Logo
>

KFC (FAST) Pasang Target Ambisius di 2026, tapi Fundamentalnya Suram

FAST menargetkan balik laba pada 2026 dengan ekspansi 60 gerai baru, namun likuiditas ketat, kerugian berulang, dan leverage ekstrem membuat rencana ini sarat risiko.

Ditulis oleh Yunila Wati
KFC (FAST) Pasang Target Ambisius di 2026, tapi Fundamentalnya Suram
Ilustrasi KFC Indonesia. Foto: Dok FAST.

KABARBURSA.COM – Menjelang akhir tahun, PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), yang menaungi KFC Indonesia, punya target ambisius di tahun depan. Perusahaan memasang target untuk mencetak laba pada 2026. Ekspansi besar-besaran akan dilakukan dengan capex yang tidak sedikit. Tapi, jika dilihat dari fundamental dan kinerja keuangannya, mampukah emiten Haji Isam ini menaklukkan 2026?

KFC Indonesia memang sedang menyiapkan ekspansi besar. Manajemen menyampaikan rencana akan membuka sekitar 60 gerai baru dengan total capex mencapai Rp300 miliar atau sekitar Rp5 miliar per gerai. 

Skema pendanaannya seperti ini: 30 persen berasal dari internal dan 70 persen melalui kerja sama dengan investor atau landlord. 

Di atas kertas, strategi ini memang tampak cerdas karena FAST tidak sepenuhnya menanggung beban investasi. Namun, dari sudut pandang finansial, kemampuan perusahaan untuk menopang ekspansi tambahan terlihat semakin terbatas. 

Current ratio yang dimiliki FAST hanya 0,39 dan quick ratio 0,27. Artinya, aset lancar FAST bahkan tidak cukup untuk menutupi kewajiban jangka pendek. Dengan modal kerja negatif lebih dari Rp1 triliun, FAST berada dalam kondisi likuiditas yang sangat ketat, sehingga kemampuan mengeksekusi rencana ekspansi skala besar patut dipertanyakan.

Kerentanan likuiditas ini semakin jelas ketika melihat posisi utang. Debt to equity ratio yang menekan pertumbuhan FAST mencapai 112 persen, sementara total liabilities to equity menyentuh 254 persen. 

Lebih krusial lagi, total equity FAST tinggal Rp16 miliar. Angka ini jelas tidak sebanding dengan total aset lebih dari Rp4,1 triliun dan utang yang menumpuk. Dari sini terlihat fakta bahwa leverage FAST melonjak hingga 255 kali, dan memperkuat kesan bahwa perusahaan berjalan dengan fondasi permodalan yang rapuh. 

Beralih ke interest coverage ratio yang berada di zona negatif, -5,18 kali. Angka ini menunjukkan bahwa EBIT FAST tidak cukup untuk membayar beban bunga. Lagi-lagi ini menjadi sinyal bahwa tekanan finansial tidak bisa diabaikan.

FAST Masih Catatkan Minus Pascapandemi

Tantangan fundamental tidak berhenti di struktur neraca. Kinerja bottom line FAST mencerminkan tren kerugian kronis. Dalam sembilan tahun terakhir, FAST hanya mencetak laba moderat di 2018–2019, sebelum kembali mencatat kerugian besar pascapandemi. 

Data terbaru menunjukkan kerugian TTM mencapai Rp479 miliar, lebih buruk dibandingkan kerugian tahunan pada 2023 dan 2024. Tren kuartalan 2025 pun belum menunjukkan tanda stabilisasi. Kuartal I, II, dan III masing-masing membukukan rugi Rp37 miliar, Rp102 miliar, dan Rp101 miliar. 

Jika pola ini berlanjut, FAST berpotensi mengakhiri 2025 dengan kerugian yang mendekati atau melampaui Rp400 miliar.

Dari sisi profitabilitas, FAST juga berada di zona yang jauh dari ideal. Gross margin kuartalan memang berada pada level kuat, yaitu 59 persen. Namun ini tidak cukup menutup tingginya beban operasional. 

Operating margin berada di -8,75 persen, dan net margin -8,70 persen, yang artinya bisnis inti FAST memang menghasilkan gross profit yang sehat, tetapi struktur biaya dan beban finansial menekan secara signifikan. 

Return on assets, return on equity, dan return on invested capital semuanya di wilayah negative. Bahkan ROE mencapai -2.954 persen akibat ekuitas yang menipis. Dengan kata lain, kemampuan FAST menciptakan nilai tambah bagi pemegang saham berada pada titik terlemah dalam satu dekade terakhir.

Pendapatan Stagnan, Kas Minim

Arus kas menjadi sumber kekhawatiran berikutnya. Free cash flow TTM berada di angka -Rp751 miliar, sementara cash from operations hanya Rp4 miliar. Untuk sebuah perusahaan ritel makanan dengan lebih dari 700 gerai, angka operasional ini menunjukkan stagnasi pendapatan yang tidak mampu dikonversi menjadi kas. 

Kondisi ini menjadi sinyal kuat bahwa pertumbuhan organik FAST sedang tersendat dan ekspansi agresif tanpa perbaikan efisiensi bisa memperburuk tekanan finansial.

Dengan segala keterbatasan itu, rencana membuka 60 gerai baru pada 2026 terlihat seperti strategi pertumbuhan yang terlalu optimistis. Ekspansi memang dapat meningkatkan skala usaha dan potensi pendapatan, tetapi tanpa perbaikan mendasar pada profitabilitas dan kontrol biaya, penambahan gerai justru berisiko memperlebar kerugian. 

FAST tidak hanya harus memikirkan biaya pembukaan gerai, tetapi juga biaya operasional berkelanjutan yang akan menekan arus kas perusahaan yang saat ini sudah negatif.

Satu-satunya argumen yang mendukung optimisme manajemen mungkin terletak pada prospek konsumsi domestik. Jika belanja daerah dan kebijakan pemerintah berhasil mendongkrak peredaran uang di masyarakat, KFC sebagai brand kuat tentu mendapat keuntungan. 

Namun secara struktural, pemulihan makro tidak serta-merta memperbaiki rasio-rasio keuangan FAST yang sudah dalam kondisi genting. Bahkan jika pemulihan konsumsi terjadi pada 2026, eksekusi turnaround FAST tetap bergantung pada kemampuan perusahaan memperbaiki efisiensi, menurunkan beban bunga, dan meningkatkan produktivitas per gerai.

Dengan valuation metrics yang sebagian besar berada di wilayah ekstrem — seperti price-to-book 140 kali akibat nilai buku yang nyaris habis — FAST pada dasarnya diperdagangkan bukan berdasarkan fundamental, melainkan ekspektasi pemulihan masa depan. 

Namun ekspektasi tanpa real improvement bisa menjadi jebakan bagi investor, terutama ketika kinerja keuangan belum menunjukkan titik balik.

Kesimpulannya, optimism FAST untuk kembali profit pada 2026 tidak salah, tetapi risiko yang mengiringinya sangat besar. Ekspansi 60 gerai dan capex Rp300 miliar bisa menjadi katalis turnaround, namun juga bisa menjadi beban tambahan yang memperdalam kerentanan keuangan perusahaan. 

Dengan fundamental yang masih suram, investor perlu sangat berhati-hati membaca narasi pertumbuhan FAST. Turnaround hanya mungkin terjadi jika manajemen mampu mengeksekusi efisiensi besar-besaran dan memperbaiki struktur keuangan yang sudah berada di batas kritis.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79