KABARBURSA.COM - Meski menjadi negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, pangsa pasar keuangan dan ekonomi Islam Tanah Air masih terjebak di angka 7 persen. Kondisi ini disebut masih jauh dari kata maksimal.
Ekonom Universitas Yarsi, Muhammad Akhyar Adnan menilai kondisi ini sebagai sebuah ironi yang menggambarkan potensi besar umat Islam yang belum tergarap optimal. Menurutnya, angka tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan dominasi ekonomi berbasis kapitalisme di Indonesia saat ini.
“Ini paradoks yang luar biasa, 85 persen dari penduduk Indonesia adalah Muslim, tapi pangsa ekonomi Islam kita hanya 7 persen,” ujar Akhyar dalam keterangannya, Minggu, 18 Mei 2025.
Ia mengatakan, kondisi tersebut menunjukkan bahwa umat Islam di Indonesia, yang jumlahnya mencapai sekitar 238 juta jiwa dari total 280 juta penduduk, belum sepenuhnya diberdayakan dalam kerangka ekonomi syariah.
Akhyar menyarankan agar Indonesia mengambil pelajaran dari negara tetangga, Malaysia, yang telah berhasil membuktikan bahwa penguatan ekonomi Islam bisa dicapai dengan perencanaan yang matang dan konsisten.
“Malaysia itu sudah bisa dorong pangsa pasar ekonomi dan keuangan Islam mereka mendekati 30 persen,” ungkapnya.
Ia mencontohkan bahwa keberhasilan Malaysia tidak lepas dari penguatan regulasi sektor keuangan syariah, pengembangan produk keuangan yang inovatif, serta edukasi yang masif kepada masyarakat mengenai manfaat ekonomi Islam.
Selain itu, Malaysia juga berhasil membangun ekosistem ekonomi syariah yang menyeluruh, mulai dari sektor perbankan, pasar modal, hingga industri halal.
Akhyar menilai strategi semacam itu bisa diterapkan di Indonesia jika ada komitmen kuat dari berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah, akademisi, dan pelaku industri dinilai perlu berkolaborasi untuk memperluas akses keuangan syariah, terutama di wilayah-wilayah yang selama ini belum terjangkau layanan keuangan formal.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa Indonesia seharusnya tidak berhenti pada retorika atau wacana semata. Diperlukan target yang jelas dan terukur agar ekonomi syariah benar-benar tumbuh signifikan dalam lima tahun mendatang.
“Kalau bisa, dalam lima tahun ke depan pangsa ekonomi syariah kita naik ke 20 persen. Itu realistis dengan potensi demografis kita,” jelasnya.
Akhyar juga menyinggung peran strategis Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam mendorong pertumbuhan sektor ini.
Dengan kewenangan yang dimiliki, menurutnya Sri Mulyani bisa menjadi kunci untuk membuka ruang lebih luas bagi ekonomi syariah agar tidak tertinggal dari negara-negara lain yang lebih dulu progresif.
“Dalam lima tahun ke depan memang tidak mudah, tetapi dengan posisi strategisnya, dukungan komunitas IAEI, dan pembelajaran dari praktik terbaik seperti Malaysia, target tersebut bukanlah hal yang mustahil,” tandasnya.
Ekonomi Syariah Butuh Arah yang Lebih Jelas
Seperti diberitakan sebelumnya, Kepala Center of Sharia Economic Development (CSED) INDEF, Nur Hidayah, menilai bahwa perkembangan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia terus menunjukkan arah yang menggembirakan. Dalam beberapa tahun terakhir, sektor ini tercatat mengalami pertumbuhan signifikan.
Ia memproyeksikan bahwa total aset keuangan syariah nasional berpotensi mencapai Rp3.157,9 triliun hingga Rp3.430,9 triliun pada tahun 2025. Sebagai gambaran, per September 2024 lalu, realisasi aset berada di angka Rp2.744 triliun, meningkat 11,9 persen secara tahunan (year on year/yoy).
“Kita melihat bahwa sejak pendirian Bank Syariah pertama yang menjadi semacam tonggak sejarah bagi perkembangan ekonomi dan keuangan syariah. Karena dinamika dari ekonomi dan keuangan syariah ini menunjukkan pertumbuhan yang cukup positif,” ujar Nur dalam konferensi pers Arah Baru Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia Menjelang Muktamar IAEI 2025, Rabu 14 Maret 2025.
Berdasarkan Data yang dihimpun dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkuat optimisme tersebut. Pada akhir 2024, aset perbankan syariah tercatat sebesar Rp980,30 triliun, tumbuh 9,88 persen yoy. Pangsa pasarnya juga meningkat menjadi 7,72 persen, naik dari 7,44 persen pada Desember 2023.
Dari sisi penyaluran dana, pembiayaan bank syariah mencapai Rp643,55 triliun, tumbuh 9,92 persen yoy—sejalan dengan kinerja industri perbankan nasional. Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun menyentuh Rp753,60 triliun, tumbuh sekitar 10 persen, atau dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan industri perbankan umum yang hanya berkisar 4–5 persen.
Komposisi pembiayaan perbankan syariah juga memperlihatkan prioritas sektor produktif. Pembiayaan rumah (KPR) menyumbang 23 persen, sedangkan pembiayaan untuk UMKM mencakup 16–17 persen dari total.
Struktur Modal dan Kualitas Pembiayaan Tetap Solid
Dari sisi kesehatan finansial, struktur permodalan perbankan syariah tetap kuat. Capital Adequacy Ratio (CAR) tercatat di level 25,4 persen. Sementara itu, rasio Alat Likuid terhadap Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masing-masing sebesar 154,52 persen dan 32,09 persen, jauh melampaui ambang minimum masing-masing di 50 persen dan 10 persen.
Rasio pembiayaan bermasalah juga terjaga. NPF Gross tercatat sebesar 2,12 persen, dan NPF Nett di level 0,79 persen. Return on Asset (ROA) pun mencapai 2,04 persen, menandakan profitabilitas yang solid meskipun di tengah tantangan ekonomi global dan domestik.
Meski capaian di atas tergolong positif, Nur Hidayah mengingatkan bahwa sektor ini masih menghadapi tantangan mendasar. Salah satunya adalah belum optimalnya pemanfaatan potensi ekonomi dan keuangan syariah secara nasional.
“Arahnya perlu dimulai, diarahkan ke arah yang lebih positif dan tentu ini harus dimulai dari perubahan paradigma makro,” tegasnya.
Ia menilai bahwa reformasi kelembagaan saja tidak cukup. Dibutuhkan pula penataan ulang struktur ekonomi agar sektor syariah dapat memberikan kontribusi maksimal terhadap perekonomian nasional.
Menurut Nur, inisiatif membangun ekosistem keuangan syariah sudah banyak bermunculan—baik dari kalangan akademisi, regulator, industri, hingga komunitas. Namun, hal tersebut belum diiringi oleh sinergi kebijakan yang utuh dan terpadu.
“Namun sesungguhnya kita masih kekurangan orkestrasi kebijakan dan arah besar yang sistemik yang dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan keuangan syariah,” tutupnya.(*)