahwa negara dengan pendapatan menengah memiliki pendapatan per kapita antara USD4.400 hingga USD13.800 per tahun.
Data untuk Indonesia pada tahun 2024 menunjukkan angka USD5.200 USD per kapita, jauh di bawah Malaysia yang mencapai USD13.300 per kapita, dan Brunei yang memiliki pendapatan tertinggi di kawasan ini, yaitu USD35.000.
Pembentukan Pusat Pengembangan Ekonomi Syariah di Era Prabowo
Ekonom Senior INDEF, Didik J. Rachbini, sebelumnya mengusulkan pembentukan Center for Syariah Economic Development sebagai langkah strategis untuk mendorong pengembangan ekonomi syariah di Indonesia.
Didik menegaskan pentingnya pusat pengembangan ini untuk mengakomodasi berbagai riset lanjutan, pelatihan, serta sertifikasi profesional yang berkaitan dengan ekonomi syariah. “Jadi Center for Syariah Economic Development itu (isinya) pengembangan studi, training, dan sebagainya,” ujar Didik dalam diskusi daring INDEF bertema “Prospek Kebijakan Pengembangan Ekonomi Syariah di Era Prabowo”, Jumat, 30 Agustus 2024.
Didik menjelaskan inisiasi ini akan melibatkan kolaborasi lintas lembaga, termasuk Universitas Islam Negeri (UIN) dan berbagai pemangku kepentingan lainnya. “Kerjasama ini diharapkan bisa membawa hasil yang konkret dalam 10 tahun ke depan,” katanya.
Pusat pengembangan ini nantinya akan fokus pada beberapa area utama, di antaranya riset-riset ekonomi syariah yang bersifat normatif, sertifikasi halal untuk berbagai produk dan jasa, serta advokasi kebijakan yang mendorong praktik ekonomi syariah di Indonesia. “Kita juga ingin terlibat dalam advokasi yang lebih luas, termasuk melalui media, untuk mendorong kesadaran dan penerimaan publik terhadap ekonomi syariah,” jelas Didik.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar UIN Jakarta, Prof. Nur Hidayah, menekankan meski Indonesia telah menunjukkan peningkatan dalam beberapa sektor ekonomi syariah di tingkat global, masih ada tantangan yang harus dihadapi. “Secara global, ekonomi syariah terus berkembang pesat di berbagai sektor seperti makanan halal, fashion modest, kosmetik halal, serta keuangan syariah. Indonesia sendiri menunjukkan peningkatan di beberapa sektor, namun ada juga yang mengalami penurunan,” jelasnya.
Prof. Hidayah menyoroti beberapa capaian Indonesia di kancah internasional, seperti menduduki peringkat pertama di Global Muslim Travel Index 2023 bersama Malaysia, dan peringkat ketiga di Global Islamic Economic Indicator. Namun, ia juga mencatat adanya penurunan peringkat Indonesia di sektor keuangan syariah, dari posisi kedua pada 2021 menjadi peringkat ketiga pada 2023 dalam Islamic Finance Development Indicator.
“Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kita telah mengalami kemajuan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, termasuk penyelesaian beberapa program dalam Master Program Ekonomi dan Keuangan Syariah seperti pembentukan Nasional Halal Fund dan International Islamic Financial Service Board,” kata Prof. Hidayah.(*)